Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Menyerah
Disaat semua orang tengah menikmati hari libur. Raya justru harus bekerja, mengumpulkan uang. Mondar mandir mencatat pesanan dan mengantarkan ke meja. Meski rasa lelah, menjalar di sekujur tubuh, ia tak bisa beristirahat, selama meja didepan sana dipenuhi pelanggan.
"Silahkan, Nyonya." Raya memberikan buku menu dengan sopan, sembari tersenyum lebar.
"Kamu, Raya?" tanya si pelanggan.
"Maaf, Anda siapa?" Raya justru kembali bertanya. Meski, heran. Namun, senyum diwajahnya tidak pudar.
"Aku ibu Adrian. Apa kita bisa bicara?"
"Maaf, Nyonya. Saya sedang bekerja. Mungkin lain waktu." Senyum diwajahnya Raya sedikit memudar. Lagi-lagi masalah datang menghampiri, dan dengan perkara yang sama.
"Tapi, aku tidak memiliki banyak waktu senggang sepertimu. Berapa harganya?"
"Maksud anda?" tanya Raya, dengan nada sedikit meninggi dan raut wajahnya kini berubah.
"Harga waktumu," seringai ibu Adrian.
"Jika Anda ingin datang mengkonfirmasi sesuatu. Saya akan mengatakan dengan jelas. Saya tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Adrian. Jadi, jika Anda tidak ingin memesan. Tolong, silakan pergi!"
"Ooo.... Sejak kapan, seorang pramusaji rendahan, mengusir pelanggan? Benar-benar, bernilai!"
Ditengah perdebatan itu, Retno muncul sebagai penengah. Sebelum, manajer mereka melihat insiden ini.
"Maaf, Nyonya. Apa yang bisa saya bantu? Kami punya rekomendasi me .... "
"Panggil manajer kalian!" Ibu Adrian menatap tajam Retno.
"Nyonya.Tolong, semua bisa dibicarakan baik-baik."
"Apa kau tuli? Panggil manajermu!" teriak ibu Adrian dengan mata melotot.
"Ada apa ini?" si Manajer datang. Namun, tatapannya langsung terkunci pada Raya, yang berdiri dengan posisi sedikit membungkuk.
"Ajar karyawanmu, untuk bersikap lebih sopan! Mengusir pelanggan? Benar-benar sesuatu! Aku baru mendapatkan pelayanan seperti ini."
"Maaf, Nyonya. Tolong, tenang!"
"Tidak perlu. Aku akan memberikan rating rendah untuk restoran ini dan menyebarkannya. Paham kalian!" Ibu Adrian menyambar tasnya dan langsung pergi.
Sang manajer, mengejar pelanggan tersebut, sembari mencoba memberikan penjelasan dan permintaan maaf. Namun tetap saja, pelanggan tersebut tidak peduli.
"Raya. Ikut saya!"
Raya pasrah. Sudah seperti ini, ia harus bagaimana, selain mengikuti alur. Ia sudah mencoba menjauhi masalah, namun tetap saja ia berakhir seperti sekarang.
"Pak. Saya minta maaf. Tapi, itu tidak seperti yang wanita itu katakan."
"Apa kau tahu. Satu pelanggan saja yang memberikan rating rendah, akan berdampak besar."
"Saya minta maaf, Pak."
"Tidak perlu. Aku sudah pernah bilang, selesaikan masalah pribadimu diluar. Dan ini, sudah kedua kalinya, Raya. Jadi, bereskan barang-barangmu. Gajimu yang setengah bulan ini, akan saya transfer."
Raya tidak mau mengemis, sebab ia tahu, itu sia-sia. Sembari menghapus air mata, ia berjalan keluar untuk mengganti pakaian dan mengambil tas.
"Bagaimana?" tanya Retno, yang menunggu diruang ganti.
"Aku dipecat," ujar Raya tersenyum pahit, "aku akan beres-beres dan pulang."
"Kau tidak memberikan penjelasan. Ibu itu sengaja mencari masalah. Tapi, sebenarnya dia siapa? Kenapa dia melakukan itu?"
"Aku juga tidak tahu," jawab Raya dengan lesu, "kembali bekerja. Aku akan siap-siap."
Tanpa menunggu, Raya langsung berkemas. Sebelum keluar, ia berpamitan kepada teman-temannya. Mereka saling menguatkan dan memberikan semangat. Kini, ia menjadi pengangguran. Pekerjaan yang susah payah, ia dapatkan, lepas sudah dari genggaman.
Entah bagaimana, nasibnya kini. Ada beban tanggung jawab yang harus ia pikul dan ada sebuah janji yang harus ia tunaikan. Nyatanya, ia terjebak dalam realita hidup.
Dengan ojek online, Raya tiba di kontrakan. Menaruh tas diatas lantai dan langsung duduk diatas lantai, tanpa berganti pakaian. Ia segera mencari lowongan pekerjaan, melalui aplikasi.
Satu jam, tanpa terasa. Raya masih diposisi yang sama. Rasa haus yang menggerogoti kerongkongan, tak ia hiraukan. Perutnya yang berdendang karena kelaparan, diabaikannya. Ada hal yang lebih penting, dari hidupnya. Sang putri tercinta, menunggu kiriman uang, untuk sekedar membeli sekaleng susu.
"Apa aku harus kembali ke kampung saja?" gumam Raya, saat ia hampir berputus asa. Di kampung, banyak yang bisa ia lakukan. Menjadi buruh cuci, buruh tani, atau mungkin berjualan. Daripada hidup di kota besar, tanpa pekerjaan, dengan biaya hidup selangit.
Dan disaat, Raya sedang berpikir keras, terdengar suara seseorang mengetuk pintu. Awalnya, Raya tidak peduli, dengan berpura-pura diam, agar terlihat, kontrakan ini tidak ada seorang pun.
Namun,
"Ra. Ini aku, Adrian. Aku tahu, kamu didalam." Adrian kembali mengetuk pintu, seolah tahu, ada seseorang didalam sana. "Raya. aku tahu, ibuku menemuimu."
Raya langsung bangkit dan membuka pintu dengan kasar. "Iya. Dia datang. Jadi, aku mohon, Tuan. Tolong, jangan menggangguku. Hidupku sudah sangat sulit, jadi jangan datang menambahnya lagi. Apa Anda tahu, bagaimana sulitnya saya mencari pekerjaan baru?" teriak Raya, dengan wajah hampir menangis, "saya punya anak dan ibu, yang menunggu di kampung."
"Tenang. Dengarkan aku!"
"Tidak. Anda yang harus mendengarkan saya. Bukankah Anda pernah bilang, Anda tidak mau membuang waktu untuk wanita sepertiku, terlebih membawa seorang anak? Jadi, tolong, pegang kata-katamu. Entah aku kesulitan seperti apa, jangan pernah menoleh!"
"Dengarkan aku," teriak Adrian.
"Tidak perlu. Silahkan pergi!" usir Raya yang langsung menutup pintu. Entah Adrian sudah pergi atau belum, Raya tidak peduli. Ia jatuh terduduk diatas lantai, memeluk kedua lututnya dan terisak.
Mereka tidak punya hubungan dan Raya, bahkan tidak memiliki perasaan apa-apa. Tapi, kenapa cobaan datang bertubi-tubi dari hal yang sama? Apakah ucapannya sungguh tidak dapat dipercaya? Harus berapa kali, ia menyatakan kepada mereka? Apa ia perlu membuat papan pengumuman?
Mulai dari rekan kerja pria itu, tunangan, sekarang ibunya yang muncul. Entah, besok-besok siapa lagi. Ia juga sudah kehilangan pekerjaan karenanya dan sekarang, terulang lagi.
Sebuah bisikan-bisikan kecil, mulai mengganggu pikiran Raya. Bujukan untuk pulang kampung, dan pikiran akan indahnya masa depan disana. Berkumpul bersama keluarga, terdengar lebih baik. Meski, pekerjaan yang penghasilannya sangat sedikit, tapi senyum Lily, seolah membuat semua baik-baik saja.
"Baiklah. Aku lebih baik pulang. Mungkin, cobaan ini, menyuruhku untuk kembali."
Raya menghapus air matanya dan segera bangkit. Ia segera mengeluarkan semua pakaian miliknya dan memindahkan dalam tas besar. Tak lupa, dokumen yang ia bawa.
Jam dinding, menunjukkan pukul 12 siang tepat. Jika berangkat sekarang, ia bisa beristirahat di rumah sang ibu. Tapi, tidak mungkin ia langsung pergi tanpa berpamitan kepada Retno. Sahabat yang sudah banyak membantu.
Pakaian sudah siap dalam tas besar. Raya kita tak perlu berganti pakaian. Begitu Retno pulang, ia akan langsung berpamitan, tanpa drama tambahan. Raya membaringkan tubuh, sembari menunggu jam dinding yang terus berputar, berharap waktu yang ia tunggu, segera tiba.
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat