Mira menjadi seorang Janda semenjak ditinggal suaminya. Ia harus mengurus sang buah hati seorang diri yang masih berusia 4 tahun dan Mira mengatakan pada Rafa kalau Papanya sedang bekerja di luar negeri, sehingga Rafa harus hidup dalam sebuah kebohongan. Padahal Papanya telah tiada.
Cantik dan masih Muda, Mira mendapat saran dari banyak pihak, untuk segera menikah lagi.
Ketika Mira sudah mulai membuka hati untuk pria lain, Ia harus dihadapkan pada pilihan sulit. Gio dan Darell datang secara bersamaan.
Akankah Mira mau membuka hati salah satu dari mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Nasokha(Ahong), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Waktu Belum Mengizinkan
Apa jangan-jangan, Ilham hanya bercanda kalau dia meminta diganti dengan kopi? Sebenarnya hanya untuk menolak secara halus agar aku merasa tidak enak padanya? Pikir Mira.
Mira menopang dagu, pandanganya melongok ke luar jendela, cahaya pagi menembus jendela kantornya dan menjadikan atmosfer di dalam ruangan kerjanya begitu hangat.
Kejadian kemarin tiba-tiba terlintas di pikiranya.
Dirinya marah-marah kepada Ilham. Ia mengomelinya seperti seseorang yang sudah saling mengenal satu sama lain. Sudah lama sekali sepertinya Ia tak kesal begitu, apalagi dengan seorang Laki-laki.
Langkah kaki terdengar, Rendi menyembul dari balik pintu. Rendi adalah teman kerja Mira yang juga menjadi Copy Editor sama seperti dirinya.
Namun kedatangan Rendi tampaknya tidak membuat Mira terbuyar dengan lamunanya. Rendi mencondongkan badan agar bisa melihat wajah Mira yang sedang melamun itu. Mira tetap tak menyadari akan hal itu. Ia tetap sibuk dengan pikiranya.
“ Kau sedang memikirkan apa, Mira? Jangan melamun begitu, nanti bisa kesambet! ” kata Rendi dengan keras dan kali ini dapat menyadarkan Mira dari lamunanya. Mira tersentak dan segera menoleh mencari sumber suara.
“ Kau sedang memikirkan Pak Efendi, ya? Tenang saja, Pak Efendi baru saja datang. Jika kau kangen denganya, temui saja di ruanganya! ” lanjut Rendi, lalu cengengesan, sebelah alisnya terangkat.
Mira mendelik ke arah Rendi dan Ia menjadi salah tingkah sendiri. “ Siapa yang sedang memikirkan Pak Efendi, sih? aku sedang tidak memikirkan Pak Efendi tau! Sudah sana, kau berisiap untuk bekerja di pagi ini, semoga pagimu cerah tanpa ada halangan apapun. ”
Mira mengalihkan topik karena tidak ingin membahas tentang Efendi lebih lanjut. Ia pun segera membereskan kertas-kertas di atas meja dan telah siap untuk bekerja. Rendi segera menuju tempat duduknya masih tak bisa menyembunyikan rasa leganya karena berhasil menggoda Mira di pagi ini.
\*\*\*
Sepertinya Natasha benar-benar sudah tak peduli lagi denganku. Gumam Ilham sambil duduk di tepi ranjang.
Di saat seperti ini, Ilham membutuhkan Natasha sebagai tempat mencurahkan segala keluh kesahnya. Berharap Natasha akan datang untuk mengetahui keadaanya atau paling tidak menanyakan lewat chatting atau menelponya.
Namun tampaknya Natasha sudah tak peduli akan dirinya. Bahkan semenjak insiden tas itu, Natasha tak mengirimkan chat kepadanya. Sepertinya dia kesal dengan dirinya.
Ilham pun memutuskan untuk menghubungi Natasha saat ini. Tak lama kemudian, suara Natasha sudah terdengar dari ujung ponsel.
“ Kamu sedang apa? ” tanya Ilham.
“ Aku sedang sibuk, aku sedang melakukan pemotretan, udah, ya, aku sedang sibuk, jangan ganggu aku! ”
Suara Natasha terdengar seperti bergetar dan seperti tidak yakin dengan apa yang sedang dilakukanya.
“ Nat, sebentar, ‘’
Namun panggilan sudah dimatikan, membuat Ilham hanya bisa menghela napas berat.
Sementara itu, Natasha mendengus sebal sehabis mematikan panggilan secara sepihak. Natasha kembali berjalan menuju ke arah laki-laki yang sedang duduk menunggunya.
\*\*\*
Ilham menimang-nimang niatnya untuk pergi ke warung Pak Ahmad atau tidak. Ilham memainkan dagu, Ia hendak bangkit dari ranjang.
Suara dari hatinya menyuruh untuk segera ke warungnya Pak Ahmad, namun otaknya berkali-kali mencegahnya. Hatinya terus mendesak, hingga akhirnya Ia memutuskan untuk meluncur ke warung Pak Ahmad.
Dengan begitu, Ilham akan merasa jauh lebih baik jika berada di warung Pak Ahmad. Di Warung Pak Ahmad pula saat Ia merasa pusing dan sedang mendapat masalah seperti saat ini. Ia rasakan seakan beban yang sedang Ia alami seperti menghilang begitu saja.
Dengan Jaket denim yang menempel di tubuh, Ilham melajukan motornya dengan kecepatan pelan, membelah jalanan yang tampak lengang itu.
Sesampainya di warung, Ilham langsung duduk di bangku panjang dan Pak Ahmad langsung membuatkan kopi untuknya. Pak Ahmad pun bertanya pada Ilham apakah mau makan atau tidak. Ilham menjawab tidak, karena baru saja makan.
Selang beberapa saat, Pak Ahmad meletakan kopi di atas meja di depan Ilham. Sesekali Ilham menyeruputnya dengan nikmat, sambil mengobrol dengan Pak Ahmad.
Jam sudah menunjukan pukul 12.30. Pandangan Ilham terus tertuju pada gedung yang ada di depan sana. Dari kejauhan, beberapa pegawai B-Media telah berdatangan menuju warung untuk mengisi perutnya. Pandangan Ilham tak henti-hentinya tertuju pada setiap ada seorang wanita yang hendak kemari.
Ilham sudah mendapatkan kopinya. Ia juga sudah pula merasa keadaanya agak membaik karena banyak bercanda dengan Pak Ahmad. Sejenak, Ia dapat melupakan masalah yang sedang melandanya saat ini.
Namun, Ilham belum ingin beranjak dari sana karena masih ingin bertemu dengan seseorang. Seseorang yang sudah membayarkan kopi untuknya.
\*\*\*
Mira melongok pada jam tangan yang melingkar. Jam menunjukan pukul 13.00 dan itu adalah waktunya istirahat.
Namun, tidak untuk dirinya, masih banyak sekali naskah yang masuk hari ini. Mira memilih menghempaskan tubuh ke kursi, wajahnya menegadah memandang langit-langit tempat kerjanya untuk sedikit menghilangkan penat.
Tiba-tiba Ia ingin turun ke bawah untuk memastikan apakah Ilham sudah kesini!
Ngapain aku memikirkan dia! urusanku denganya sudah selesai. Lagi pula, aku sudah berkata pada Pak Ahmad untuk menyampaikan hal ini padanya, jika dia datang kesini. Pikirnya.
Benar! aku tidak harus ke bawah. Bantah Mira.
“ Mira, kamu tidak lapar? ” seru Wanda tiba-tiba dari ambang pintu.
Mira segera menarik tubuh dan menoleh ke arah Wanda. “ Lapar, sih, hanya saja aku masih harus mengurus naskah yang masuk, kamu makan duluan saja! ”
“ Lebih baik makan dulu, Mir, bisa dilanjutkan nanti, yuk ke warungnya Pak Ahmad. ” ajak Wanda lagi.
Mira ingin bangkit dari kursinya, benar-benar ingin mengikuti ajakan Wanda kali ini.
Ada apa dengan diriku?
Namun akhirnya Mira menyuruh Wanda untuk makan duluan. Wanda pun sudah lenyap dibalik pintu, sedangkan Mira kembali terpaku pada layar komputer.
\*\*\*
Sebelum menuju parkiran hendak pulang, langkah Mira terhenti -memutar badan dan mendapati Pak Ahmad sedang membereskan warungnya. Mira berjalan menuju ke sana.
“ Pak, kalau boleh tau, apa Ilham sudah datang kesini? ” tanya Mira dengan hati-hati.
“ Tadi sudah kesini, Bu, ” balas Pak Ahmad, berhenti membersihkan meja.
Mira tersentak kaget. “ Sekitar pukul berapa, Pak? ”
“ Waktu jam istirahat, Bu, ”
Harusnya tadi, aku ikut turun dengan Wanda saja. Batin Mira.
“ Saya perhatikan, Bu Mira sepertinya menunggu Nak Ilham, ya, ” kata Pak Ahmad dengan senyum. Bermaksud menggoda Mira.
“ Tidak, Pak Ahmad, sa-saya hanya ingin memastikan saja, kok. ” Jawab Mira agak tergagap.
Mira pun pamit untuk pulang pada Pak Ahmad bersamaan dengan itu wajahnya memanas dan segera menuju mobilnya. Tiba-tiba Ia merasa menyesal karena tadi tidak ke bawah.
Kenapa Ia merasa menyesal?
Mira menghela napas, seharusnya tidak usah memikirkanya lagi. Urusan dengan Ilham itu sudah selesai, Ilham itu sudah menerima kopinya dan Ia sudah membayarkan untuknya.
Ya, semuanya sudah selesai.