Ini kelanjutan kisah aku istri Gus Zidan ya, semoga kalau. suka🥰🥰🥰
****
"Mas, saya mau menikah dengan Anda."
Gus Syakil tercengang, matanya membesar sempurna, ia ingin sekali beranjak dari tempatnya tapi kakinya untuk saat itu belum mampu ia gerakkan,
"Apa?" Ia duduk lebih tegap, mencoba memastikan ia tidak salah dengar.
Gadis itu menganggukan kepalanya pelan, kemudian menatap Gus Syakil dengan wajah serius. "Saya bilang, saya mau menikah dengan Anda."
Gus Syakil menelan ludah, merasa percakapan ini terlalu mendadak. "Tunggu... tunggu sebentar. mbak ini... siapa? Saya bahkan tidak tahu siapa Anda, dan... apa yang membuat Anda berpikir saya akan setuju?"
Gadis itu tersenyum tipis, meski sorot matanya tetap serius. "Nama saya Sifa. Saya bukan orang sembarangan, dan saya tahu apa yang saya inginkan. Anda adalah Syakil, bukan? Anak dari Bu Chusna? Saya tahu siapa Anda."
Gus Syakil mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba memahami situasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Awal yang baru
Setelah membereskan barang-barang di ruang tamu, Gus Syakil meminta Sifa untuk duduk di hadapannya. Ia menunjuk ke arah lorong kecil yang menghubungkan ruang tamu dengan dua kamar tidur di rumah itu. Kamar-kamar itu sederhana, tidak memiliki perabot mewah, hanya ranjang, meja kecil, dan lemari pakaian usang.
Gus Syakil menatap Sifa dengan wajah serius namun tetap lembut. Ia tahu bahwa meskipun mereka sudah menikah, hubungan mereka masih jauh dari kata normal, terutama mengingat latar belakang mereka yang sangat berbeda.
"Sifa, di rumah ini ada dua kamar. Saya ingin kamu memilih kamar mana yang ingin kamu tempati." ucapnya sambil tersenyum tipis.
Sifa mengernyit heran, "Maksudnya? Kita nggak tidur di kamar yang sama?"
Gus Syakil mengangguk pelan, "Belum, Sifa. Saya rasa kamu masih perlu waktu untuk menyesuaikan diri dengan status baru kamu sebagai istri."
Sifa terkejut, matanya melebar, "Tunggu... kita kan udah menikah, Gus. Apa ini maksudnya kamu nggak...?"
Sifa terdiam, pikirannya mulai melayang membayangkan hal-hal yang biasanya dilakukan pasangan suami istri di malam pertama. Wajahnya tiba-tiba memerah.
Gus Syakil yang melihat perubahan ekspresi Sifa, tersenyum kecil sambil mengetuk pelan keningnya, "Hei, jangan mikir yang aneh-aneh dulu."
Sifa tersentak, menatap Gus Syakil dengan gugup, "Aku nggak mikir aneh-aneh! Maksudnya... ya, aku cuma bingung aja."
Gus Syakil menarik napas panjang, "Dengar, Sifa. Saya ingin hubungan kita dimulai dengan baik dan penuh rasa saling menghormati. Saya tahu keadaan ini pasti berat untuk kamu, apalagi kita menikah tanpa cinta, tanpa rencana."
Sifa tampak masih bingung, tapi mendengarkan, "Tapi... kalau begitu, kenapa kita menikah, mas? Kamu nggak merasa kita harus mencoba menjadi suami istri yang normal?"
Deg
Gus Syakil merasa ini begitu aneh, tapi ia segera tersenyum dengan bijak, "Justru karena itu saya ingin memberi kamu ruang. Saya ingin kamu merasa nyaman dulu. Ini bukan soal normal atau tidak, tapi soal bagaimana kita membangun fondasi yang kuat untuk hubungan kita."
Sifa merasa bersalah, menundukkan kepala, "Kamu benar-benar terlalu baik, mas. Aku nggak tahu harus bilang apa."
"Kamu nggak perlu bilang apa-apa. Yang penting, kita sama-sama belajar menerima keadaan ini. Jadi, kamar mana yang kamu pilih?"
Sifa menatap ke arah lorong, lalu menunjuk kamar di sebelah kiri, "Yang itu aja. Kayaknya lebih dekat ke dapur."
Gus Syakil tertawa kecil, "Baik, kamar itu untuk kamu. Kalau kamu butuh sesuatu, jangan ragu untuk mengetuk pintu saya, ya."
Sifa masuk ke kamarnya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega karena Gus Syakil tidak memaksanya. Di sisi lain, ia mulai merasakan bahwa pria itu adalah sosok yang jauh lebih baik daripada yang ia bayangkan sebelumnya.
"Rasanya aku semakin merasa bersalah, dia begitu baik untuk ditinggalkan. Bodoh sekali gadis yang sudah mencampakkan nya." gumamnya sembari merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur yang menurutnya tidak seempuk tempat tidurnya.
Di kamar sebelah, Gus Syakil berbaring di ranjang kecilnya sambil menatap langit-langit. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tapi ia berdoa agar ia dan Sifa bisa menemukan jalan untuk saling memahami dan mendukung.
"Aku masih tidak percaya apa yang terjadi hari ini, Farah dan Sifa bukanlah orang yang sama, kenapa begitu jauh?"
***
Pagi itu, Gus Syakil membuka matanya dengan lelah. Ia duduk di kursi rodanya, memandangi pintu kamar mandi yang tampak jauh dari jangkauannya. Keinginannya untuk mengambil wudhu terasa seperti perjuangan besar, mengingat kondisinya sekarang.
"Bagaimana aku bisa ambil wudhu kalau kayak gini?" gumamnya pelan, saat di rumah sakit ia bisa meminta tolong pada perawat atau bundanya tapi sekarang tidak ada siapapun di rumah ini selain dirinya dan Sifa. Ia tidak mungkin berteriak memanggil Sifa di pagi buta seperti ini.
Setelah beberapa saat merenung, ia menghela napas panjang dan memutuskan untuk tayamum. "Baiklah, ini dhorurat."
Dengan segala keterbatasan, ia melaksanakan sholat di atas kursi rodanya.
Satu jam berlalu, suasana rumah masih terasa sepi. Tidak ada suara langkah kaki atau aroma masakan yang biasa menandakan kehidupan pagi hari. Perutnya mulai terasa lapar, namun yang lebih membuatnya gelisah adalah ketidakpastian tentang apa yang dilakukan Sifa.
"Apa Sifa belum bangun? Ini sudah jam enam pagi kan." ucap Gus Syakil sambil memastikan jam di dinding.
"Kayaknya iya."
Akhirnya, Gus Syakil memutar rodanya menuju kamar sebelah. Ia mencoba mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban.
"Sifa, Sifa ...., belum bangun ya?"
Dengan ragu, ia memutar gagang pintu, bersyukur bahwa pintunya tidak dikunci. Di dalam, ia menemukan Sifa masih tertidur pulas, wajahnya tenggelam di bantal dengan rambut yang berantakan.
Gus Syakil mendekat perlahan, "Sifa, bangun. Ini sudah pagi."
Sifa menggeliat tanpa membuka mata, "Hmm... apa sih? Masih pagi banget..."
Gus Syakil menghela napas, "Ini sudah jam enam lebih, Sifa. Waktunya bangun."
Sifa membalikkan badan, masih setengah sadar, "Jam enam? Ah, masih pagi. Dua jam lagi, Gus..."
Gus Syakil menahan kesabaran, "Sifa, ini bukan hotel. Kamu harus mulai belajar bangun lebih awal. Kita ada banyak hal yang harus dilakukan."
Sifa akhirnya membuka mata dengan malas, "Aduh, mas. Aku nggak biasa bangun pagi. Lagi pula, aku capek banget kemarin. Bisa nggak santai dulu?"
Gus Syakil menatapnya serius, "Sifa, hidup kita sekarang berbeda. Kamu bukan lagi gadis bebas seperti dulu. Kamu punya tanggung jawab, sebagai seorang istri. Jadi bangun sekarang atau aku akan...,"
Sifa menghela napas dan duduk di tepi ranjang, "Oke, oke. Aku bangun. Tapi, serius deh, mas. Kamu nggak bisa santai sedikit?"
Gus Syakil tersenyum tipis, "Saya santai, tapi kalau semua orang santai, bagaimana rumah ini bisa berjalan?"
Sifa mengusap wajahnya, "Ya ampun. Oke, aku akan belajar. Jadi, mau aku masak sesuatu atau gimana?"
"Kalau kamu mau belajar masak, saya akan bantu sebisanya. Tapi untuk pagi ini, mari kita mulai dari hal sederhana. Buatkan teh atau kopi dulu, ya?"
Sifa berdiri perlahan, menguap, "Baiklah, teh aja, ya. Jangan harap kopi karena aku nggak bisa bedain kopi hitam sama kopi susu."
Gus Syakil hanya tersenyum mendengar kelakar Sifa. Meski terlihat malas, setidaknya Sifa menunjukkan usaha untuk beradaptasi. Sifa keluar kamar dengan rambut acak-acakan, dan Gus Syakil mengikutinya perlahan. Di dapur, Sifa mulai sibuk dengan panci dan gelas, mencoba menyiapkan teh hangat untuk mereka berdua.
Meski sederhana, pagi itu adalah awal dari dinamika baru mereka sebagai pasangan suami istri yang mencoba menavigasi hidup bersama di tengah segala perbedaan dan tantangan.
Bersambung
Happy reading
malu 2 tapi mau🤭
saranku ya sif jujur saja kalau kamu yg nabrak syakil biar gak terlalu kecewa syakil nya