Arga, seorang remaja yang lahir dari darah daging ayahnya sendiri, tumbuh di rumah besar yang justru terasa asing baginya. Kehangatan keluarga yang seharusnya menjadi tempat berlindung berubah menjadi penjara dingin — penuh tatapan acuh, hinaan, dan kesepian.
Ayah yang dulu ia panggil pelindung kini tak lagi memandangnya. Cinta dan perhatian telah dialihkan pada istri baru dan anak-anak tiri yang selalu dipuja. Sementara Arga, anak kandungnya sendiri, hanya menjadi bayangan yang disuruh, diperintah, dan dilukai tanpa belas kasihan.
Namun di balik luka dan penghinaan yang menumpuk, Arga menyimpan api kecil dalam hatinya — tekad untuk bertahan, dan bangkit dri penderitaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Virus di Jantung Zenith, Mata yang Mencari Kebenaran
Arga kembali ke gedung PT. Adhiyatma Karya, tetapi kali ini, ia masuk melalui pintu akses tim proyek. Ia tidak lagi menyamar sebagai 'Tuan Alpha' yang berwibawa. Hari ini, ia hanyalah Arga, seorang engineer muda dari Aurora Tech yang dikirim untuk menjalankan audit teknis bersama Dina. Keputusan ini strategis; engineer cenderung diabaikan, memberinya kebebasan bergerak.
Begitu masuk, Arga merasakan tekanan yang berbeda. Udara dipenuhi aroma kertas dokumen, kopi mahal, dan stres yang terselubung.
"Ingat rencana, Arga," bisik Dina, saat mereka berjalan menuju lantai Project Zenith. Dina terlihat gugup berada di sarang musuh. "Pasang logic bomb itu di server utama tim desain, di mana data Laila Diandra disimpan. Jangan terdeteksi, dan jangan pernah bicara dengan Vino."
"Aku tahu," jawab Arga. "Tapi jika ada kesempatan untuk bicara dengan Laila, aku akan ambil. Aku harus mengonfirmasi hipotesis 'dana terikat' itu."
Ruangan tim Project Zenith sangat sibuk. Di tengahnya, ada sebuah meja besar penuh cetak biru yang bergulir, dikelilingi oleh monitor-monitor besar. Laila Diandra berdiri di sana, memberikan instruksi kepada tim arsiteknya, terlihat sangat fokus dan profesional.
Ia mengenakan kacamata berbingkai tipis hari ini, yang menambah ketajaman matanya.
Laila melihat kedatangan mereka. Ia berjalan mendekat dengan langkah tegas.
"Selamat pagi, Tuan... Arga," kata Laila, membaca ID tag Arga. "Saya Laila Diandra. Anda dan tim Anda memiliki waktu 24 jam untuk melakukan audit. Fokus kami adalah server desain dan keamanan firewall dari potensi pencurian. Jangan sentuh data keuangan, itu bukan urusan Anda."
"Kami mengerti, Nona Diandra," jawab Arga, suaranya sopan dan teknis. Arga memastikan ia tidak menggunakan nada 'Tuan Alpha' yang dingin. "Untuk audit keamanan firewall yang komprehensif, kami perlu mendapatkan izin akses ke database terpusat, karena dari sana semua data desain dikirim."
Laila ragu sejenak. "Saya akan berikan akses read-only ke server utama. Tapi saya harus mendampingi."
"Tentu," kata Arga, tersenyum kecil. "Kehadiran Anda sangat kami hargai, Nona. Ini menunjukkan betapa berharganya desain Anda."
Arga dan Laila duduk berhadapan di ruang server kecil. Ruangan itu dingin, hanya diisi oleh suara kipas pendingin yang berdengung keras. Dina sibuk di luar, mengalihkan perhatian beberapa IT support Adhiyatma Karya dengan pertanyaan-pertanyaan teknis yang rumit.
"Ini kodenya," kata Laila, memasukkan password ke terminal.
Arga mulai bekerja. Di tangannya, sebuah flash drive khusus terpasang. Di mata Laila, Arga sedang menjalankan program diagnostik Aurora Tech. Padahal, ia sedang menginstal Audit Logic Bomb—sebuah software yang akan memantau traffic internal dan eksternal, dan yang paling penting, melacak setiap transaksi yang berhubungan dengan Proyek Zenith, mencari tanda-tanda korupsi.
Arga perlu waktu 10 menit untuk menanam program itu di lapisan sistem yang terdalam. Ia harus mengulur waktu.
"Anda terlihat sangat bersemangat tentang Proyek Zenith, Nona Diandra," Arga memulai percakapan. "Ini proyek yang besar. Apakah Anda terlibat sejak awal?"
Laila menghela napas. "Sejak hari pertama. Proyek ini adalah karya terbaikku. Tapi... terkadang birokrasi membuatnya sulit."
"Birokrasi, atau orang-orang yang mengendalikan birokrasi?" tanya Arga, matanya tetap terpaku pada layar, tetapi otaknya bekerja keras memindai ekspresi Laila.
Laila terdiam. "Saya tidak mengerti maksud Anda, Tuan Arga."
"Saya hanya menebak. Anda adalah seorang arsitek. Anda pasti membenci ketidaksempurnaan. Tapi di perusahaan besar, seringkali Anda harus 'menutup mata' pada beberapa hal demi kelancaran proyek, bukan?" Arga menekankan kata 'menutup mata'.
Laila memalingkan wajahnya ke monitor, menghindari tatapan Arga. "Saya hanya fokus pada desain. Itu tugas saya."
Arga melihat celah itu. Ia memutuskan untuk melepaskan tembakan peringatan yang sangat personal.
"Saya dengar Anda disubsidi penuh oleh PT. Adhiyatma Karya untuk akomodasi," kata Arga, masih mengetik cepat, seolah itu hanya obrolan basa-basi. "Itu tunjangan yang luar biasa. Sangat loyal."
Laila membeku. Tangannya yang memegang mouse gemetar sedikit.
"Informasi itu... itu sangat pribadi. Itu tidak ada hubungannya dengan keamanan siber," desis Laila, suaranya tajam.
"Tentu ada," balas Arga tenang. "Keamanan siber adalah tentang siapa yang dapat memengaruhi siapa. Jika ada data tunjangan mencurigakan yang terkait dengan Proyek Zenith, itu adalah potensi kerentanan. Kami hanya melakukan audit secara menyeluruh."
Arga telah mendapatkan konfirmasi. Laila terikat oleh sesuatu yang sangat sensitif.
"Saya pastikan itu bukan kerentanan," kata Laila, suaranya kembali dingin. "Fokus saja pada virus luar."
"Baiklah," kata Arga, dan dengan sentuhan terakhir, Logic Bomb itu tertanam sempurna, bersembunyi di bawah lapisan software yang diakui Titan Labs. "Sistem audit trial kami sudah terpasang. Kami akan mulai memonitor."
Tepat saat Arga dan Laila keluar dari ruang server, mereka berpapasan dengan Vino.
Vino terlihat kesal. Ia sedang berbicara keras di ponselnya.
"Aku sudah bilang, Ayah tidak suka sistem yang terlalu transparan! Jika Aurora Tech menemukan sesuatu, siapa yang bertanggung jawab? Ya, aku tahu Titan Labs merekomendasikannya, tapi mereka hanya startup kecil! Tidak bisa dipercaya!"
Vino mengakhiri telepon dan menatap Arga dan Laila dengan tajam.
"Bagaimana, Laila? Software bodoh mereka sudah terpasang?" tanya Vino.
"Sudah, Tuan Vino," jawab Laila singkat.
Vino menatap Arga dengan jijik, mengingat betapa ia dulu memandang rendah Arga, si tukang kebun. Vino sama sekali tidak tahu bahwa engineer di depannya ini adalah orang yang sama.
"Dengar, Arga," Vino menggunakan nama depannya, seolah ia bisa mengingat nama semua engineer rendahan. "Jika software kalian membuat server kami crash sedetik saja, atau jika kalian membocorkan informasi, Ayah akan menuntut perusahaan kecilmu itu hingga bangkrur. Kalian mengerti?"
Arga menatap balik, matanya memancarkan ketenangan yang membuat Vino semakin marah.
"Kami hanya mencari kebenaran data, Tuan Vino," jawab Arga, menggunakan formalitas yang tepat. "Jika sistem Anda bersih, Anda tidak perlu khawatir. Jika ada masalah... maka itu bukan salah software kami, melainkan salah data Anda."
Vino terdiam, wajahnya memerah.
Laila mengintervensi dengan cepat. "Tuan Vino, saya butuh Tuan Arga untuk menjelaskan interface monitor terbaru mereka. Mari kita kembali ke ruang tim."
Laila dengan halus menarik Arga menjauh, mencegah konfrontasi fisik.
Di ruang tim, Arga menjelaskan fungsi interface pemantauan kepada Laila. Arga sengaja membuatnya terlihat rumit, hanya agar Laila-lah yang mampu mengoperasikannya.
"Jadi, interface ini akan menunjukkan anomali data secara real-time," jelas Arga. "Jika ada dana yang mengalir ke vendor yang tidak terdaftar, atau jika ada file desain yang diakses dari IP yang mencurigakan, itu akan langsung muncul di sini."
Laila mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap layar dengan intens. Arga mencium samar-samar aroma parfumnya. Kedekatan ini memicu sedikit getaran emosional dalam dirinya, yang ia segera padamkan.
"Saya hanya ingin tahu, Tuan Arga," kata Laila, suaranya rendah, hanya didengar oleh Arga. "Mengapa Anda memilih untuk bekerja di perusahaan kecil seperti Aurora Tech? Bukankah Anda bisa bekerja di Titan Labs yang lebih besar?"
Arga menatap mata Laila—mata yang mencari kejujuran di dunia yang penuh kepalsuan.
"Karena Aurora Tech berjuang untuk sesuatu yang lebih dari sekadar uang, Nona Diandra," jawab Arga. "Kami berjuang untuk transparansi. Kami tidak takut mengungkap kebenaran, bahkan jika kebenaran itu menyakitkan bagi orang-orang kuat."
Arga melihat sekilas kerentanan di mata Laila, kemudian ia menghilang.
Laila, kau terikat pada Vinio. Kau terikat pada uang. Tapi kau benci ketidakadilan. Aku akan gunakan sistemku untuk melepaskan ikatanmu, bukan untuk memaksamu.
Arga dan Dina meninggalkan gedung Adhiyatma Karya. Mereka membawa hard drive berisi salinan database Proyek Zenith, data yang akan mereka analisis di gudang Aurora Tech.
Di Gudang:
Alex sudah menunggu.
"Bagaimana, Tuan Alpha? Apakah virusnya tertanam?" tanya Alex.
"Tertanam," jawab Arga. "Sekarang, kita hanya perlu menunggunya aktif. Tapi aku sudah mendapatkan data mentah Proyek Zenith. Tugasmu, Alex, adalah mencari satu celah fatal di cetak biru Laila Diandra yang bisa kita eksploitasi."
Arga melirik monitor utamanya. Di sana, Logic Bomb telah mulai bekerja, memindai miliaran log transaksi Adhiyatma Karya, mencari anomali yang melibatkan The Zenith Project.
Arga tahu, saat Logic Bomb itu menemukan file korupsi pertamanya, countdown kehancuran Rendra akan dimulai.
Dihina, disakiti, diabaikan — hingga akhirnya ia memilih pergi, membawa luka yang berubah jadi kekuatan.
Bertahun-tahun kemudian, dunia berbalik.
Anak yang dulu diremehkan, kini berdiri di atas cahaya keberhasilannya.
mari masuk ke dunia Tuan alfa