"Di Bawah Langit yang Sama" adalah kisah tentang dua jiwa yang berbagi ruang dan waktu, namun terpisah oleh keberanian untuk berbicara. Novel ini merangkai benang-benang takdir antara Elara yang skeptis namun romantis, dengan pengagum rahasianya yang misterius dan puitis. Saat Elara mulai mencari tahu identitas "Seseorang" melalui petunjuk-petunjuk tersembunyi, ia tak hanya menemukan rahasia yang menggetarkan hati, tetapi juga menemukan kembali gairah dan tujuan hidupnya yang sempat hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wisnu ichwan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Annelise dan Bayangan Athena
Pintu kamar kos kecil itu tertutup, dan Elara langsung merasakan perubahan yang dramatis. Ruangan itu terasa seperti sarang lebah yang ditinggalkan—sebuah tempat yang seharusnya memberikan perlindungan tetapi kini terasa berbahaya dan berdebu. Video ayahnya telah mengubah seluruh rencananya, dari pelarian panik menjadi manuver taktis yang dingin.
Ia menatap KTP lamanya, Elara Pramana, yang ditinggalkannya di atas meja. Sebuah penanda, sebuah peringatan: identitas itu sudah mati.
Langkah pertama: menghubungi Athena.
Elara keluar dari kamar kos, berbaur dengan lalu lintas pejalan kaki. Ia sengaja menghindari jalan utama dan hanya berjalan melalui gang-gang sempit dan padat. Ia membutuhkan alat komunikasi yang tidak bisa dilacak. Ponselnya yang sekarang adalah bom waktu.
Ia menemukan sebuah warung pulsa kecil di lorong yang gelap, yang juga menjual kartu SIM prabayar. Ia membeli tiga kartu SIM dari operator yang berbeda, membayar tunai. Kemudian, ia membeli sebuah ponsel ‘feature phone’ bekas, yang sangat sederhana, dengan alasan ia kehilangan ponsel pintarnya.
Di balik sebuah kedai kopi yang ramai—sebuah tempat yang mustahil untuk dipasangi alat penyadap—Elara duduk di sebuah bangku lusuh. Ia memasukkan salah satu kartu SIM baru itu ke dalam feature phone. Ia menyalakan ponsel itu, hanya untuk memastikan ia mendapatkan sinyal, dan mematikannya lagi.
Nomor Athena (+1−555−555−2407) terukir jelas di benaknya. Ia tidak bisa menggunakan jaringan telepon biasa untuk panggilan internasional yang sensitif.
Rencana A: VoIP aman.
Ia menyalakan laptop bekasnya di tempat duduk itu dan menghubungkannya dengan dongle internet prabayar yang baru. Ia membutuhkan perangkat lunak yang aman. Ayahnya pernah mengajarinya beberapa dasar-dasar keamanan siber, selalu menekankan pentingnya enkripsi.
Elara mencari koneksi ke jaringan Tor menggunakan VPN yang ia unduh sebelumnya. Koneksi internetnya lambat, seolah-olah berenang di lumpur, tetapi enkripsi adalah satu-satunya pelindung. Setelah beberapa menit yang penuh rasa gugup, ia berhasil menyusup ke dalam jaringan terenkripsi. Ia membuka aplikasi pesan suara terenkripsi yang sudah terinstal di USB drive ayahnya—aplikasi yang sangat rahasia sehingga tidak ada di pasar aplikasi mana pun.
Ia mengetik nomor Athena dan menekan tombol panggilan.
Jantungnya berdebar kencang. Jika ada yang salah, seluruh operasi ini akan runtuh.
Panggilan itu berdering sekali, dua kali, tiga kali...
Di dering keempat, suara serak seorang wanita menjawab, nadanya tenang dan profesional, tanpa emosi.
"Siapa ini?"
"Saya... saya yang diutus oleh Pramana," kata Elara, berusaha membuat suaranya terdengar tegas.
Ada keheningan panjang di seberang sana. Keheningan yang terasa seperti uji tuntas.
"Pramana tidak akan mengirimkan orangnya. Pramana akan mengirimkan kode," balas wanita itu, suaranya kini terdengar lebih tajam, seperti pecahan es.
Elara mengingat pesan dari ayahnya: Katalis, Baudelaire, Penyangkalan Santo Petrus.
"Perseus telah memenggal Medusa," kata Elara, menggunakan nama kode yang ia dengar di video.
"Bukan itu kodenya," jawab Athena. "Kodenya adalah: Kunci Kuno di Laut Merah. Katakan."
Elara membeku. Ia tidak tahu kode itu! Itu adalah ujian yang tidak tercantum dalam video. Ayahnya sengaja menambahkan lapisan keamanan lain.
Elara menarik napas. Ia harus berpikir, cepat. Kunci kuningan. Jembatan Merah.
"457-Delta," bisik Elara. "Dan... Langit Senja."
Keheningan kembali melingkupinya. Kali ini, terasa berbeda. Ada jeda evaluasi di dalamnya.
"Kau beruntung, Nak. 'Langit Senja' adalah cadangan. Kau tahu apa yang harus dilakukan?" tanya Athena.
"Saya harus mempublikasikan JARING LABA-LABA dan BUKTI DELTA, secara serentak. Dan mengambil kunci master kedua dari Jembatan Merah."
"Tidak. Rencananya berubah, Perseus Junior," kata Athena. "Dharma sudah tahu kamu menggunakan kunci brankas. Dia tidak bodoh. Dia akan membiarkanmu bergerak, yakin bahwa ia dapat melacakmu. Prioritas nomor satu adalah menipu mata-mata Dharma. Kamu harus membuat mereka yakin bahwa Elara Surya telah meninggalkan kota, sesuai dengan dugaan mereka."
"Bagaimana caranya?"
"Dharma memiliki mata-mata di setiap perhentian bus, stasiun, dan bandara. Tetapi ada satu titik yang sedikit longgar: pelabuhan kargo lama, di seberang sungai. Malam ini. Pukul 22.00."
Elara merasa mual. Pelabuhan kargo. Jauh lebih berbahaya daripada stasiun kereta.
"Di sana, di antara kontainer, aku akan mengirimkan seorang operator untuk menemuimu. Kamu akan memberikan kepadanya tas ranselmu. Isinya: uang tunai, laptop, dan paspor Elara Surya."
"Apa?" Elara terkejut. "Saya harus menyerahkan semua itu?"
"Ya. Operator itu akan pergi ke perahu cepat, mengarah ke pulau terdekat, dan membuang ponselmu yang lama di tengah laut. Dia akan menyamar sebagai kamu, menggunakan paspor Elara Surya. Dia akan menjadi umpan."
"Dan jika dia tertangkap?"
"Maka kita tahu seberapa serius pengejaran ini. Tapi dia adalah profesional. Kamu akan mengosongkan USB drive itu, mengambil bukti yang kamu butuhkan, dan menyerahkan sisa USB yang sudah dihapus kepadanya. Kamu hanya akan menyimpan kunci kuningan, paspor Arya Dharma, dan tentu saja, identitas barumu."
Elara mengerti. Identitas Elara Surya akan dibakar, menjadi pengalih perhatian yang meyakinkan.
"Sementara umpan bergerak, kamu harus mengambil kunci master di Jembatan Merah. Kamu akan bergerak melawan arus pencarian Dharma. Kamu harus berada di pilar ketiga, sisi timur, tepat pukul 00.30 dini hari. Jangan pernah bergerak sendirian di tempat terbuka. Gunakan bayangan."
"Dan setelah itu?"
"Setelah itu, kamu akan menjadi Annelise. Paspor yang kamu temukan akan menjadi identitas barumu yang sebenarnya. Kembali ke kota, bersembunyi di jaringan rumah aman yang akan kuberikan. Setelah kamu aman, kamu akan menggunakan kunci server master itu, dan kita akan mengirimkan gelombang pasang bukti itu."
"Aku akan mengirimkan lokasimu melalui pesan terenkripsi ke ponsel feature phone barumu, jadi buang yang lama sekarang. Gunakan yang baru hanya untuk menerima pesanku. Jangan menjawab telepon ini lagi, kecuali aku yang menelepon."
"Saya mengerti," jawab Elara. Kepercayaan itu adalah risiko besar.
"Satu hal lagi, Elara." Suara Athena melunak sedikit, hanya sesaat. "Pramana tidak mati. Dia bersembunyi, dan dia aman. Fokus pada misi. Itu satu-satunya cara untuk membawanya kembali."
Panggilan terputus.
Elara segera mengeluarkan baterai dari feature phone-nya, memutus sinyal. Ia memasukkan kembali kartu SIM ke ponsel lamanya, mengirim pesan singkat ke ibu tirinya: Aku baik-baik saja. Jangan khawatir. Cinta, E. Pesan itu akan terkirim setelah ia membuang ponsel itu.
Dengan hati yang berat, ia menghapus semua data di ponsel lamanya, memutus akunnya, dan membungkus ponsel itu rapat-rapat dalam selembar plastik.
Ia melihat sekeliling. Ia adalah seorang hantu sekarang.
Pukul 14.00. Ia punya waktu delapan jam sebelum bertemu operator Athena. Waktu terbaik untuk mencari perlengkapan.
Elara menemukan sebuah toko perlengkapan militer bekas di pinggiran kota. Ia membeli jaket hoodie gelap dengan ritsleting, sarung tangan tanpa jari, dan sepasang sepatu bot hiking yang kokoh—semua barang yang membuatnya terlihat biasa saja di malam hari. Ia membayar tunai.
Ia juga membeli lakban hitam, senter kecil dengan filter merah, dan alat pengunci kecil. Setiap barang, dibeli secara terpisah di toko yang berbeda, untuk memutus jejak pembelian.
Kembali ke kamar kosnya, ia mulai mengosongkan USB drive. Ia menyalin semua data ke laptop, lalu menggunakan perangkat lunak penghapus data ayahnya untuk memastikan USB drive itu benar-benar kosong, menghapus semua jejak. Ia hanya menyisakan dokumen cetakan yang ia ambil dari gudang 110.
Ia mengeluarkan uang tunai. Ia hanya menyisakan sedikit untuk kebutuhan mendesak. Sisanya, ia masukkan ke dalam tas ransel. Paspor Arya Dharma ia sembunyikan di dalam sepatu botnya, di lapisan bawah sol.
Pukul 20.00. Elara duduk, mengenakan pakaian barunya. Ia tidak lagi terlihat seperti gadis muda yang cemas. Jaket gelap itu memberikan kesan keras, sarung tangan itu membuatnya merasa siap. Ia mengikat rambutnya erat-erat, tidak meninggalkan helai pun yang bisa mengalihkan perhatian.
Ia mengeluarkan senter kecil dengan filter merahnya. Cahaya merah adalah cahaya yang paling tidak terlihat dari jarak jauh.
Ia menerima sebuah pesan singkat di feature phone barunya. Hanya koordinat GPS dan waktu: 22:00. Lokasi: Pintu Timur, Gudang A4, Dermaga Tua.
Elara bangkit. Ia meninggalkan kunci kamar kos dan identitas lama di atas meja. Ia meninggalkan Elara Pramana di sana.
Ia kini adalah Annelise, yang sedang bergerak di kegelapan, seorang Perseus dalam bayangan.
Ia berjalan ke arah pelabuhan kargo lama, melewati jalanan yang semakin gelap dan sunyi. Udara dipenuhi bau laut dan minyak mentah. Pukul 21.45, ia mencapai area pelabuhan. Ia melihat tumpukan kontainer yang menjulang tinggi, labirin baja yang sempurna.
Ia melihat gudang A4. Sebuah siluet berdiri di dekat pintu timur, tampak santai, merokok. Pria itu tinggi, mengenakan jaket kulit yang usang.
Elara mendekat, jantungnya berdebar.
"Kunci Kuno di Laut Merah," kata Elara, hampir berbisik.
Pria itu membuang puntung rokoknya, menatap Elara dengan mata gelap yang menilai. "Selamat datang di kehidupan barumu, Elara Surya. Berikan tasmu, dan segera menghilang."
Elara menyerahkan tas ranselnya yang terasa ringan. Di dalamnya ada USB yang kosong, uang, dan paspor Elara Surya. Ia hanya membawa paspor Annelise, yang akan ia ambil nanti malam, di kalung kunci kuningan, dan laptop bekas di tas selempang kecil.
"Semoga berhasil. Mereka mengharapkanmu di laut."
Pria itu berbalik dan menghilang ke dalam labirin kontainer.
Elara tidak menunggu. Ia berlari ke arah berlawanan, menuju tengah kota, menuju jembatan. Jembatan Merah.
Pukul 22.30.
Elara harus bergegas. Ia menaiki bus lokal terakhir, turun beberapa blok dari jembatan. Dari sana, ia berjalan, matanya mencari bayangan, mencari orang yang mengawasi.
Jembatan Merah terlihat menjulang di hadapannya, sebuah siluet besi tua di bawah cahaya rembulan yang redup. Lalu lintas sudah sepi.
Ia menunggu di bawah naungan sebuah halte bus yang gelap, membiarkan waktu berlalu. Setiap detik terasa seperti ancaman.
23.55.
Elara menyelinap ke bawah jembatan. Gelap total. Hanya suara air sungai yang bergerak dan getaran mobil di atasnya yang terdengar. Ia menyalakan senter merahnya, mengarahkannya ke pilar-pilar raksasa yang menopang jembatan.
Pilar pertama. Pilar kedua.
Ia mencapai pilar ketiga dari sisi timur. Bagian bawah pilar itu ditutupi dengan lapisan lumut dan bekas coretan.
Matanya yang tajam menangkapnya: sebuah tonjolan kecil, kotak hitam kecil yang direkatkan dengan lakban hitam di celah batu.
Elara menarik lakban itu dengan hati-hati. Kotak itu terbuka, memperlihatkan kunci kecil berwarna tembaga dan sebuah paspor.
Ia meraih paspor itu. Annelise Wijaya. Wajahnya yang baru, yang benar-benar baru.
Dan kunci tembaga itu. Kunci master server ayahnya.
Tiba-tiba, ia mendengar suara mesin mobil yang berhenti di atas jembatan.
Lampu sorot mobil itu menyala. Ia bukan lampu mobil biasa. Itu adalah lampu sorot keamanan.
Mereka telah menemukan Perseus Junior.
Elara membeku. Ia tidak punya waktu.
Ia merangkak ke dalam bayangan, mematikan senter merahnya. Dua pria berbaju gelap turun dari mobil, membawa senjata panjang.
"Dia di sekitar sini! Kunci brankas sudah diambil. Cari dia! Jaringan kargo hanya umpan!" seru salah satu pria itu.
Rencana Athena telah berhasil, tetapi Dharma bertindak cepat. Mereka menyadari pengalihan itu.
Elara menekan paspor Annelise ke dadanya. Ia tidak punya pilihan lain. Ia harus lari. Ia kini benar-benar sendirian, tanpa tas, tanpa uang cadangan.
Ia adalah Annelise. Dan dia sedang diburu.
Ia melompat ke sungai, membiarkan arus membawanya menjauh, menuju kegelapan yang lebih dalam.