"Aku sudah lama tidak pernah merindukan siapapun. Karena aku tahu, rindu itu cukup berat bagiku. Tapi sekarang, aku sudah mulai merindukan seseorang lagi. Dan itu kamu..!"
Maarten tahu, hidupnya tak pernah diam. Dia bekerja di kapal, dan dunia selalu berubah setiap kali ia berlabuh. Dia takut mencintai, karena rindu tak bisa dia bawa ke tengah laut.
"Jangan khawatir, kupu-kupumu akan tetap terbang.
Meski angin membawa kami ke arah yang berbeda,
jejak namamu tetap tertulis di sayapnya"
Apakah pria dari Belgia itu akan kembali?
Atau pertemuan kami hanya sebatas perjalanan tanpa tujuan lebih?
(Kisah nyata)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Hasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KUPU-KUPU & KURA-KURA
Hari itu berjalan seperti biasanya. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada yang mengejutkan. Tapi entah kenapa, rasanya ada sesuatu dalam diriku yang berubah. Mungkin aku mulai merasa lelah. Karena perasaan yang terlalu lama kupendam sendirian.
Aku menjalani hari seperti orang kebanyakan, tapi hatiku tahu, aku sedang belajar kuat, pelan-pelan.
Aku menonton TV siang ini, membiarkan pikiranku beristirahat sejenak dari kebisingan.
Tiba-tiba, satu pesan masuk. Dari Maarten.
"Hallo kupu-kupuku, apa kabar?"
Maarten selalu memanggilku kupu-kupu. Tapi aku sendiri tidak mempunyai panggilan yang khas untuknya. Lalu aku tiba-tiba teringat dengan tatoo kura-kura diperutnya.
"Hallo kura-kuraku.... Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?"
"Hah? Kura-kura? Apa karena aku sering terlambat?"
Aku membalas cepat, sambil tersenyum kecil di depan layar.
"Iya, kura-kura. Walaupun lambat, tapi selalu datang dengan tepat."
Beberapa detik kemudian, balasannya muncul lagi.
"Kalau gitu… Aku nggak keberatan dipanggil kura-kura, asal kupu-kupunya tetap nungguin aku di garis akhir."
"Itulah kenapa, aku pilih kura-kura. Walaupun jalannya pelan, tapi kalau sudah dekat dia gak kemana-mana.”
“Wah, itu hampir sama kayak janji.” Kata Marten dengan semangat.
“Bukan janji. Terkadang, yang buru-buru sering lupa arah. Yang pelan, biasanya lebih tahu tujuannya.”
"Kalau kamu kupu-kupu, aku cuma bisa duduk dengan tenang... Nunggu kamu datang sendiri."
"Hmm... Jangan terlalu tenang juga. Nanti kupu-kupunya mikir kamu nggak tertarik.."
Maarten tertawa. Dia mencoba menjawab pesanku dengan hangat.
"Kalau kupu-kupunya seindah kamu, mana mungkin aku nggak tertarik? Aku cuma nggak mau bikin dia takut."
"Kalau begitu, semoga angin malam ini membawaku ke arahmu."
"Dan kalau sudah dekat, kamu akan kujaga. Seperti doa yang tak pernah selesai."
Percakapan ini terlihat sederhana, tapi menenangkan. Seperti teh hangat di malam yang dingin. Kami tak membahas masa lalu, tak memburu masa depan. Hanya duduk di percakapan yang ringan tapi terasa penuh makna.
Entah sejak kapan, kami mulai saling memanggil dengan nama-nama binatang. Aku adalah kupu-kupu, dan dia kura-kura. Kedengarannya mungkin kekanak-kanakan, tapi sebenarnya itu cara kami saling memahami.
Maarten memanggilku kupu-kupu, karena dia tau, suatu hari nanti aku akan terbang dengan sayapku yang indah. Aku akan melihat dunia dari sisi yang berbeda. Dan aku memanggilnya kura-kura, karena aku yakin. Walaupun dia selalu berjalan lambat untuk menemuiku, tapi dia akan tiba dengan tepat.
Kura-kura selalu lurus dan fokus. Tidak tergesa-gesa, tapi tahu ke mana harus melangkah. Dan kura kura itu adalah Maarten.
Kami melanjutkan percakapan ini dengan penuh semangat. Kami tau, kami saling merindukan. Ada tali yang mengikat kami begitu erat.
"Kelly. Liburanku di sumatera tinggal 2 hari lagi. Tapi sepertinya, aku ingin mengubah rencana perjalanan kita"
Aku sedikit kaget.
"Kenapa?"
"Aku tahu, rencana awal kita pergi ke Jogja, Tapi entah kenapa, aku merasa kita butuh suasana yang berbeda. Tempat yang lebih tenang. Lebih jauh dari semuanya."
"Emmm.. Maksudmu?"
"Aku ingin mengajakmu ke Lombok. Pantai, matahari terbenam, dan waktu yang lebih banyak hanya untuk kita berdua. Aku ingin mengajakmu snorkeling"
Sebenarnya aku tidak terlalu ingin pergi ke Lombok. Bukan karena tempatnya, Lombok pasti indah dengan pantai dan langitnya yang luas. Tapi karena aku tidak ingin snorkeling. Aku takut
Aku menatap layar ponsel cukup lama sebelum akhirnya menulis balasan. Jemariku sempat ragu. Lalu kutanya,
“Apa kamu yakin mau pergi ke Lombok?”
Pertanyaanku bukan tentang tiket atau destinasi. Tapi lebih kepada, apakah kita akan tetap merasa dekat di tempat yang begitu asing bagiku? Apakah ia benar-benar ingin aku ada di sana, atau hanya ingin pergi dan kebetulan aku ikut?
Maarten membalas dengan cepat,
"Iya, aku serius. Tapi yang terpenting, apakah kamu ingin ke Lombok?"
Aku terdiam. Pertanyaan itu sederhana, tapi terasa dalam. Seolah dia tahu bahwa aku menyimpan ragu. Seolah dia ingin memastikan bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang ke mana, tapi bersama siapa.
Kupandangi ponsel beberapa saat sebelum membalas.
"Aku ingin bersamamu, Maarten"
"Jadi kita akan pergi ke lombok? Kalau begitu, kirimkan kartu identitasmu. Aku akan segera memesan tiket"
"Oke Maarten, aku akan mengirimkan secepatnya"
Aku sangat senang saat Maarten mengajakku. Rasanya hangat sekali ketika seseorang merencanakan sesuatu bersamaku, seolah kehadiranku benar-benar dinanti. Aku juga menyukai ide tentang Lombok. Pulau itu terdengar begitu indah, dan aku belum pernah ke sana. Ada semacam rasa penasaran yang diam-diam tumbuh di dalam hati.
Tapi tiba-tiba, tanpa sengaja, Bali terlintas dalam pikiranku. Bukan karena pantainya yang terkenal atau kafe-kafe Instagramable itu. Tapi karena Bali menyimpan kenangan yang pernah aku impikan. Aku terakhir pergi ke Bali 5 tahun lalu. Bahkan, akupun sudah lupa bagaimana rasanya naik pesawat. Hahaha.. Dan sekarang, ingin sekali rasanya aku menginjakan kaki di tanah itu lagi. Aku melihat suasana bali yang sekarang, hanya di internet. Tempat itu semakin indah dan luar biasa. Bahkan, ingin sekali rasanya aku mengunjungi patung terbesar yaitu Garuda Whisnu Kencana. Yang dulu hanya bisa kulihat dari kejauhan. Rasanya seperti memanggilku untuk kembali.
Namun keinginan itu harus kusimpan rapat-rapat. Karena kenyataannya, aku tidak punya cukup uang untuk mewujudkannya. Impian itu terasa begitu dekat, tapi juga begitu jauh. Aku tahu, tak semua hal bisa digapai hanya dengan rasa rindu. Kadang kita juga perlu financial yang cukup untuk sampai di sana.
Ini adalah kesempatan emas untukku ketika ada seseorang yang benar-benar mengajakku pergi berlibur. Sesuatu yang dulu hanya bisa kupikirkan diam-diam, kini nyaris menjadi nyata. Tapi di balik kegembiraan itu, ada kegelisahan kecil yang tak bisa kusembunyikan. Aku tidak tahu harus berkata apa.
Aku tahu diri. Aku hanya diajak secara gratis. Semua biaya pun bukan dari kantongku. Jadi rasanya tak pantas jika aku banyak berkomentar. Aku hanya bisa mengikuti ke mana langkah ini akan dibawa. Dalam hati, tentu aku punya keinginan. Tapi aku juga sadar, tidak semua keinginan harus diucapkan.
Malam itu, Bali terus menghantui pikiranku. Seperti bayangan yang pelan-pelan memanggilku pulang. Aku memejamkan mata, dan yang muncul bukan pemandangan Lombok, melainkan jalanan Ubud yang sunyi, dan siluet patung Garuda Wisnu Kencana di kejauhan. Aku tahu Maarten adalah orang yang sangat baik. Ia bukan tipe yang mudah marah hanya karena sebuah saran. Kalau pun aku mengutarakan keinginanku tentang Bali, aku yakin dia akan mendengarkan. Tapi tetap saja, ada bagian dalam diriku yang ragu karena aku bukan siapa-siapa dalam rencana ini.
Lalu Maarten mengirimku pesan lagi :
"Kelly, sepertinya kamu lupa mengirim kartu identitasmu. Lalu bagaimana bisa aku memesan tiket untukmu?"
"Ohya maafkan aku maarten... Tapi.... "
"Kenapa?"
"Tapi.......... "
Jariku terasa berat untuk mengetik.
"Kamu takut? Percaya sama aku, aku bukan penjahat. Aku tidak akan menyalahgunakan identitasmu. Aku bersumpah.... Aku hanya perlu itu untuk memesan tiket online.. "
"Maarten... Bukan itu maksudku..... "
"Emmm... Terus?"
"Aku.... Malu bilangnya... "
"Malu? Tidak perlu malu.... Ayo bilang"
"Tapi janji ya kamu gak marah..... "
"Marah? Aku tidak pernah marah padamu. Dan sekarang katakan apa yang kamu inginkan? Aku janji, aku gak bakalan marah... "
Hufffffft, ada rasa tenang mendengarnya. Lalu aku coba memberanikan diri.
"Maarten, apa kamu tidak ingin pergi ke bali?"
"Bali? Oh... Bali adalah tempat yang sangat indah. Bahkan bali adalah tempat paling terkenal di Indonesia. Aku sangat menyukai tempat itu. Tapi, aku tidak suka karena terlalu banyak turis"
Aku mulai putus asa, dan aku tidak ingin lagi memaksakan keinginanku.
"Oke baiklah... Jadi kita akan pergi ke lombok?"
"Yah tentu.... Tapi, kenapa kamu bertanya soal bali?"
"Emmmh tidak, aku hanya penasaran, dan ingin tau kamu pernah berkunjung kesana atau tidak"
"Apa kamu ingin pergi ke bali?"
Aku terdiam sejenak. Mencoba melawan keegoisan dalam pikiranku.
Lalu maarten mengirim pesan lagi.
"Kelly.........?"
Lalu aku menjawabnya dengan jujur. Ke bali ataupun tidak, tidak masalah yang terpenting aku sudah jujur.
"Iya... Aku ingin ke bali.... "
Jawabku gugup.
"Baiklah.. Itu tidak masalah. Kita akan pergi ke bali"
"Hah? Serius??"
"Yah! Aku serius!"
"Tapi maarten, aku hanya ingin ke bali, bukan berarti aku memaksamu"
"Aku tidak merasa kamu memaksaku. Tenang saja, kita akan berangkat ke bali. Dan sekarang, kirimkan identitasmu, aku akan segera memesan tiket"
"Baiklah kura-kuraku"
Hatiku hangat mendengar jawabannya. Rasanya seperti menerima pelukan tanpa perlu disentuh. Aku masih belum percaya, tapi pesan-pesan itu nyata, dan namanya masih terpampang di layar. Aku merasa didengar tanpa harus memohon. Keinginan kecil yang kupendam lama, kini akan jadi nyata. Mungkin inilah awal dari sesuatu yang baru. Mungkin, perjalanan ini bukan hanya tentang Bali, tapi juga tentang keberanianku untuk percaya lagi pada seseorang, dan pada kebahagiaan.
Aku menghela napas pelan. Ada gemetar kecil di dada. Aku tahu tidak semua orang akan mau memahami keinginan yang tak diucapkan dengan lantang. Tapi Maarten melakukannya. Dia mengerti bahkan sebelum aku menjelaskan semuanya. Dan bagiku, itu lebih dari cukup untuk membuatku merasa berharga.
Kini, yang tersisa hanyalah satu hal, berani melangkah. Tiket akan dipesan, rencana akan dibuat, dan entah apa yang akan menunggu kami di sana nanti. Tapi untuk sekarang, aku tahu satu hal dengan pasti aku akan pergi ke Bali. Bersama seseorang yang tidak hanya mengajakku berlibur, tapi juga mengajarkanku bahwa sebuah kejujuran bisa membawa kita ke tempat-tempat yang bahkan tak pernah kita duga.