NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: tamat
Genre:Tamat / Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Meriahnya Makan

Namaku Suryani. Hanya Suryani, tidak ada embel-embel lain. Sejak kecil aku sudah ikut ibuku mengabdi pada keluarga ini. Tentu saja generasi sebelumnya. Kalau dirunut, nenekku, ibu dari ibuku, mengabdikan dirinya sebagai pembantu yang ikut makan dan tidur dalam keluarga besar kakek Bu Ayu.

Ibuku semasa kecil hingga remaja adalah teman bermain bagi Bu Yuyun. Dialah yang kemudian melahirkan tiga orang anak. Satu putri dan dua putra, Ayunita, Satrio, dan Yunus. Ibuku akhirnya mengikuti jejak ibunya, menjadi pembantu yang dianggap keluarga sekaligus ibu asuh bagi ketiga anak Bu Yuyun.

Lalu sekarang aku mengikuti jejaknya, mengabdikan diriku kepada keluarga generasi mbak Ayu. Sejak sebelum Bu Ayu dipinang seorang pemuda dari kampung sebelah bernama Gunung.

Kata orang, Bu Ayu sangat beruntung bisa berjodoh dengan Pak Nung, begitu panggilan pemuda itu. Kabarnya, Pak Nung adalah laki-laki yang cerdas, lurus, dan pintar cari uang. Kemampuannya berdagang batik, meneruskan usaha orang tuanya, terbukti berhasil. Beliau juga ramah, rendah hati, sederhana, penuh perhatian, lembut dan bertanggung jawab. Mereka bilang Pak Nung adalah berkat dari langit untuk Bu Ayu. Aku pikir juga begitu. Pokoknya, aku bersyukur Bu Ayu bertemu laki-laki sebaik Pak Nung.

Puluhan tahun berlalu. Usiaku pun tak lagi muda. Tinggallah sisa-sisa masa muda dan banyak cerita yang ada padaku, tentang Bu Ayu, Mas Satrio dan Mas Yunus. Tidak semua indah dan mengundang tawa. Banyak yang mengucurkan air mata dan meraup duka.

Aku masih setia, betah, dan sangat bahagia menjadi bagian dari keluarga ini. Yah, walaupun bukan hal yang mudah mengikuti jatuh bangunnya Bu Ayu dan suaminya, terlebih ketika mengalami musibah besar yang bertubi-tubi. Walau berat, aku memilih untuk terus setia dan mengabdikan seluruh hidupku untuk keluarga mereka. Hati ini telah terikat. Aku sudah terlanjur sayang.

Kini keluarga yang telah menjadi bagian dari hidup 62 tahunku kian meriah. Empat anak yang beranjak dewasa turut memberi warna. Ada Mbak Nuri, Mas kembar Senja dan Fajar, lalu dik Rani. Rasanya seperti mengulang masa lalu, hanya dengan cerita yang berbeda, dan mungkin juga akhir yang berbeda.

Pukul 05:45 WIB. Yogyakarta pagi ini dimulai dengan kehadiran matahari yang malu-malu. Kota mulai meriah oleh kendaraan dan barisan motor ojek berbayar. Tampak dari seragam mereka yang beraneka warna tersebar hingga jalanan desa.

Ruang makan keluarga Pak Nung dan Bu Ayu pun tak kalah meriah. Tiga dari empat anak mereka telah bergabung untuk santap pagi. Si sulung, Nuri, sementara menggantikan Bapak untuk menjaga keseimbangan suasana di meja makan. Bahaya kalau tidak begitu. Kedua adik laki-laki kembarnya bisa-bisa lepas kendali dan pentas ketoprak atau Srimulat jika tidak ada yang menengahi.

Pokoknya kalau salah satu dari si kembar sudah muncul lalu disusul yang lain, harus ada orang ketiga untuk menengahi kehebohan mereka. Meleng sedikit, pasti heboh. Seperti sekarang, saat Nuri harus ke dapur, membantuku mengambil masakan untuk disajikan di meja makan.

"Heh, itu ngapain tangan di situ? Minggir! Itu telor ceplokku!" Fajar menuding telur mata sapi yang memang kesukaannya.

"Mosok? Mana, nggak ada namamu tuh, di situ!" Itu Senja. Dia berkilah. Memang hobinya mengusili saudara kembarnya.

"Mbak Nuriii, Senja lhooo, nakal...." Yak. Mulailah senjata manja ala Fajar dikeluarkan.

Otomatis senjata yang dipanggil merespon, "Senjaaa!"

Senja mencibir, "Dasar tukang ngadu! Bocah, lu!" Lalu perang mulut terjadi antara si kembar. Untung Nuri segera datang.

"Telor ceplok direbutin. Kalian nggak lihat empal daging sebesar itu?" Semangkuk besar empal daging sapi yang dibawa Nuri segera mengalihkan topik rebutan.

Si kembar berseru serempak, "Buatku ya, Mbak!" Dari celah antara ruang makan dan dapur aku hanya mesam-mesem menyaksikannya. Pasti habis ini mereka rebutan lagi.

"Punyaku!" Fajar mengambil alih mangkuk dari tangan Nuri.

"Buatku!" Senja dengan sigap mengambil alih mangkuk empal dari kembarannya.

"Itu jatahku!" Lalu kembali lagi ke tangan Fajar, tetapi....

"Aku! Hih!" Direbut oleh Senja, dan..., "Yes!" Berhasil.

"Ahh, curang kamu! Mending aku minta sama Ibu. Ibuuu?" Fajar mengeluarkan senjata lain yang lebih canggih.

Senja mengejeknya, katanya, "Percuma panggil-panggil. Ibu nggak mau dengar rengekanmu. Weeek!"

"Udah, ayo makan!" Akhirnya Nuri menengahi. Diambilnya kembali mangkuk empal dari pelukan Senja lalu ia letakkan di tengah meja. "Nggak usah rebutan! Ini ada banyak," ujarnya sambil mendelik galak. Langsung saja si kembar mingkem sambil pasang senyum manis. Di bawah pengawasan Nuri, si kembar mengambil empal daging dengan tertib lalu mulai makan dalam diam. "Nah, gitu, dong. Dari tadi kek. Raniii, sarapan! Nanti kamu telat lo! Raniii?"

Rani yang dipanggil Nuri adalah anak paling kecil yang bisa manja, dewasa, tapi juga paling polos diantara semuanya. Hanya Rani yang paling bisa mengambil hati ketiga kakak juga kedua orang tuanya dengan cara-cara yang sederhana.

"Tumben, Bungsu telat sarapan. Bangunnya kesiangan?" tanya Fajar. Bungsu adalah panggilan sayangnya terhadap Rani. Hanya dia yang memanggil Rani dengan sebutan itu.

"Emangnya kamu, tiada hari tanpa kesiangan? Rani itu rajin. Sama kayak aku, mbak Nuri, Bapak dan Ibu. Kamu doang yang beda sendiri, Jar. Sebenernya kamu anak siapa, sih?" Yak. Itu Senja.

Jelas Fajar tidak terima. "Wooo, saudara kembar macam apa kamu? Meragukan belahan jiwamu sendiri? Dasar, Saudara Kembar tak tahu diri!"

"Yakin, kita kembar? Kok nggak mirip? Sama sekali nggak mirip! Coba, dicek. Hidungku mancung kayak Bapak. Kulitku terang kayak Ibu. Aku cerdas kayak mbak Nuri. Dan pastinya, aku ganteng, hahaha. Kamu?"

Ealah. Baru juga berhasil makan tenang berapa menit, sudah heboh lagi. Aku hanya geleng-geleng takjub melihat Fajar yang geram diolok-olok kembarannya. "Mbaaak, Senja loo, tidak mengakui aku!"

"Berisik, ah! Senja, panggil adikmu, ajak sarapan. Kasihan kalau telat."

Adik yang disuruh langsung berdiri patuh, "Ya, Mbak." Namun sedetik kemudian ia berlari mengitari meja lalu menjitak kepala Fajar, "Bocah wadulan, Lu!"

Dan yang dijitak berteriak manja, "Mbak, Senja lhooo!"

"Senjaaa!"

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!