Singgasanaku dibuat dari indung mutiara yang dibentuk menyerupai jalinan akar pohon.
Aku menyebutnya rumah, yang lain mengatakan ini penjara. Walau demikian penjaraku dibuat seindah tempat tinggal para dewa, mungkin karena ibu berharap putranya adalah dewa dan bukannya iblis.
Tidak ada pilar atau ruangan-ruangan lain. Hanya ada pohon tunggal yang tumbuh kokoh di halaman singgasanaku. Pohon yang menjadi sumber kehidupanku, kini semakin kehilangan kecemerlangannya. Saat pohon itu meredup lalu padam, aku juga akan sirna.
Sebelum aku menghilang dan dilupakan, akan kuceritakan masa singkat petualanganku sebagai iblis yang menyamar jadi manusia atau barangkali iblis yang berusaha menjadi dewa hingga aku berakhir didalam penjara ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Author GG, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kotak Hadiah
Setelah insiden anak panah, Phoenix tidak ada niatan untuk membatalkan perburuan. Aku sendiri tidak memberi saran apapun. Satu-satunya nasihat yang kuberikan hanya sekedar kata, "Berhati-hatilah."
Phoenix mengangguk sebelum bergabung dengan rombongan elitenya. Berikutnya Jendral Erlang menepuk punggungku dengan berlebihan nyaris membuatku tersungkur.
"Kenapa kau tidak ikut saja dengan kami?"
"Dia tidak mengundangku," kataku. "Bahkan dia tidak memandangku."
"Tidak usah merajuk, kau bisa ikut denganku kalau mau."
"Enggak, bang," ucapku sungguh-sungguh. "Sebenarnya aku harus lihat anak-anak."
"Oke, terserah kau. Sampai nanti kalau begitu."
Aku mengangguk.
"Bang... "
"Ada apa?"
"Tolong jaga dia."
Lantas Jendral Erlang paham maksudku. "Jangan lupa, aku selalu ada sama dia selama tiga tahun ini."
Dan akupun percaya.
Heroes meringkik seolah mengumumkan kedatanganku, begitu kami tiba di pelataran yang tidak asing banginya pun denganku. Meloxia. Gerbangnya terbuka dan plang yang tergantung di dinding miring dan aus oleh cuaca, menunjukan bahwa gilda ini sudah lama tidak terurus oleh pemilik resminya. Dulu aku mencari informasi mengenai tuan rumah dan mencoba mengirim pesan naga kepadanya, tapi aku tidak mendapati respon apapun. Sepertinya tuan rumah memang sudah di luar jangkauan pesan naga.
Dua gadis keluar menyambut kedatangan kami dengan antusias. Bahkan yang satu lebih pas di sebut anak perempuan. Pakaian mereka tampak hidup dengan latar belakang yang nyaris gelap gulita. Hunian kami sungguh mengkhawatirkan mengingat penerangan hanya sebatas beberapa lentera yang dinyalakan di beberapa sudut bangunan.
"Bang Daru!"
"Kak!"
Aku turun dari Heroes, mengelus surainya dan tak lupa mengucapkan terimakasih karena sudah membawaku pulang.
"Bang Daru darimana saja, apa ada sesuatu yang terjadi?" Ayuni, anak perempuan berbaju dan berpita hijau lembut itu mendekatiku, aku menyadari kegelisahannya. Za-Hwa anak perempuan yang sedikit lebih tua darinya mengkonfirmasi hal yang sama dengan mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
Perutku seperti kena hantam, sesak, melihat raut keduanya. Aku sudah menduga mereka akan cemas. Aku tidak ingin membicarakan kepulanganku ke gilda Phoenix, sebab aku akan benar-benar merasa telah menelantarkan mereka.
"Aku sudah ada di sini." sebisa mungkin berkata dengan santai. "Dan baik-baik saja. Bukankah itu yang terpenting?"
"Apa kalian menjaga rumah dengan baik?" tanyaku dengan lembut. Kutuntun Heroes dan dua gadis itu membuntutiku.
Ayuni menghela napas. "Aku benci abang. Bang Daru membuatku khawatir."
"Aku minta maap," kataku. "Mau maapkan tidak?"
Ayuni menjawab. "Tidak."
Dan Za-Hwa berkata, "Boleh saja asal kakak ceritakan kemana saja selama dua harian ini."
"Akan kuceritakan."
Kami menghangatkan diri dengan api unggun, tapi jiwaku rasanya sudah terlalu panas. Api meretih dan percikannya terbang ke udara. Aku tidak sempat membawa apa-apa untuk mereka namun mereka telah menyiapkan beberapa santapan untuk malam ini.
Langit malam tampak bersih dan berbintang, pun dengan langit selatan nyaris tanpa awan, dimana di bawahnya hutan dimana Phoenix akan berburu.
Perburuan tidak diselengarakan di wilayah Phoenix, meski gilda Phoenix yang mengatur segalanya, perburuan dilakukan di gilda lain, kudengar Phoenix bersama ketua gilda itu berhubungan baik dan lebih daripada itu rumor yang kudengar mereka sedang menjalin asmara.
Bukankah itu kabar yang seharusnya membuatku terhibur? Paling tidak ada satu tambahan nyawa yang akan melindungi Phoenix. Hutan milik gilda berbeda dengan hutan lepas. Satu-satunya ancaman disana adalah manusia rakus dan tamak, yang justru akan lebih berbahaya daripada makhluk buas yang hanya mengandalkan insting.
Malam ini orang-orang yang berminat dan mendapatkan undangan akan pergi berbondong bondong ke sana, dalam perjalannya tak jarang berpapasan dengan gilda lain, bertukar sapa demi sopan santun, atau terang-terangan menunjukan seberapa besar gilda mereka. Membawa atribut dan panji-panji, simbol gilda mereka yang dibanggakan. Namun ada saja segelintir orang yang tidak pergi dengan alasan dia sudah ditinggal jauh, enggan pergi tanpa kawan atau memang tidak tertarik. Sedangkan aku memacu kuda berjam-jam secara gila-gilaan ke arah timur dari rumah Phoenix.
"Kakkk!" Za-Hwa masuk dalam ruang pandangku, tangannya di lambai-lambai di depan wajahku, alisnya bertaut.
"Bang Daru melamun ya? Dari tadi kami panggil lo, bang."
"Hanya sedikit kecapean," jawabku, separuh dari kebenaran. "Mari nikmati saja makanannya lalu istirahat."
Kudekatkan cangkir ke hidung, menghirup aroma teh, namun dua pasang mata nampak mengintimidasiku. "Apa?" tanyaku. Aku tidak jadi minum.
"Ceritakan." Pinta Za-Hwa.
"Abang jahat."
Aku menghela napas. "Baiklah kalau itu yang kalian mau."
"Jadi bang Daru pulang ke gilda lama abang?"
"Lalu bagaimana dengan kami, Kak?"
"Bang Daru kan sudah janji gak akan ninggalin Ayuni."
Kutatap mereka satu-satu. "Tidak usah bersedih. Aku kemari bukan untuk pamitan. Meskipun aku pulang ke Phoenix, aku tidak punya tanggung jawab apapun disana. Disinilah rumahku bersama kalian. Kalian tanggung jawabku."
"Kemana yang lain?" tanyaku berikutnya.
***
"Jadi, seperti apa Phoenix?" Ayuni menunggu jawabanku dengan penuh harap. "Dia pasti sangat cantik kan?"
"Ketua sangat Galak." sahutku.
"Wah, benarkah?"
"Ya, apakah Ayuni percaya dia telah mengukir peraturan gilda sampai ke langit-langit?"
"Sebanyak itu? Wow seram."
"Malam ini ketua mengadakan perburuan, tapi aku tidak ada niat untuk berpartisipasi."
"Pasti banyak orang, kan bang?"
"Gilda-gilda besar selalu mengadakan perburuan dengan peti ungu yang melimpah untuk menarik minat peserta."
Mata Za-Hwa berbinar ketika mendengarnya. "Bisakah kakak bawa aku kesana?"
"Tidak!" timpalku dengan tegas.
"Yah, ayolah kak Daru." rayunya.
"Tidak," kujitak pelan dan dia mengaduh, menggosok-gosok keningnya. "Lebih baik kita disini saja, perburuan selalu berakhir dengan kekacauan. Kita lihat saja nanti."
Sampai pertengahan malam hanya satu yang pulang ke hunian mengerikan ini. Seekor kuda coklat berhenti di pelataran, menurunkan seorang gadis yang sama tangguhnya.
Sama seperti tadi Ayuni dan Za-Hwa menyambut saudari seperpengemisannya ini, mereka menepuk tempat kosong di sampingnya untuk ikut duduk dan bergabung dengan kami.
Elis membawa sesuatu dalam kantung kain yang disampirkan di pundaknya. Barang-barang yang hanya didapat dengan menukar koin emas. Perburuan terbuka. Perburuan yang diperuntukkan untuk siapa saja. Mereka Gilda-Gilda dermawan. Meski kami tidak meminta-minta dalam artian sebenarnya dan melakukan perburuan dengan jerih payah sendiri, kami tetaplah orang yang tidak menyandang simbol gilda manapun. Perkumpulan pengemis.
"Hahaha," aku tiba-tiba tertawa keras ke langit. Mereka berhenti mengobrol dan melihatku dengan terkejut bercampur heran.
"Bang Daru kenapa?"
Za-Hwa dan Ayuni sama-sama menjawab Elis dengan gelengan kaku.
"Tidak apa-apa," kataku. "Haha, aku hanya teringat hal konyol saat pertama kali berburu. Coba katakan kebodohan macam apa ketika pertama kali kalian ikut dalam perburuan?"
"Aku tidak pernah melakukan kebodohan," tutur Elis. "Aku memang mahir dari dulu."
"Bagus," kataku, menyodorkan sebonggol jagung bakar sebagai piala. "Pertahankan prestasimu."
Elis menerima pialanya dengan penuh hormat. "Lalu gimana sama kak Daru?"
Aku mendongak ke langit. "Dulu sekali aku tidak tahu apa-apa, seperti anak manusia yang baru saja dilahirkan."
"Nah, bang Daru mulai lagi." Elis menyela. "Bang Daru pasti mau cerita ngawur lagi kan?"
"Yasudah kalau tidak mau dengar."
Aku terlahir dengan membawa pengetahuan dan kemampuan ibuku. Namun ibu menurunkanku ketempat dimana ibu sendiri tidak tahu apa-apa mengenai daratan merah. Ibu melepaskanku begitu saja. Membiarkanku mencari jalan dan membuat takdirku sendiri.
Namun aku tidak bisa langsung memahami esensiku di dunia. Aku tersesat dan terkatung-katung sebagai perwujudan manusia lemah dan sasaran perundungan hanya karena ketidaktahuanku adat istiadat dan kebiasan para manusia. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan, jika keadaanya terus begitu aku akan benar-benar melebur kedalam ketiadaan karena dilupakan.
Yang itu aku serius bukan sekedar perumpamaan.
Oke, semuanya diawali dikota yang kering, wilayah paling barat yang didominasi gunung batu sewarna tembaga. Tidak banyak tanaman hijau tumbuh disana, ada tumbuhan khas yang bertahan dalam iklim tersebut.
Orang-orangnya lebih senang mengendarai kuda atau sapi. Mereka mengenakan rompi dan sabuk kulit. Mengenakan topi dan syal untuk menutupi sebagian hidung dan mulut, masuk akal karena wilayah itu teramat berpasir.
Jika malam mereka mengadakan hiburan dengan bernyanyi dan menari atau bermain alat musik di bawah langit.
Dibulan september pada waktu itu seseorang menepuk bahuku dan mengajakku memasuki kota. Bangunan dari papan dan kayu berderet saling berhadapan dengan plang dan nama-nama sesuai fungsinya.
Wah, apa nih? aku bertanya pada waktu itu.
Gilda lah, dasar idiot, memangnya apa lagi? dia menjawab.
Aku tidak bermaksud menjadi idiot, kupikir tegur sapa adalah cara mengakrabkan diri. Rupanya aku keliru. Pada saat itu aku yakin semua manusia dan gildanya sama saja dimana mana diseluruh daratan merah. Aku mulai merasakan energi hidupku memudar.
"Sebenarnya aku bukannya melakukan kebodohan," kataku. "Ada peti oranye aneh yang tiba-tiba melompat ke pelukanku seperti gadis yang sedang jatuh cinta. Memohon padaku diselamatkan dari kejaran orang-orang yang memburunya."
Elis akan menyela lagi tapi aku berkata. "Tunggu dulu belum selesai."
"Kembalikan kotak itu, seru seseorang. Ketika tak urung kukembalikan maka aku harus didenda, begitu kata mereka."
Aku berhenti sejenak untuk mengibas udara. "Ah, mana aku tahu kalau peti itu boleh atau tidak boleh kuambil."
"Lalu abang mengembalikan kotaknya pada mereka?" tanya Ayuni.
Aku pura-pura terluka. "Mana mungkin aku tega mengembalikan jodohku yang malang."
Ketika para gadis hanya menatapku tanpa ekspresi aku mengangkat alis. "Menurut kalian haruskah kukembalikan? Tentu saja tidak, lagi pula bukankah mereka meneriakiku maling? Sekalian saja kubawa kabur pengantinku."
"Kisah yang begitu romantis," komentar Elis.
"Wow, ternyata abang Daru udah nikah sama kotak." kata Ayuni.
Aku membungkuk dan memelankan suara seolah-olah khawatir ada yang menguping. "Sebenarnya aku belum menikahinya, kubilang padanya kau terlalu kotak buatku jadi kulepaskan peti itu, kubiarkan pergi mencari jodohnya."
"Kenapa, apa yang salah?" kataku berusaha membela diri. "Pada waktu itu mana kutahu kotak itu amat berharga."
masih nyimak