Byan, seorang pria yang memiliki mimpi, mimpi tentang sebuah keadaan ideal dimana dia membahagiakan semua orang terkasihnya. terjebak diantara cinta dan sayang, hingga terjawab oleh deburan laut biru muda.
tentang asa, waktu, pertemuan, rasa, takdir, perpisahan.
tentang mimpi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arief Jayadi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pesan dari ibu
Beberapa bulan berlalu semenjak akumelamar Asih, progres persiapan pernikahan kami sudah memasuki tahap tahap akhir, di akhir tahun ini rencana kami akan menikah. Namun entah mengapa hubunganku dan Asih semakin sering dilanda pertengkaran yang kadang ingin rasanya memecahkan kepala ini. Tidak jarang pertengkaran kami akan membuat kami tidak ingin saling bersapa sampai berhari hari.
sore ini kebetulan pekerjaanku selesai lebih awal, aku sengaja menjemput Asih untuk sekedar makan malam sembari membahas persiapan pernikahan kami.
"mas jemput sekarang ya Sih, ini udah dijalan sekitar 10 menit lagi sampai" ujarku di seluler.
"OK" jawab Asih kemudian pamit mematikan telepon kami untuk siap siap*.*
aku langsung tahu, intonasi kata yang diucap Asih tadi menggambarkan akan terjadi perdebatan sengit lagi malam ini. kesadaran ini membuat aku melambatkan laju kendaraanku, sembari mengatur persiapan dan ketenanganku sendiri.
sesampainya di rumah Asih, dia sudah menunggu di depan pagar rumahnya, sepertinya memang sengaja agar kami segera berangkat saja tanpa perlu berpamitan kepada bapak atau ibu. Dan benar saja, baru masuk mobil aku sudah mendapati Asih memasang wajah masam, dengan cemberut dan seperti sedang mempersiapkan hulu ledak tinggi agar dapat di jatuhkan di titik kordinat yang tepat.
Akhir akhir ini ada saja alasan bagi aku dan Asih untuk beradu argumen, dan meninggikan emosi kami, seperti kali ini hanya berawal dari "10 menit", hingga meluas kemana mana. lama kami berada dalam suasana dengan tensi tinggi sampai tiba tiba ponselku berbunyi.
fitur jawab otomatis di audio mobilku aktif, berarti dari nomor kontak yang sudah aku daftarkan.
"mas Byan, mas dimana?
“ibu mau opname mas, bisa pulang dulu ga?” pesan yang ada ditengah tengah pertengkaran ku dan Asih sore ini.
Aku langsung menghentikan perdebatanku dengan Asih, aku ambil kunci mobil dan mengantarkannya pulang. Sepanjang perjalanan kami tak banyak bercakap. Aku memilih diam, aku hanya berpikir untuk segera menjemput ibu. Asih tampaknya pun menyesal mendengar berita mendadak ini, beberapa kali ia berusaha sedikit
menghiburku, namun aku tetap memilih tak banyak kata.
Aku langsung meluncur ke rumah ibu, sepanjang kemacetan aku menjadi sering mengumpat. Banyak klakson ku lempar kepada pengguna jalan lain yang menurutku menghalangi jalanku. 40 menit menjadi 30 menit! Aku bisa berkendara dengan cukup mengerikan rupanya.
Sesampainya di rumah, kudapati ibu sudah duduk di kursi depan di teras, dengan tas pakaian dan beberapa bantal dan juga selimut. Aku langsung turun dan memapahnya naik ke mobil, segera aku ingin mengantarkan nya kerumah sakit, sebenarnyapun aku sudah terbiasa dengan keadaan ini. Ibu memang memiliki riwayat penyakit yang
terkadang mengharuskannya menjalani perawatan berhari hari di rumah sakit. Aku memilih menemaninya malam ini. toh aku juga tinggal sendirian di rumahku, terkadang ada staffku datang menemaniku, terutama saat kita harus overtime dan atau meeting secara online, tapi aku lebih sering sendirian di kediamanku.
“mas Byan, kenapa kusut mukanya?” tanya ibu
“gapapa bu, capek aja” jawabku singkat
“mas,orang mau nikah itu godaannya banyak, emosian.”
“tapi itu nanti yang buat mas Byan dan Asih menjadi keluarga yang kuat” lanjut ibu,
Lalu aku mulai mendengarkan kisah ibu dan almarhum bapak, menerima wejangan ibu yang amat sangat berharga. Ada satu kalimat yang akan selalu muncul dari cakap ibu bila sudah mulai mengeluarkan wejangan seperti ini. Kalimat rutin yang menggaris di sanubariku, membatu, dan selalu akan mendogma otakku selamanya. Berselang beberapa waktu, ibu pun terlelap. Aku raih ponselku, ada beberapa pesan baru.
Asih, dia mengatakan besok siang akan kerumah sakit untuk menjenguk dan menjaga ibu, sementara Ony, dia bilang maaf ga bisa menemaniku di rumah sakit serta meminta aku agar sabar. Entah kenapa aku lebih memilih membalas pesan kedua. Malam pun aku lewati bersama suara si empu pesan kedua.
Pagi hari Asih ternyata sudah di depan rumah sakit tempat ibu dirawat, menghubungiku karena ia tak diijinkan penjaga untuk melewati pintu. Sementara aku masih terlelap karena obrolanku dengan Ony hingga dini hari. Ibu membangunkanku menyuruh kedepan untuk menjemput Asih. Aku merasa sangat BERDOSA saat melangkah
ke tempat Asih menunggu.
*****
“kau lahir dari Rahim seorang ibu, jadi jangan pernah sakiti wanita, siapapun itu”
*****