I Love You My Husband

Acara lamaran Yunan untuk Zia sukses sempurna. Setelah cincin berhasil Yunan sematkan ke jari Zia. Tepuk tangan pun bergemuruh. Kebahagiaan mereka berdua berimbas pada yang lain.

Intinya, bukan hanya mereka berdua saja yang bisa merasakan kebahagiaan dari lamaran tersebut. Mereka yang menyaksikan lamaran itu juga ikut berbahagia. Kecuali, Brian dan mungkin juga Wingsi tentunya. Karena, wajah keduanya saja yang terlihat murung.

Selesai masalah lamaran, kali ini tinggal masalah kedua irang tua Zia saja lagi. Gara-gara ulah Yunan, Zia pun diminta oleh papa dan mamanya pulang ke rumah. Tentunya, dengan Yunan sekalian yang ikut pulang.

"Om, tante. Maaf, aku yang sudah merusak pesta ulang tahun perusahaan kalian. Aku akan tanggung jawab."

"Papa, mama. Jangan salahkan kak Yunan. Lamaran ini .... "

"Katakan pada ku, kapan kalian bertemu?" Papa Zia angkat bicara sambil terus menatap Zia dan Yunan secara bergantian.

"Itu ... ee .... " Zia bingung harus mulai dari mana. Soalnya, cerita kisah cinta mereka terbilang sangat rumit. Sangat sulit untuk dijelaskan pada orang lain. Hanya mereka berdua sajalah yang tahu seperti apa jatuh bangun dari hubungan yang mereka jalani.

"Papa. Dia adalah pak Yunan. Pimpinan perusahaan Leir." Kali ini, Wingsi yang angkat bicara.

Sontak, papanya langsung melirik Wingsi dengan lirikan cukup menyeramkan. "Aku tahu siapa dia. Tapi, yang sedang aku pertanyakan bukan dia siapa. Melainkan, bagaimana dia bisa bersama dengan anakku. Bukan apa latar belakangnya."

"Om. Aku suka Zia sudah cukup lama. Hanya saja, aku tidak punya cukup keberanian untuk memulai. Aku berusaha mengejar Zia. Membuatnya jatuh cinta padaku dengan berbagai cara. Tapi, caraku selalu gagal. Hingga akhirnya, Tuhan memberikan aku kesempatan kedua yang membuat aku bisa bersama dengannya. Sekarang, aku sudah menunjukkan cintaku dengan caraku. Dan, aku sekarang juga sangat beruntung, anak om mau membalas cintaku itu."

Penjelasan panjang lebar yang Yunan berikan membuat papa Zia langsung menatap anaknya. "Zia. Katakan! Apa kamu juga cinta dia?"

"Papa ... iya."

"Sejak kapan."

"Beberapa waktu yang lalu. Cintanya sudah berhasil mengetuk hatiku, Pa. Karena itu, Zia ingin memulai hidup baru dengan kak Yunan. Papa, tolong restui Zia bersama orang yang Zia cintai ya."

Papa Zia langsung melepas napas berat secara perlahan. "Kalian saling mencintai. Apa hak ku untuk melarang kebahagiaan kalian? Yah, meskipun kamu adalah anakku. Tapi, jika kamu bahagia, aku tentu tidak akan siap untuk merusak kebahagiaan kamu."

"Jadi?" Zia bertanya dengan penuh semangat. "Papa restui Zia punya hubungan dengan kak Yunan."

Papa Zia mengangguk pelan. "Hm ... apa boleh buat? Memangnya, papa punya pilihan lain selain merestui?"

"Papa."

"Iya deh, iya. Papa merestui hubungan kalian berdua."

"Untuk kamu Yunan, jika kamu benar-benar menyukai anakku, jangan sesekali kamu menyia-nyiakan dia. Meskipun kamu adalah orang ternama, aku juga tidak akan mempertimbangkan kedudukan mu itu. Aku gak akan tinggal diam. Aku akan buat perhitungan padamu jika kamu berani menyakiti hatinya."

"Om tenang saja. Aku, tidak akan pernah melukai hati anak gadis om ini. Karena seluruh hatiku, sudah ku persembahkan untuknya. Semuanya, tanpa tersisa."

"Hm. Aku tidak ingin hanya mendengarkan kata-kata manis yang kamu ucapkan saja. Aku ingin bukti."

"Baik, Om. Besok, aku akan bawa orang tuaku datang untuk melamar Zia. Selanjutnya, om akan selalu melihat bukti cintaku untuk anak om."

"Baiklah. Aku coba percaya pada kata-kata yang kamu ucapkan."

Setelah ngobrol sesaat lagi, akhirnya, pertemuan itu berakhir. Yunan pun meninggalkan kediaman Zia. Dengan bahagia, Zia mengantar Yunan hingga depan pintu. Lambaian tangan mengiringi kepergian Yunan dari halaman rumah.

Saat Zia ingin masuk ke dalam, tiba-tiba saja, tangannya langsung dicengkeram oleh seseorang. Zia sontak di buat kaget karena cengkraman tersebut.

"Hah!"

"Zia. Ini aku."

"Brian."

"Ayo bicara, Zia!"

"Bicara apa?"

"Ikut saja."

"Ih ... gak mau. Lepaskan!"

"Sebentar saja, Zia."

"Aku gak mau."

Mereka akhirnya sampai di sudut taman. Zia langsung menarik tangannya yang baru berhasil ia lepaskan dari cengkraman tangan Brian.

"Apaan sih? Ngapain harus ke sini hanya untuk bicara?"

"Zia. Kamu beneran ingin bersama dengan pria lumpuh itu? Zia sadarlah! Marah juga ada batasannya. Jangan karena aku menolak pengakuan cintamu, kau korbankan dirimu sendiri. Jangan begini, Zia."

"Kamu ngomong apa sih? Gak jelas banget."

"Zia. Aku tahu kamu masih sangat marah padaku. Kamu kecewa dengan penolakan yang aku berikan waktu itu. Tapi, gak gini juga caranya, Zia."

"Brian, cukup. Tolong kalo bicara dipikir dulu sebelum kata itu kamu keluarkan dari mulutmu. Dan, tolonglah, Brian. Jangan terlalu percaya diri. Jangan bicara seolah kamu sangat tahu apa kebenaran dari apa yang kamu bicarakan itu. Jangan terlalu-- agh. Tolong deh, jangan ge-er intinya. Bisa 'kan?"

"Zia. Aku tahu-- "

"Kamu gak tahu!" Potong Zia dengan cepat. "Cukup. Kamu gak tahu apa yang sedang terjadi, Brian. Kamu juga gak tahu seperti apa hatiku. Hubungan ku dengan kak Yunan seperti apa, kamu juga gak ngerti. Tolong, jangan sok tahu."

"Zia."

"Brian. Aku mencintai kak Yunan. Meskipun dia tidak sempurna, tapi dia spesial. Dan, dia juga jauh lebih baik dari kamu."

"Apa yang dia jauh lebih baik dari aku, Zia? Dia hanya punya uang saja. Dia itu pria dingin, pria kaku, pria yang gak punya perasaan. Kamu gak akan bahagia jika bersama dengannya. Dia gak akan bisa buat kamu bahagia. Selain itu juga, dia lumpuh, Zia. Dia cacat. Bagaimana bisa kamu nikah dengan orang yang tidak sempurna seperti dia?"

Zia sontak langsung memberikan Brian tatapan tajam menusuk. "Jangan hina dia, Brian. Meskipun dia tidak bisa berjalan dengan normal. Tapi dia sangat spesial. Cintanya padaku gak akan pernah bisa dibandingkan dengan apapun. Dia mencintai aku sepenuh hatinya. Dia mampu membuatku merasa nyaman dengan caranya. Dia sempurna di mataku. Dia istimewa. Cara dia mencintai aku luar biasa."

"Zia."

Brian cukup terkejut akan kekaguman Zia barusan. Dari ucapan Zia barusan, Brian bahkan bisa melihat kesungguhan yang sesungguhnya. Kekaguman yang luar biasa. Sama sekali tidak ada rekayasa di dalamnya.

"Zia. Kamu-- "

"Sudahlah. Mau aku katakan seperti apapun juga, kamu gak akan pernah mengerti Brian. Hah, sebaiknya, sekarang, kita jangan saling mengurus kehidupan orang lain. Fokus sajalah pada kehidupan kita masing-masing. Dan, masa lalu yang telah berlalu, jangan pernah di ingat lagi. Lupakan saja semuanya."

"Zia. Tapi-- "

"Permisi."

Zia pun langsung beranjak meninggalkan Brian. Sedangkan Brian, sungguh, ucapan Zia langsung memukul batinnya dengan sangat keras. Dia terdiam di sana dengan hati yang terluka.

"Zia. Kamu bisa bicara dengan semudah itu? Kamu-- kenapa, Zia? Kenapa? Masa lalu kita. Hah .... "