Baru kali ini Ustad Fariz merasakan jatuh cinta pada lawan jenisnya. Akan tetapi, dia tidak bisa menikah dengan gadis yang dicintainya itu. Dia malah menikah dengan wanita lain. Meskipun begitu, dia tidak bisa menghapus nama Rheina Az Zahra si cinta pertamanya itu dari hatinya. Padahal mereka berdua saling mencintai, tapi mengapa mereka kini mempunyai pasangan masing-masing. Bagaimanakah mereka bisa bersatu untuk bersama cinta pertama mereka?
Ikuti kisah Ustaz Fariz dan Rheina Az Zahra untuk bisa bersama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She_Na, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 Gosip yang beredar
"E-e.. i-itu.. e...," Mirna gugup hingga menjawab dengan gagap pertanyaan Dokter Shinta.
"Bu Mirna.... Bu... tunggu...," seru Dokter Shinta ketika melihat Mirna berlari menjauhinya.
Dokter Shinta heran melihat Mirna yang seolah ketakutan melihatnya. Memang Dokter Shinta sudah mengetahui perihal poligami yang dilakukan oleh Ustad Fariz dari Ustad Jaki, tapi hanya sebatas tahu saja karena Ustad Jaki tidak memberitahukan secara detail alasan Ustad Fariz melakukan poligami.
"Selamat siang, maaf menunggu. Tadi saya bertemu dengan Bu Mirna di depan. Apa Bu Mirna juga mau diperiksa?" ucap Dokter Shanti ketika masuk ke dalam ruangan dan bersiap untuk memeriksa Rhea.
"Mirna?" Ustad Fariz heran ketika Dokter Shinta menyebut nama Mirna.
Rhea menoleh pada suaminya. "Bie, kenapa Mbak Mirna ada disini?"
Ustad Fariz menggeleng menjawab pertanyaan Rhea. Kemudian dia bertanya pada Dokter Shinta.
"Sekarang ada dimana Dok?"
"Tadi setelah saya sapa Bu Mirna nya malah lari. Setelah itu saya tidak tau," jawab Dokter Shinta.
"Mari Bu saya periksa dulu," ucap Dokter Shinta mempersilahkan Rhea untuk naik ke bed pemeriksaan.
"Bie, susulin Mbak Mirnanya," ucap Rhea sebelum naik ke bed untuk diperiksa.
"Gak usah, wong dia tadi ngintilin kita mulai dari rumah kok," sahut Ustad Jaki sambil terkekeh.
"Beneran? Kok kamu tau?" tanya Ustad Fariz.
"Kan kelihatan dari kaca spion. Udah gak usah dipikirin, paling juga sekarang dia udah balik," jawab Ustad Jaki dengan tenang.
"Bu, ini usia kandungannya sudah mencapai tiga minggu. Selamat ya...," ucap Dokter Shinta dengan tersenyum.
"Alhamdulillah...," ucap syukur dilontarkan Rhea, Ustad Fariz dan Ustad Jaki bersamaan.
"Mana, mana bayinya?" ucap Ustad Jaki dengan semangatnya mendekat ke arah monitor USG.
Perawat yang menemani Dokter Shinta tersenyum melihat kelakuan Ustad Jaki dan berkata,
"Maaf Pak, bayinya belum kelihatan. Bapak sabar dulu ya."
"Kok Bapak sih Sus? Saya ini masih single loh," ucap Ustad Jaki yang sudah ada di dekat Dokter Shinta melihat layar USG.
"Lagian kamu ngapain disini? Harusnya suaminya Bu Rhea yang disini," ucap Dokter Shinta heran.
"Gapapa, sekalian belajar nanti biar aku tau kalau kita punya anak," ucap Ustad Jaki dengan menaik turunkan alisnya menggoda Dokter Shinta.
Pipi Dokter Shinta merona, dia malu digoda seperti itu di depan banyak orang, terlebih lagi ada perawat yang membantunya disana.
Rhea dan Ustad Fariz tersenyum melihat usaha Ustad Jaki untuk mendekati Dokter Shinta. Ustad Fariz berada di samping bed Rhea dan mereka bergandengan tangan tersenyum melihat layar USG yang menampakkan buah cinta mereka.
Setelah mendapatkan vitamin dari resep yang diberikan Dokter Shinta, mereka kembali ke mobil untuk pulang ke Pondok Pesantren Al-Mukmin.
"Bie... bie... bisa gak kita ke sawah?" tanya Rhea ketika melihat deretan sawah yang menghijau dari balik kaca mobil dalam perjalanan pulang.
"Hah? jangan ngadi-ngadi deh," sahut Ustad Jaki yang masih setia dengan kemudinya.
"Siapa yang ngadi-ngadi," gerutu Rhea lirih sambil mengerucutkan bibirnya.
Ustad Fariz tersenyum melihat istrinya yang sedang ngambek mengerucutkan bibirnya. Rasanya gemas sekali ingin memakannya.
Astaghfirullahaladzim.....
"Boleh, di sawah mana?" tanya Ustad Fariz sambil mengusap-usap jilbab Rhea.
"Boleh Bie?" mata Rhea berbinar senang.
"Ustad kok main setuju-setuju aja sih? mending di rumah aja deh, kan Rhea lagi hamil," sela Ustad Jaki.
"Justru lagi hamil, jadi harus dipenuhi keinginannya," jawab Ustad Fariz.
"Kamu lagi ngidam?" tanya Ustad Jaki pada Rhea.
"Gak usah ditanya juga Ustad...," ucap Ustad Fariz sambil menggelengkan kepalanya.
Sedangkan Rhea dengan nyamannya melingkarkan tangannya pada pinggang Ustad Fariz dan menaruh kepalanya di dada suaminya. Rasanya sangat tenang sekali sambil menghirup aroma khas suaminya.
"Ya ampuun kalian malah uwu-uwuan disini, jiwa jomblo ku meronta-ronta. Ya Allah tolonglah hamba Mu ini....," sindir Ustad Jaki yang melihat sepasang suami istri itu dari kaca spion yang ada di tengah.
"Husss gak boleh ngintip!" seru Ustad Fariz yang malah dengan eratnya memeluk istrinya.
Rhea dan Ustad Fariz malah tertawa melihat Ustad Jaki yang bermuka masam.
"Sayang kita ke sawah belakang Pondok Pesantren aja," ucap Ustad Fariz yang tangannya masih setia mengusap-usap punggung istrinya.
"Terserah Hubby aja deh, yang penting di sawah," jawab Rhea dengan mendongakkan wajahnya dan tersenyum lebar melihat wajah suaminya yang juga menunduk melihat wajahnya.
"Ck, kalian terlalu uwu. Kasihan mataku ternodai kesuciannya," Ustad Jaki mencebik melihat mereka sesekali dari kaca spion yang ada di tengah sambil fokus pandangannya ke depan jalan.
Sayangnya ucapan Ustad Jaki tidak mendapatkan respon dari sepasang suami istri yang ada di belakangnya. Memang sepertinya benar-benar dianggap sebagai sopir oleh mereka.
"Nasib... nasib, udah jadi sopir malah sekarang disuguhi keromantisan kalian" gerutu Ustad Jaki yang masih setia dengan kemudinya.
"Gak baik gerutu terus dari tadi. Lagian bukannya kamu senang ya ikut ke rumah sakit, jadi bisa ketemu sama Dokter Shinta?" ucap Ustad Fariz.
"Itu sih lain cerita. Kalau dekat Shinta sih senang, tapi kalau dekat kalian menderita, rasanya status jomblo ku tersakiti," ucap Ustad Jaki mendramatisir.
"Ustad mah lebay," seru Rhea sambil terkekeh.
Dan disinilah mereka sekarang. Ustad Jaki menurunkan Ustad Fariz dan Rhea di sawah milik Pondok Pesantren Al-Mukmin yang letaknya di belakang Pondok Pesantren. Setelah itu dia meninggalkan sepasang suami istri itu menikmati acara makan mereka bersama alam.
Tak disangka, ternyata Mirna masih setia mengikuti mereka. Dia sangat penasaran dengan datangnya mereka ke rumah sakit, dan dia berharap agar Rhea mengidap sakit yang parah sehingga dia tidak lama lagi hidup di dunia.
Mirna mengernyitkan dahinya dibalik helm yang dipakainya. Dia heran mengapa suaminya dan Rhea diturunkan di sawah dan mereka kini berjalan di pinggiran sawah dan duduk di gubuk yang ada di tengah sawah.
Dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu, Mirna memarkir motornya di pinggir sawah jauh dari jangkauan penglihatan suaminya.
Setelah itu dia mengendap-endap mengikuti suaminya ke tengah sawah. Sayangnya karena sawah masih becek karena sisa air hujan semalam, dia agak kesusahan untuk berjalan mengendap-endap.
Mirna sangat geram melihat suaminya bercanda dan tertawa dengan madunya. Dia heran karena tidak biasanya suaminya itu duduk di sawah seperti sekarang ini.
Apa ini keinginan terakhir wanita itu ya? Tapi mengapa mereka kelihatan sangat bahagia? Ah mungkin saja benar keinginan terakhirnya, karena itu Mas Fariz membuatnya tertawa agar tidak sedih, batin Mirna dengan senyum meremehkan.
Pada saat Ustad Fariz menoleh mengedarkan pandangannya ke seluruh area sawah, Mirna celingak-celinguk bingung mencari tempat bersembunyi, namun naasnya badannya oleng, dia tidak bisa menahan berat tubuhnya karena tanah di pematang sawah itu licin dan terplesetlah dia masuk ke dalam kubangan sawah yang habis di bajak.
Beberapa petani pekerja yang menggarap sawah milik pondok pesantren itu menghampiri Mirna dan menolongnya.
"Bu Mirna kenapa?" tanya salah satu ibu-ibu petani yang menolong Mirna.
"Gapapa," jawab singkat Mirna.
Karena malu dia terburu-buru dan sandalnya nyangkut di tanah sawah tersebut, alhasil tubuhnya jatuh kembali ke dalam kubangan tanah sawah yang berlumpur itu.
Para petani itupun tertawa, namun mereka tahan karena tidak sopan menertawakan istri dari Kyai mereka.
Mirna yang merasa sangat malu, segera membawa sandalnya dan bergegas jalan dengan cepat tanpa alas kaki menuju motor yang diparkirnya tadi.
Dengan baju berlumuran lumpur basah dia menaiki motor milik pamannya menuju Pondok Pesantren Al-Mukmin.
Sesampainya di Pondok Pesantren Al-Mukmin, dia menjadi pusat perhatian para santri dan santriwati yang bertemu dengannya.
Dengan cueknya namun menahan rasa malu yang teramat dalam, Mirna memarkirkan kembali motor milik pamannya dan dia berniat akan mengembalikan kuncinya setelah dia membersihkan badannya.
Namun, sialnya lagi, teryata pamannya sudah berada di tempat itu untuk menunggu dirinya. Disertai omelan dari pamannya, Mirna mencuci motor milik pamannya karena hukuman dari pamannya sendiri.
Mirna menggerutu dan mengomel ketika pamannya sudah tidak lagi menungguinya. Bagaimana dia tidak kesal, karena kini badannya terasa lengket dan bau. Belum lagi lumpur tanah sawah itu kini mengering di bajunya.
Belum sampai disitu saja kesialan Mirna. Di saat dia sudah memindahkan motornya, dia malah terpleset oleh cairan sabun dan ada sedikit tetesan oli yang belum dia bersihkan sesudah mencuci motor tadi.
Lengkaplah sudah penderitaannya saat ini. Ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga. Dan sialnya tidak ada yang menolongnya atau mempedulikannya.
Bahkan para santri pun yang melihatnya merasa sungkan dan takut jika akan mendekatinya karena selama ini sikap Mirna yang kurang dekat dengan mereka ditambah lagi kadang Mirna suka judes dengan mereka.
Jadilah gosip hari itu yang beredar di Pondok Pesantren Al-Mukmin adalah tentang kesialan Mirna.
salam kenal dan jika berkenan mampir juga di cerita aku