Ini kelanjutan kisah aku istri Gus Zidan ya, semoga kalau. suka🥰🥰🥰
****
"Mas, saya mau menikah dengan Anda."
Gus Syakil tercengang, matanya membesar sempurna, ia ingin sekali beranjak dari tempatnya tapi kakinya untuk saat itu belum mampu ia gerakkan,
"Apa?" Ia duduk lebih tegap, mencoba memastikan ia tidak salah dengar.
Gadis itu menganggukan kepalanya pelan, kemudian menatap Gus Syakil dengan wajah serius. "Saya bilang, saya mau menikah dengan Anda."
Gus Syakil menelan ludah, merasa percakapan ini terlalu mendadak. "Tunggu... tunggu sebentar. mbak ini... siapa? Saya bahkan tidak tahu siapa Anda, dan... apa yang membuat Anda berpikir saya akan setuju?"
Gadis itu tersenyum tipis, meski sorot matanya tetap serius. "Nama saya Sifa. Saya bukan orang sembarangan, dan saya tahu apa yang saya inginkan. Anda adalah Syakil, bukan? Anak dari Bu Chusna? Saya tahu siapa Anda."
Gus Syakil mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba memahami situasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Mengalami lumpuh
Cahaya matahari menembus jendela rumah sakit, memantulkan sinar lembut di atas selimut putih yang membungkus tubuh Gus Syakil. Setelah dua hari tak sadarkan diri akibat kecelakaan, ia akhirnya membuka matanya perlahan. Ruangan itu terasa asing, dengan bau khas antiseptik yang memenuhi udara. Pandangannya masih kabur, namun bayangan seseorang duduk di sampingnya mulai terlihat jelas.
Ning Chusna, bundanya, duduk di sana dengan wajah yang tampak kelelahan dan mata sembab karena tangis. Begitu menyadari putranya terbangun, Ning Chusna segera menggenggam tangan Gus Syakil dengan penuh kasih sayang.
"Syakil... Alhamdulillah, Nak. Kamu sudah sadar. Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Ning chusna dengan suara serak.
Gus Syakil berusaha berbicara pelan, "Bun... aku di mana? Apa yang terjadi?"
Ning Chusna mengusap air mata, "Kamu di rumah sakit, Nak. Kamu kecelakaan dua hari yang lalu. Tapi alhamdulillah, dokter bilang kondisimu mulai stabil."
Gus Syakil mencoba menggerakkan tubuhnya. Tangannya terasa berat, tetapi masih bisa digerakkan. Namun, saat ia mencoba menggerakkan kakinya, tidak ada respon. Hatinya mulai gelisah. Ia mencoba sekali lagi, namun tetap tidak ada perubahan.
"Bu... kenapa kakiku? Aku... aku tidak bisa merasakannya." ucap Gus Syakil dengan suara bergetar.
Ning Chusna wajahnya berubah pucat, "Syakil... sabar, Nak. Dokter bilang ini hanya sementara. InsyaAllah, dengan terapi dan doa, kamu akan pulih."
Gus Syakil mencoba bangun, tetapi gagal, "Bun, aku tidak bisa menggerakkannya. Apa aku... lumpuh?"
Ning Chusna menggenggam tangan Gus Syakil lebih erat, menangis, "Jangan berpikir seperti itu, Nak. Ini ujian dari Allah. Bunda yakin kamu bisa melewati ini."
Kata-kata Ning Chusna tidak mampu meredakan kepanikan di hati Gus Syakil. Dunia seolah runtuh di hadapannya. Ia membayangkan rencana hidupnya yang kini terasa hancur—pernikahannya dengan Farah, tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin pesantren, dan cita-citanya untuk terus berdakwah.
Air mata perlahan mengalir di pipinya. Ia merasa marah, kecewa, dan sedih, semuanya bercampur aduk. Ning Chusna terus mencoba menenangkannya, tetapi Gus Syakil hanya bisa menatap langit-langit dengan tatapan kosong.
Ning Chusna "Syakil, dengarkan Ibu. Ini bukan akhir dari segalanya. Kamu masih punya banyak hal untuk diperjuangkan. Farah, S2 mu, dan hidupmu, semua masih ada harapan."
Gus Syakil menyeka air matanya, "Tapi, Bun... bagaimana aku bisa beraktifitas jika aku seperti ini? Bagaimana aku bisa menikah dengan Farah? Apa yang bisa kuperbuat sekarang?"
Ning Chusna, "Nak, hidup ini penuh dengan ujian. Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan hamba-Nya. Kamu harus kuat. Semua ini ada hikmahnya."
Gus Syakil menggeleng pelan, "Aku tidak tahu, Bun... Aku merasa tidak sanggup."
Ning Chusna mengusap kepala putranya, "Syakil, jangan pernah meragukan kekuatan doa. Kamu adalah anak yang kuat. bunda akan selalu ada di sampingmu, dan kita akan menghadapi ini bersama."
Hari itu, Gus Syakil merasa dunianya hancur. Namun, di tengah rasa putus asa, suara lembut Ning Chusna menjadi pengingat bahwa ia tidak sendirian. Meski cobaan ini berat, Gus Syakil tahu bahwa hidupnya masih memiliki tujuan yang lebih besar. Ia hanya perlu waktu untuk menerima kenyataan ini dan menemukan kekuatan dalam dirinya untuk bangkit kembali.
Doa Ning Chusna terus mengalir, berharap Allah memberikan keajaiban untuk putranya. Dan di hati kecil Gus Syakil, ia mulai mencari jawaban atas pertanyaan yang terus membayangi: "Mengapa Allah memilihku untuk menerima cobaan ini?"
Rupanya Sedati tadi ada seseorang yang tengah berdiri di balik pintu kamar itu, mendengarkan percakapan mereka, dia adalah Sifa.
"Aku harus gimana sekarang?" gumam Sifa pelan, ia mengurungkan langkahnya untuk masuk ke dalam ruangan, ia memilih mundur dan pergi dari sana.
****
Matahari pagi mulai menembus jendela kamar rumah sakit, menyinari Gus Syakil yang masih berbaring di tempat tidur. Meski pikirannya masih dipenuhi kegelisahan, Ning Chusna terus memberikan semangat dengan duduk di sampingnya, mendampinginya tanpa henti. Suasana pagi itu cukup tenang hingga seorang perawat mengetuk pintu dan mengabarkan bahwa ada tamu yang ingin bertemu.
Tak lama, Kyai Irsyad dan putrinya, Imah, memasuki kamar dengan raut wajah serius. Ning Chusna bangkit untuk menyambut mereka, meski hatinya mulai diliputi rasa cemas. Kedatangan mereka terasa mendadak, dan Ning Chusna dapat merasakan ada sesuatu yang berbeda.
Ning Chusna tersenyum sopan, "Assalamualaikum, Kyai Irsyad. Alhamdulillah, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menjenguk Syakil."
Kyai Irsyad membalas salam, "Waalaikumsalam, Ning Chusna. Tentu saja, bagaimana keadaan Syakil sekarang?"
Ning Chusna masih tersenyum kecil, meski ada kesedihan, "Alhamdulillah, kondisinya mulai membaik. Hanya saja, kakinya masih belum bisa digerakkan. Kami sedang berikhtiar dan berdoa semoga Allah memberikan kesembuhan."
Gus Syakil, yang terbaring di tempat tidur, menatap Kyai Irsyad dan Imah dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia mencoba menyapa mereka dengan suara lemah.
Gus Syakil, "Kyai... Bu Imah... terima kasih sudah datang. Maaf jika saya menyusahkan kalian untuk datang ke sini. Fatah tidak ikut?" tanyanya berharap ia bisa melihat Farah.
Imah tersenyum kecil, namun tidak menyembunyikan kesedihannya, "Tidak apa-apa, Gus. Kami ingin melihat langsung keadaan Anda, Fatah sedang ada kesibukan di rumah."
"Maaf ya Bu, saya jadi tidak bisa ikut menyiapkan acara pernikahan. Farah pasti sibuk sendiri."
Kyai Irsyad menarik napas panjang, lalu memulai pembicaraan dengan nada serius.
"Syakil, Ning Chusna, kedatangan kami ini sebenarnya bukan hanya untuk menjenguk. Ada hal penting yang ingin kami sampaikan."
Ning Chusna duduk kembali, terlihat cemas, "Apa yang ingin Kyai sampaikan?"
Kyai Irsyad menatap Gus Syakil, "Setelah mempertimbangkan kondisi Syakil saat ini, kami merasa perlu untuk membicarakan kembali rencana pernikahan dengan Farah."
Gus Syakil menegang mendengar ucapan itu. Ia mencoba duduk lebih tegak, meski tubuhnya masih lemah.
"Kyai... apa maksud Anda?" tanya Gus Syakil dengan suara pelan.
"Syakil, kami tahu ini mungkin terdengar berat, tapi saya harus jujur. Dengan kondisi seperti ini, saya merasa tidak bijaksana untuk melanjutkan rencana pernikahanmu dengan cucu saya. Kami tidak ingin membebani Farah dengan situasi yang mungkin sulit baginya untuk dijalani." ucap kyai Irsyad dengan entengnya.
Suasana ruangan seketika menjadi hening. Ning Chusna menahan napas, berusaha memahami maksud Kyai Irsyad, sementara Gus Syakil hanya bisa menundukkan kepala. Kata-kata itu terasa seperti pukulan telak, seolah membenarkan ketakutannya sejak mengetahui kondisinya.
"Kyai, apa tidak ada cara lain? Syakil masih memiliki semangat untuk sembuh. Kami percaya bahwa Allah akan memberikan jalan." ucap Ning Chusna dengan suara bergetar.
Kyai Irsyad menghela napas panjang, "Ning, ini bukan tentang keraguan pada kekuatan Allah. Tapi saya harus memikirkan Farah. Sebagai seorang kakek, saya hanya ingin memastikan kebahagiaan cucu saya. Jika pernikahan ini dilanjutkan, saya khawatir malah akan menjadi ujian berat bagi keduanya."
Gus Syakil mengangkat wajah, mencoba tegar, "Kyai... jika ini keputusan yang terbaik untuk Farah, saya mengerti. Saya tidak ingin menjadi beban bagi siapa pun, termasuk Farah."
Imah tersentuh, "Gus, ini bukan soal Anda menjadi beban. Tapi... kondisi seperti ini memang sulit bagi kami untuk mempertimbangkan hal lain." ucapnya dengan suara lirih.
Ning Chusna merasa hatinya hancur mendengar percakapan itu. Namun, ia tahu bahwa Kyai Irsyad tidak bermaksud jahat. Dalam hati, ia berdoa agar Gus Syakil diberikan kekuatan untuk menghadapi kenyataan ini.
Setelah beberapa saat, tiba-tiba mereka kembali ke dagangan tamu. mereka adalah Gus Zidan dan istrinya, paman dari Gus Syakil. Kyai kembali menjelaskan kedatangan mereka pada Gus Zidan tentang keputusannya, dan Gus Zidan berusaha membujuk kyai Irsyad untuk mempertimbangkan keputusannya, tapi ternyata keputusan kyai Irsyad dan Imah sudah bulat dengan tidak bisa di rumah lagi.
ternyata lagi-lagi percakapan mereka di dengar oleh seseorang yang sedari tadi berdiri di balik pintu, ternyata Sifa datang lagi, ia berniat datang untuk tanggung jawab tapi lagi-lagi keberaniannya sif menciut saat mengetahui apa yang terjadi pada Gus Syakil.
Bersambung
Happy reading
malu 2 tapi mau🤭
saranku ya sif jujur saja kalau kamu yg nabrak syakil biar gak terlalu kecewa syakil nya