NovelToon NovelToon
Bukan Cinderella Sekolah: Deal Sinting Sang Pangeran Sekolah

Bukan Cinderella Sekolah: Deal Sinting Sang Pangeran Sekolah

Status: sedang berlangsung
Genre:Si Mujur / Diam-Diam Cinta / Idola sekolah / Cinta Murni
Popularitas:113
Nilai: 5
Nama Author: Dagelan

Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.

Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”

Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.

Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.

Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 35: Rumah Cakra dan Malam Tidak Terduga

Hari ini terasa berbeda sejak awal. Aku berjalan di lorong sekolah, membawa tas yang terasa sedikit lebih berat daripada biasanya. Rasanya capek, tapi ada sesuatu yang lebih membuat dadaku sedikit tegang:

Cakra mengatakan akan mengerjakan tugas kerajinan bersama ku. Sepulang sekolah. Aku sama sekali tidak keberatan, kalau memang harus melakukan tugas bersama sayangnya... Dia mengatakan akan pulang kerumah.

Maksudku mengerjakan tugas itu dirumahnya. Aku mencoba menenangkan diri, berpikir, Ah… pasti hanya sebentar. Dia akan antar pulang, selesai. Tidak akan lama, sekaligus tanpa drama.

Tapi ada perasaan aneh di perutku yang terus menggeliat, tak bisa kupadamkan. Sepertinya aku harus ke toilet.

Setelah sekolah selesai, kami berjalan ke luar gerbang, Cakra membawa tas kerajinan yang sudah kami kerjakan sebelumnya. Aku menatapnya sebentar, merasa sedikit gugup.

“Hm… jadi… kita ngerjainnya dirumah lo Cak?” tanyaku sambil menahan senyum gugup.

Cakra menoleh, senyumnya tipis tapi misterius. “Hmm… iya.”

Jantungku berdegup lebih kencang. “Eh… rumah lo? Maksudnya… rumah lo di kota ini?” Aku menatapnya dengan mata melebar, sedikit cemas tapi juga penasaran.

Cakra mengangguk santai, seperti ini hal yang biasa baginya. “Iya… tenang aja. Gue nggak akan bikin kamu nggak nyaman.”

Aku menarik napas pelan, menelan ludah. Dalam hati, aku bergumam, Ah, ini akan jadi pengalaman baru… tapi rumahnya pasti gede banget… orang tua Cakra kan terkenal dan sering muncul di TV, aku pernah lihat di berita sosial media.

Kami masuk ke mobil, dan sepanjang perjalanan, aku diam sambil menatap jendela. Gedung-gedung yang kami lewati terasa tidak biasa, tapi rasa cemasku semakin menumpuk saat kami semakin dekat dengan area perumahan mewah.

Begitu mobil berhenti, aku melihat gerbang besar dengan pagar besi tinggi, dihiasi lampu yang elegan. Rumput terawat, taman mini, dan beberapa patung modern di halaman depan. Napasku tercekat. Hm… rumahnya… sebesar istana kecil.

Cakra tersenyum melihat reaksiku. “Tenang… Kita masuk aja.”

Aku mengangguk pelan, melangkah masuk setelah keluar dari mobilnya dengan hati-hati. Begitu pintu utama terbuka, aku langsung terkesiap.

Rumah ini… jauh lebih mewah daripada yang bisa kubayangkan. Lantai marmer mengkilap memantulkan cahaya lampu kristal yang tergantung di langit-langit. Dinding dihiasi lukisan-lukisan modern, beberapa vas bunga tampak tertata rapi di sudut, dan ada aroma hangat kayu bercampur wangi bunga yang halus.

Aku menelan ludah, menatap sekeliling dengan kagum. Dalam hati, aku membayangkan, Kalau aku yang tinggal di sini… pasti hidupku akan serba mewah. Sendok emas, makanan enak, kamar luas… tapi tentu saja, semua itu milik Cakra sekarang. Bukan aku. Emak, pasti pengen punya rumah kek begini.

Kalau rumah begini nggak bisa dikerjain pencet belnya, karena ada cctv. Sama satpam.

Cakra menepuk bahuku ringan, mengusir rasa canggungku. “Santai aja, Kay. Aku janji nggak akan bikin kamu ngerasa nggak enak.”

Aku hanya tersenyum tipis, mencoba menenangkan diri. “Iya… oke…”

Kami menuju ruang belajar yang luas, di mana meja kayu panjang sudah disiapkan dengan bahan-bahan kerajinan kami. Beberapa maid muncul, menyapa dengan sopan, lalu pergi meninggalkan kami sendirian. Aku menelan ludah, merasa sedikit aneh tapi juga… nyaman.

Cakra mulai menata alat-alat, dan aku ikut membantu. Rasanya canggung tapi juga menyenangkan bisa bekerja bareng dengannya di ruang sebesar ini. Untuk pertama kalinya, dikelas aku disatukan bersama Cakra.

Didalam hati, pasti Tasya akan menggerutu sebal. Karena teman karibnya direbut.

Sesekali aku menatapnya diam-diam, memperhatikan gerakannya yang teratur, senyum tipisnya, dan cara dia menjaga konsentrasi.

“Hm… Kay, jangan terlalu tegang. Ini cuma kerajinan, bukan proyek besar,” ucapnya Cakra sambil menempelkan potongan kain.

Aku menahan tawa, sambil tersenyum sarkastik. “Iya… cuma kerajinan, tapi rasanya kayak masuk ke rumah seorang pangeran.”

Cakra menoleh, matanya bersinar nakal. “Kalau gue pangeran, lo apa?”

Aku menelan ludah, merasa wajahku panas. “Hm… orang yang tiba-tiba dikasih ruang belajar mewah dan dipaksa kerja sama pangeran. Itu simpelnya, rakyat jelata.”

Dia terkekeh kecil, menepuk punggungku ringan. “Tenang… nanti lo juga terbiasa.”

Aku menarik napas panjang, mencoba fokus pada kerajinan. Tapi mata pikiranku melayang ke sekitar. Ruang makan terlihat megah dengan meja panjang, kursi berlapis kain halus, piring dan sendok mengilap seperti dari emas. Aku membayangkan,

Kalau aku makan di sini, pasti rasanya… seperti tukeran nasib. Aku jadi kaya, Cakra jadi Kayyisa, nasib kami berubah… absurd tapi lucu. Hahaha.

Cakra menepuk bahuku lagi. “Kay… lo kok diam aja? Jangan mikir aneh-aneh, kerja dulu. Nanti kita makan setelah selesai.”

Aku mengangguk, menahan tawa. Tanpa sadar malah aku berkhayal yang macam-macam. Tidak bekerja, dan mengerjakan tugas sama sekali. Sadar Kayyisa!

Suasana terasa hangat, tapi juga aneh. Rasanya… campuran antara kagum, canggung, dan senang. Aku mulai memotong kertas warna, menempel kain, sambil sesekali melempar komentar sarkastik.

“Hm… ini tuh sederhana banget, tapi rasanya kayak proyek arsitektur di rumah lo.”

Cakra menoleh, matanya bersinar, senyum tipis muncul. “Iya… tapi gue senang kalau hasilnya rapi.”

Aku menahan senyum, mengunyah permen karet yang dia berikan sebelumnya. Rasanya… manis, mint, hangat, dan menenangkan. Rasanya seperti semua hari-hari penuh kontrak, perhatian, dan canggung kini terasa alami.

Setelah beberapa menit, kami berhenti sejenak untuk menyesap teh yang disediakan maid. Aku menatap gelas porselen halus, merasa sedikit canggung. “Hm… gaji kerja disini berapa sih?"

"Kenapa? Mau ngelamar disini juga?"

"Boleh, CV nya cuman ijazah SMP mungkin bisa?"

Cakra mengangguk. “Iya… boleh-boleh aja. Tapi gue nggak perlu."

Aku menarik napas pelan, menatap sekeliling, membayangkan ruang makan yang megah. Rasanya… aneh. Aku sedikit segan tapi juga penasaran. Sendok emas, gelas kristal… kalau aku makan di sini, rasanya kayak tukeran nasib sama Cakra… absurd tapi lucu.

Cakra tersenyum, seolah membaca pikiranku. “Tenang… nggak usah mikir aneh. Santai aja.”

Kami menyelesaikan kerajinan, sampai malam mulai tiba, kami duduk di ruang makan, makan malam sederhana yang sudah disiapkan. Aku menatap sendokku, masih merasa canggung. Gila! Gue beneran makan dirumah sultan!

Ini kalau aku salah sedikit, memecahkan piring karena grogi menyimpan sendok bisa amsyong.

"Makan apa? Bisa request kok."

Aku tertawa tipis, mata celingak-celinguk diruang makan luas dengan meja panjang ini hanya ada aku dan Cakra saja. Duduk dengan para maid yang mulai menyajikan piring-piring diatas meja.

Didalam hati, aku sudah melirik kursi bagian tengah pasti untuk sang pemilik rumah. Bapaknya. Dan mungkin, didepan Cakra duduk itu kursi Mamanya lalu tempat ku duduk itu kursi adiknya. Setahu aku, Cakra itu tiga bersaudara.

Yang aku lihat di televisi. Cakra itu anak kedua, dia punya kakak perempuan satu dan seorang adik laki-laki.

Tapi sejak datang, sampai malam tiba mereka tidak muncul sama sekali. Hanya foto-foto yang terpajang disepanjang lorong menuju ruang tengah yang aku lihat mereka berada didalam frame yang sama.

"Cuman kita yang makan?"

Cakra terkekeh. "Iya, lo keliatan banget nyariin keluarga gue? Mereka semua sibuk."

"Wah. Dirumah segede gini, apa lo selalu makan sendirian?"

"Kadang. Hari ini, gue nggak sendirian." Aku merenggut, menatap lurus kearah Cakra yang mulai tersenyum tipis. Dia duduk menghadap ku, dengan matanya yang mulai menyipit, karena tersenyum entah apa yang dia pikirkan cowok itu menangkup dagu dengan satu tangan dan menggigit apel merah.

Melihat itu, aku berkomentar. "Lah, yang makan disini cuman tamu kayaknya. Lo makan buah duluan, jadi pending 30 menit. Lo sendirian."

"Kok gitu?" Cakra menyimpan apelnya di meja. Tidak melanjutkan makan. "Makan bareng lah."

"Nggak bisa, itu bahaya. Masa orang kaya nggak tahu sih?" Aku tertawa kecil, dengan Cakra yang langsung menoleh kepada maid yang baru saja datang. "Tunda 30 menit, jangan kasih tamunya makan duluan."

"Lah! Kok gitu?" Kini giliran aku yang protes. Cakra menoleh dengan alis yang terangkat. "Inget, makan setelah dipersilahkan. Kalau tamu makan duluan Kayyisa itu namanya nggak sopan."

"Ih..." Aku mengedigkan bahu, memalingkan wajah kedepan. Di sampingku Cakra tertawa menoel-noel lenganku yang ku tepis dengan sebal. "Jangan colek-colek orang sembarangan!"

"Kalau laper makan ini dulu." Kepalaku menoleh kearahnya, dengan langsung berhadapan sepotong buah mangga. Cakra memegangnya dan aku refleks memundurkan kepala kebelakang. "Nggak mau."

"Katanya laper." Cakra menyodorkan buah itu terus kepadaku, yang pada akhirnya aku tahan dengan mencoba memutar tangannya. "Lo aja, gue nggak mau."

"Cobain."

"Lah, lo kira gue semiskin itu sampai nggak pernah cobain buah mangga." timpal ku dengan nada sewot. Sementara Cakra yang sedang mengunyah terkekeh dan tersedak sendiri.

Dia tertawa dengan diiringi tawaku yang entah kenapa juga lebih keras ditengah ruangan yang sepi. Aku yang duduk di meja makan yang luas, menatap hidangan yang tersaji di depanku. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya hangat ke meja, dan aroma masakan yang baru keluar dari dapur membuat perutku bergetar—meski harus kuakui, aku masih belum sempat makan bekalku tadi.

“Lo belum makan bekal, kan?” tanya Cakra kini dia sudah tidak tertawa, dengan minum yang dia ambil sendiri  tadi. Kini entah dapat Ilham dari mana dia mengambil tempat duduk seberang meja.

Suaranya santai, tapi ada nada iseng yang aku kenal terlalu baik. Aku mengangkat bahu, mencoba menutupi rasa bersalah. “Belum… sempat.”

Dia menatapku sejenak, lalu matanya mengerling sedikit. “Ingat nggak waktu lo bilang besok mau tukeran bekal sama gue?”

Aku tersenyum kaku. Ya, aku ingat. Aku bahkan sempat berpikir, ini ide aneh tapi… lucu. “Iya. Tapi gue nggak yakin kalau gue siap untuk tukeran sama… makanan pangeran kaya.”

Aku mengangkat sendok, menunjuk ke hidangan yang dihadapanku. “Ini… apa namanya… salmon panggang? Nasi putihnya wangi banget sih. Tapi… kalau dibandingin sama bekal gue, ya… mungkin… kurang drama gitu?”

Cakra tersenyum tipis, hampir tak terlihat, tapi matanya bersinar. “Kurang drama? Maksud lo gimana?”

Aku pura-pura serius, menatapnya dari balik sudut mata. “Ya, bekal gue itu… simpel. Nasi goreng seadanya, telur mata sapi, kadang sosis setengah matang, tapi penuh usaha.”

Aku mengetuk piringnya dengan garpu. “Sementara ini… hmm… kayak raja makan. Nggak ada usaha, cuma tampilan.”

Cakra tertawa ringan, tapi tak terdengar keras. Suaranya tetap hangat. “Oke, berarti besok gue bakal merasakan nasib jadi rakyat jelata.”

Aku menekuk bibir, pura-pura cemberut. “Iya. Tapi jangan sampe kaget kalau gue curhat soal rasa bekal gue ke semua orang di rumah lo.”

Dia menatapku dengan ekspresi datar, tapi matanya tak bisa menipu. Ada kilatan geli di sana. “Kita bakal lihat siapa yang lebih curhat duluan.”

Tidak mengindahkan perkataan ki dia mulai mengambil makanan, aku memperhatikan setiap gerak Cakra. Cara dia memegang sumpit, menundukkan kepala sedikit ketika menggigit potongan sayur, cara matanya menatap ke arahku ketika aku membuka bekal yang tadi sengaja kubawa.

Walaupun berminat dengan khayalan makan dirumah orang kaya, tapi aku lebih tahu diri. Lagipula sayang sekali bekal yang sudah emak buat ini kalau dibawa lagi dengan keadaan utuh. Berat-beratin tas aja kan.

Aku menahan senyum, tapi jantungku tetap berdetak kencang. “Lo serius mau tukeran besok?” tanyaku setelah beberapa menit hening.

Aku mencoba terdengar biasa saja, tapi suara kecilku bercampur rasa penasaran.

“Serius,” jawabnya pendek. Tapi caranya menatapku… membuat aku yakin dia menikmati ini. “Bibi di dapur akan siapin bekal untuk gue. Jadi lo nggak perlu repot.”

Aku mengangkat alis, setengah terkejut. “Bibi? Tapi gue pengin bikin sendiri. Kan ini misi tukeran.”

"Kenapa lo nggak makan yang ada dimeja?"

Aku menggelengkan kepala, menyuap satu sendok nasi dengan mengangkat sedikit bekal ku. "Sayang kalau nggak abis."

"Ya tapi, pake lauknya."  Cakra mencondongkan tubuh sedikit ke depan, senyumnya masih tipis tapi lebih mengundang. Memberikan beberapa sayuran dengan piring yang dia sodorkan. “Gue ngerti. Tapi lo capek seharian, besok gue yang handle. Jadi lo cuma makan, simple. Abis itu kita bisa langsung ke… gimana ya, misi berikutnya.”

Aku menelan ludah. “Gue nggak bisa percaya… lo gampang banget bikin gue nurut.”

Dia menatapku, tanpa suara. Aku hanya bisa merasakan mata itu menahan sesuatu—bukan amarah, bukan kesal, tapi… kemenangan kecil.

Aku menatap kembali hidangan di depanku. Salmon panggang itu tampak sempurna, dengan saus lemon tipis yang mengilap di permukaan. Tapi aku tetap merasa lucu, membandingkannya dengan nasi goreng sederhana yang kubawa tadi. Aku menaruh sendok, pura-pura serius.

“Yaudah… kita akan tukeran besok,” gumamku sambil menyunggingkan senyum. “Tapi gue akan menilai lo, tuan Adinata. Kalau rasa bekal lo nggak sebanding sama tampilan, gue bakal bilang juga.”

Cakra mengangguk, seolah menerima tantangan. “Siap. Gue tantang lo juga—kalau lo bikin gue muntah, gue akan balikin kritik ke lo.”

Aku terkekeh. Interaksi ini… terasa absurd tapi hangat. Ada sesuatu di rumah besar ini yang membuatku nyaman, walau aku tetap merasa sedikit canggung di antara kemewahan.

Setelah selesai makan, Cakra berdiri, berjalan ke dapur sebentar. Aku memperhatikan setiap langkahnya—bagaimana jas hitam yang biasanya dipakai sekolah diganti dengan kemeja santai dan celana panjang sederhana. Cara dia bergerak tetap anggun, hampir seperti model, tapi ada kesan santai yang membuatnya bisa dicapai.

Astaga Kay! Sadar!

Dia kembali dengan dua gelas jus jeruk. “Ini buat lo, sebagai bonus moral,” katanya, menaruh gelas di depanku.

Aku tersenyum, menatap jus itu. “Bonus moral?”

“Ya, lo pantas. Udah ngalah sama gue soal tukeran bekal,” jawabnya sambil duduk kembali.

Aku mengambil gelas, menyesap sedikit. Jusnya manis, segar, tapi… aku tidak bisa berhenti tersenyum memikirkan besok. Besok, Cakra akan merasakan bagaimana rasanya makan bekal sederhana yang kubuat. Sesuatu yang terdengar remeh, tapi… bagiku penting.

“Lo yakin nggak keberatan?” tanyaku pelan. “Besok… gue bakal bikin yang standar banget. Nggak fancy, nggak cantik, cuma… usaha gue.”

Cakra mencondongkan kepala, matanya bersinar. “Nggak. Gue penasaran sama usaha lo. Lagipula, gue pengin liat ekspresi lo waktu gue makan bekal lo.”

Aku menahan tawa. “Ekspresi gue?”

Dia mengangkat bahu santai. “Ya, lo pasti bakal senyum, atau… bikin muka lucu karena rasa terlalu sederhana. Gue pengin liat itu.”

Aku menggeleng. “Aneh… tapi oke. Nggak bakal nyangka lo bakal excited sama hal gini.”

“Gue bisa banyak excited, Kay,” katanya datar tapi terdengar penuh arti. “Lo bakal liat sendiri.”

Sambil membersihkan meja, aku sadar sesuatu. Perasaan campur aduk. sedikit gugup karena besok harus masak, sedikit senang karena bisa lihat sisi lain Cakra, dan sedikit… tidak enak karena terus merasa dibawa ke dunia mewahnya.

Tapi kemudian aku teringat, ketika dia tadi menaruh jus di depanku, senyumnya tipis tapi penuh perhatian, ada rasa hangat di dada.

Entah kenapa, semua ketakutan soal mewahnya rumah, soal keluarganya yang sibuk, sedikit terhapus.

“Lo yakin bisa masak besok pagi?” tanyaku sambil menatap ke arahnya.

“Yakin,” jawabnya singkat. “Biar gue yang handle tukeran bekal, lo tinggal nikmatin hasil kerja lo.”

Aku menelan napas. Rasa percaya dirinya itu patut diacungi jempol. “Hah… gue masih harus masak.”

“Ya, tapi itu bagian serunya. Gue bakal jadi tester,” katanya santai.

Aku menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. “Gue nggak bakal kasih ampun kalau lo bilang gue gagal bikin.”

Dia menatapku, matanya sedikit menyipit. “Kalau begitu, besok gue siap dikecam habis-habisan.”

Aku tertawa ringan, menyesap jus lagi. Suasana di rumah besar ini—dengan lampu hangat, aroma masakan, dan kehadirannya di seberang meja—membuatku merasa aneh tapi… nyaman. Seperti dunia kita sementara berhenti, hanya aku dan Cakra, dalam ritme kecil yang absurd tapi… hangat.

Malam itu berakhir dengan kehangatan aneh tapi menyenangkan. Dan aku tahu, besok… tukeran bekal akan jadi lebih dari sekadar makan. Itu akan jadi momen kecil tapi berarti, tentang usaha, perhatian, dan… mungkin, sedikit permainan pura-pura yang terasa nyata.

✨ Bersambung…

1
Yohana
Gila seru abis!
∠?oq╄uetry┆
Gak sabar nih nunggu kelanjutannya, semangat thor!
Biasaaja_kata: Makasih banyak ya! 😍 Senang banget masih ada yang nungguin kelanjutannya. Lagi aku garap nih, semoga gak kalah seru dari sebelumnya 💪✨
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!