NovelToon NovelToon
Ragaku Milik Suamiku Tapi Hatiku Milik Dia

Ragaku Milik Suamiku Tapi Hatiku Milik Dia

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Duda / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:7k
Nilai: 5
Nama Author: Heni Rita

Cinta Devan atau biasa di panggil Dev. begitu membekas di hati Lintang Ayu, seorang gadis yang sangat Dev benci sekaligus cinta.

hingga cinta itu masih terpatri di hari Lintang meski dirinya sudah di nikahi seorang duda kaya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heni Rita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Akhirnya Devan Menikah Dengan Nabila

"Saya terima nikah dan kawinnya Nabila Wibowo dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai."

"Sah?"

"Sah!" Semua tamu undangan yang hadir ikut bahagia dengan pernikahan Devan dan Nabila.

Acara di gelar di rumah Pak Bowo.

Harusnya Devan bahagia, tapi itu tidak!

Devan menikahi Nabila karena keadaan dan keterpaksaan. Takdir mempermainkan Devan sedemikian rupa, adik tercintanya tiba- tiba sakit. Gadis yang di nikahi tengah hamil muda, entah siapa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas kehamilan Nabila.

Devan yang harus menanggung akibatnya.

Devan hanya mampu memberi Nabila mas kawin seperangkat alat salat.

Tiga hari yang lalu, Pak Bowo memintanya untuk menjadikan Devan suami putri tunggalnya demi menutupi aib putri kesayangannya.

Tapi Anehnya, Nabila langsung saja setuju. Padahal, sebelumnya ada satu laki-laki yang di sukai yang bernama Rudi, yang entah dimana keberadaan lelaki sialan itu berada, yang membuat Devan merasa di jebak oleh Nabila

Dan sekarang nasib Devan berakhir di sini.

Saat acara resepsi, adiknya Rani tidak bisa menghadiri upacara sakral itu di karenakan kondisinya. Hanya Bu Hera saja yang menghadirinya, itupun setelah akad selesai, Bu Hera bergegas kembali ke rumah sakit untuk merawat Rani.

Malam pertama, wajah Devan menunduk sangat angkuh, raut wajahnya cuek.

Ganteng, tapi tak ada cahaya sinar kedamaian di wajahnya. Kamar pengantin sudah dihias dengan bunga-bunga serta hiasan dinding di setiap sudut kamar.

Tapi entah mengapa kamar ini terasa panas sekali.

Nabila tatapannya sungguh tajam. Devan tak meresponsnya.

"Besok kita bulan madu. Aku akan kenalkan kamu dengan temanku. Kuharap kamu nggak bisu begini. Jangan terlalu pede, Anggap aja kamu ketiban rejeki karena aku mau menikah denganmu."

Alis Devan menyatu mendengar kalimatnya yang sungguh nyelekit itu.

Gadis tak waras ini … siapa juga yang ingin menikah dengannya? Kalau bukan karena Rani adiknya, Devan tidak sudi menikah dengannya!

"Oh, iya ini mas kawinmu." Nabila menyerahkan seperangkat alat salat dan sepaket kosmetik dengan merk yang sama seperti yang sering dia pakai.

‘Bagaimana dia bisa tau merk kosmetik yang sering kugunakan?’ batin Nabila.

Entah siapa yang memberikan Devan informasi kalau brand ini adalah kosmetik yang Nabila gunakan sehari-hari.

"Semoga wajah dan hatimu secerah skin care yang kamu pakai. Karena wajahmu tidak ada bedanya!" Desis Devan.

"Sialan!" Lagi- lagi Nabila hanya mampu berucap dalam hati.

Devan keluar, sementara Nabila bersih-bersih. Rasanya remuk sekali menghadapi banyak tamu undangan.

Tok! Tok! Tok!

"Nabila, ini kopi suamimu." Pak Bowo dengan semangat sekali melayani putrinya.

"Papi saja yang ngasih, aku malas, Pi. Laki songong gitu kok, dijadikan menantu."

"Loh! Bukankah kamu yang dulu minta ke Papi agar melamar dia?"

"Iya karena Nabila bingung nyari Ayah buat anak sialan ini!" Ketus Nabila sambil meraba perutnya.

Pak Bowo menghela nafas panjang, lalu dia menaruh kopi itu di atas meja nakas.

Sebenarnya dia bisa saja menyuruh para pelayan untuk mengantar kopi itu, tapi Pak Bowo memilih dia sendiri yang menyuguhkan kopi itu untuk menantunya Devan, tadinya ingin memastikan kalau Nabila tidak bertindak macam- macam terhadap Devan. Di karenakan, Devan tidak mengetahui, kalau sebenarnya mental Nabila terganggu.

Hari ini berkata A, besok bisa berubah jadi B. Itulah sikap Nabila yang sering berubah- ubah, dia kadang lupa apa yang di ucapkannya, kadang tertawa sendiri lalu nangis tak jelas. Tepatnya, Nabila mengalami depresi berat saat di tinggal lelaki yang bernama Rudi ke luar negri.

Pak Bowo sendiri tidak mengetahui alamat pasti Rudi di luar negeri, lelaki bajingan itu tenyata bukan asli orang pribumi, semua keluarga besarnya ada di luar negri.

"Dari segi tampang, Pi. Dia terlalu pede,” ujar Nabila bersungut-sungut.

Pak Bowo tersenyum malas menanggapi ucapan putrinya.

“Memangnya dia siapa, tidak punya jabatan apa apa sampai Papi tega menikahkanku dengannya?"

"Udah, jangan bahas dia, yang penting kamu sekarang sudah menjadi istrinya! Nih, kopinya. Kasih suamimu dia ada di taman belakang!" Lekas Pak Bowo mengambil kopi itu, lalu ia sodorkan pada Nabila.

Hanya satu keinginan Pak Bowo, baik Devan ataupun Nabila bisa saling cinta dan akur dalam rumah tangga nya kelak, agar jika tuhan mengambil nyawanya. Ia merasa tenang karena putrinya sudah ada di tangan pria yang bertanggung jawab.

Pak Bowo sadar, Devan terpaksa menikahi putrinya karena uang. Tapi Pak Bowo juga tahu persis sifat Devan yang tidak tegaan melihat kesusahan orang lain.

"Sana! Temani suamimu!"

Meski enggan, Nabila ikuti titah ayahnya dengan membawa kopi tersebut ke hadapan Devan.

"Nih kopinya!"

"Masya Allah, gak salah!" Ejek Devan.

menahan mual mendengar ucapan Devan, bibir Nabila manyun. Apalagi Devan justru senyum-senyum sendiri tidak jelas.

"Enak, ternyata istriku pintar buat kopi,"

puji Devan usai menyeruput kopi buatan istrinya, sambil mengedipkan mata ke arah Nabila.

"Oh. Itu yang bikin Papi bukan aku!'

Devan tersedak, Nabila menahan tawa.

"Rasain!"

Mata Devan mendelik, tetapi kemudian bibirnya berkedut menahan tawa saat melihat ekspresi Nabila.

"Tapi lebih enak buatan istri sendiri kayaknya," goda Devan.

Nabila berbalik badan dan meninggalkan Devan.

"Semoga Pak Dev bisa mendampingi Nabila yang masih sedikit labil."

Kali ini suara Pak Bowo terdengar sangat berat bagi Devan.

Devan langsung menoleh ke belakang, saat mengetahui keberadaan Pak Bowo yang tiba- tiba sudah berdiri di sampingnya.

Dengan cepat Devan membungkuk hormat.

"Malam pak."

"Duduklah ..." Pak Bowo kemudian menyuruh Devan untuk duduk. Pak Bowo pun ikot duduk di samping Devan.

"Sejak istriku meninggal karena kecelakaan. Sejak saat itu, Bapak merawat Nabila seorang diri. Saking sayangnya Bapak pada putri Bapak, Bapak selalu mengabulkan permintaan dia. Tapi Bapak tidak menyangka, pergaulan Nabila di luar sana sangat liar."

Devan terdiam.

"Bapak setuju Pak Dev menikah dengan putri Bapak, karena Bapak melihat Pak Dev ikhlas membantu Bapak saat Bapak butuh, tapi Bapak juga mau meminta maaf pada Pak Dev."

Deg! Maksudnya … Pak Bowo meminta maaf untuk apa?

Tak berselang lama, ponsel Pak Bowo bunyi. Sepertinya ada kabar penting.

Buru-buru Pak Bowo pergi menjauh dari Devan.

Devan belum sempat mendengar kelanjutan kata kata Pak Bowo, karena seseorang menelponnya.

Tidak mau pusing dengan urusan ayah mertuanya. Devan kembali duduk sambil menikmati kopi hangatnya.

Devan melamun seorang diri, seharusnya ini malam pengantin yang indah kalau gadis yang di nikahi nya Ayu.

Ayu ...

Mata Devan berkaca jika mengingat nama itu.

Tapi sudahlah ...kisah masa lalunya sudah ia bungkus dalam ingatan.

Ayu sudah menjadi milik orang lain, dan dia pun sudah berstatus suami orang lain.

Ayu bukan jodohnya, bukan juga suratan takdirnya yang menemani masa tuanya kelak.

Sekarang ada Nabila yang harus ia jaga yang baru saja dia berjanji akan membahagiakannya.

***

"Nabila... kamu akan langsung balik ke Vila malam ini," ucap Pak Bowo setelah selesai menerima telepon.

"Kenapa buru-buru Pi?"

"Darurat.” Pak Bowo menjawab dengan lugas.

Tak lama, di belakang Devan ikut menimpali.

"Kemasi barang-barangmu Nabila, ikuti ucapan ayahmu!"

Tak ada pilihan lain, Nabila pun menuruti kemauan Ayahnya.

Mobil sudah menunggu di depan. Terlihat sopir pribadinya juga sudah menunggu. Kali ini entah mengapa firasat Devan tidak baik-baik saja.

Malam itu, Nabila dan Devan mendapat titah dari Pak Bowo untuk segera meninggalkan rumah dan pindah ke Vila yang sudah di siapkan Pak Bowo.

Tanpa banyak kata. Devan mematuhi titah Pak Bowo, meski Devan sendiri bingung, kenapa Pak Bowo terkesan terburu- buru menyuruhnya bulan madu. Padahal ada waktu besok pagi atau besoknya lagi, tapi pria tua itu sepertinya ingin Devan membawa Nabila jauh dari rumahnya.

Entahlah ...Devan berpikir, Mungin takut ketahuan keluarga besarnya. Kalau putrinya Nabila sedang hamil.

Sebelum pergi, Pak Bowo memeluk Nabila, ada air yang jatuh di pelupuk matanya.

"Maafkan Papi, Nak. Ini semua salah Papi."

Nabila hanya diam mendengar kalimat Ayahnya yang sedikit serak.

Ini sungguh aneh bagi Devan.

Tak lama, Pak Bowo juga memeluk Devan.

Nabila sudah masuk mobil dan Pak Bowo masih saling berpelukan, entah mengapa Devan seperti akan pergi ke tempat yang jauh dan sulit untuk kembali.

Ada apa dengan Pak Bowo?

Aksi Pak Bowo membuat Devan penasaran. Tapi Devan tidak mau berburuk sangka, dia pasrah saja.

Usai puas berpelukan dengan penuh haru, Devan pun memasuki mobil. Tak lama berselang, ponsel Nabila berdering.

"Iya!" Hanya kata itu yang keluar dari mulut Nabila. Setelah itu, Nabila menutup sambungan telponnya.

Devan menatap wajah Nabila penuh kebingungan.

“Ada apa lihatin aku terus!" Tegur Nabila ketus.

Devan membuang wajahnya ke samping sambil menyungging senyuman.

Mobil sudah meninggalkan kediaman Pak Bowo.

Tapi jauh dipikiran Devan, ada begitu banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan pada istrinya.

Tapi, dari pada penasaran, akhirnya Devan memberanikan diri bertanya.

"Sebenarnya kita mau ngapain pergi ke vila. Tidak penting apa itu bulan madu!"

"Kenapa?"

"Karena kamu telah menipuku!"

"Halahhh ...kayak kamu perjaka saja!'

Devan mendengus kasar mendengar jawaban menohok Nabila.

"Nikmati saja kehidupan baru kita. Kamu sudah menjadi suamiku dan Papi sudah memberi kamu uang! Jadi jangan komplen!" ucap Nabila penuh penekanan.

Lagi, Devan dilanda perasaan resah.

‘Tenang Dev!" Devan berusaha menahan emosi. Ini memang kenyataan.

Jika mampu, Devan ingin mengubah takdir yang dia lewati saat ini. Namun, jelas bayangan wajah Pak Bowo yang penuh misteri sangat menginginkannya menikah dengan si Nabila ini.

Devan memejamkan matanya, mencoba berpikir keras bahwa ini akan menjadi awal babak baru dalam hidupnya. Hidupnya yang dulu banyak di gilai cewek cantik, kini telah menjadi seorang suami.

Wajah Ayu pun ikut menghiasi dalam bayangannya. Setelah sekian purnama, baru kali ini hatinya dipenuhi dengan satu nama. Wajah Ayu mampu membuat candu sendiri. Tenang dan damai, sesuai dengan gadis idamannya.

***

"Dev, bangun. Sudah sampai!"

Dev terkesiap kaget, tanpa menoleh ke kanan dan kiri, Dev langsung turun dari mobil.

"Suami macam apa, istrinya ditinggal begitu saja di mobil!" Maki Nabila.

Keluar dari mobil, hati Devan sedikit berdebar melihat rumah modern yang megah dengan taman yang luas bak istana kerajaan.

Jadi, benar, Nabila ini orang kaya.

Asisten rumah tangganya menunggu di depan pintu. Meski sudah larut malam, mereka masih siaga menunggu majikannya.

Lucunya, wajah mereka sedikit cemberut melihat Devan menunggunya di luar mobil.

Sepertinya ini akan menjadi kisah yang menarik di rumah ini.

"Kenalkan, ini namanya Bu Siti, kepala asisten rumah tangga di rumah ini. Kamu bisa minta tolong kepadanya."

Nabila mengenalkan Devan satu per satu dengan ART-nya, begitu juga dengan kamar yang akan mereka tempati. Namun, lagi-lagi Devan tidak mengatakan bahwa dia ini adalah suaminya di depan semua ART-nya. Baiklah, mungkin ini yang namanya istri hanya di atas kertas.

Devan lantas merapikan bajunya.

Waktu menunjukkan pukul 12.00 malam, tapi tak ada rasa kantuk yang dirasa.

"Bagaimana? Semoga kamu betah di sini."

Tanya Nabila tanpa basa-basi dan langsung duduk di sofa kamarnya.

"Hm ...."

Semua barang Devan yang masih tersisa langsung dibereskan oleh pembantunya. Di kamar yang lumayan besar.

Tatapannya Devan kosong, seperti ada beban dihatinya. Begitu ia masuk, dia tak ada reaksi apa pun.

"Semua kebutuhanmu akan dipenuhi di rumah ini. Yang kuminta, kamu harus menemaniku di rumah ini. Aku kesepian." Begitu kata Nabila.

Devan melihat ada dua perawat yang stand by di kamar Nabila.

"Selain kamu, ada siapa lagi di rumah ini?" tanya Devan.

Ini penting agar bisa menjaga kestabilan emosinya di rumah. Minimal, Devan bisa menjaga dirinya agar tetap baik-baik saja di rumah ini.

"Aku hanya sendiri, sama tetangga sebelah rumah kita. Tapi orangnya jarang keluar karena sibuk. Namanya Pak He_"

"Ah sudahlah tak penting!" Potong Devan acuh.

Nabila menganggukkan kepala.

Perawat yang di belakang terdengar bisik-bisik. Tapi Devan abaikan.

Semua orang di rumah ini sangat menyebalkan!

Devan lalu mendaratkan bokongnya di sofa guna melepas lelah.

"Besok kita main ya, Dev. Kali ini aku begitu lelah."

Nabila mengedipkan satu matanya kepada Dev.

Devan tampak menyeringai.

"Lain kali saja! Capek!" Kata Devan asal.

"Apa, apa kamu bilang? Capek?" tanya Nabila garang.

Devan malah senyum. "

"Jangan egois!Aku suamimu, kamu lupa?"

Nabila mengeram. Ini orang seenak jidat ngomongnya.

"Bukannya ini malam pertama kita!"

Devan acuh, enggan membalas ucapan Nabila istrinya.

****

Pukul 4.00 pagi, Devan bangun dengan badan yang lebih segar. Semalam, tidak terjadi apa-apa pada mereka berdua, Devan tidur di sofa, sedang Nabila tidur di atas kasur empuk.

"Toloong ...!"

Astagfirullah itu suara siapa?" Setengah kantuk, Devan bangun dari tidurnya karena mendengar teriakan seseorang.

Dan tak ada satu pun yang bangun mendengar suara orang yang berteriak termasuk para pelayan yang ada di rumah itu.

Dengan cepat, Devan bangun dan sigap berlari menuju pintu kamar.

Pas pintu kamar di buka. Devan melihat salah seorang pelayan tengah berdiri di hadapannya membawa nampan berisi minuman hangat.

"Oh, eh. Itu siapa yang berteriak?" Tanya Devan cemas.

"Biasa saja, Tuan. Kami sudah biasa mendengar teriakan ini setiap pagi," ucap pelayan itu dengan santainya.

"Tolong ...! Aku takut!"

Itu suara Nabila.

Devan lalu mendekat ke arah asal suara jeritan itu.

"Siapa kamu?! Kamu pasti ingin membunuhku juga kan? Sama seperti perawat-perawat itu!" Mata Nabila melotot. Cukup mengerikan.

Devan membelalak melihat keadaan Nabila yang tengah duduk di karpet berbulu yang terhampar di ruang tengah.

Devan semakin mendekat. Entah mengapa jiwa penasarannya semakin kuat.

"Pergi kamu! Jangan mendekat!" Selain matanya melotot, wajah Nabila sangat mengerikan.

Baru saja Devan berniat untuk lebih mendekat, tetapi dua perawat lebih dulu mengambil alih.

Perawat itu lalu menyuntik kedua lengan Nabila.

Tak lama Nabila sudah terlihat tenang.

Tubuh Devan menegang di tempat. Dirinya masih tidak percaya dengan apa yang baru saja di saksikan dengan mata kepalanya sendiri.

Devan mulai berpikir keras.

Apa Nabila sakit jiwa?

Tidak!

"Tuan, sarapan sudah siap." Bi Siti, asisten rumah tangga tiba- tiba menegur Devan.

Devan langsung menoleh ke samping, dimana Bi Siti berdiri.

"B-baik, saya akan segera ke sana."

Semua terlihat ke sana kemari. Nabila juga tidak ada ditempat. Seketika perasaan Devan tidak enak melihat kondisi rumah yang menakutkan ini, semua orang di rumah ini terlihat tegang dan kaku.

"Ada apa Tuan?" Kembali Bi Siti menegur Devan.

"Ti- tidak ada apa- apa Bi!" Devan menjawab gugup.

Pagi yang bikin mulas perut Devan melihat kondisi Nabila.

Jelas sekali Devan melihat Nabila bertingkah aneh. Rambutnya acak- acakkan dan bibirnya membiru.

Devan mulai curiga, diapun segera berlari kecil menuju kamar.

"Maaf Tuan! Sebaiknya Tuan diam di tempat makan. Jangan ikut campur dengan kondisi di rumah ini." Bi Siti menghalangi Devan.

"Aku ingin melihat kondisi istriku!" Sentak Devan

"Maaf Tuan. Saat ini Nona Nabila tidak bisa di temui!" sambung Bi Siti.

"Apa?!" Devan tak percaya dengan sikap kasar pelayan di rumah ini.

"Diam saja dan sarapan. Tuan tidak akan berhasil. Puluhan dokter dan perawat sudah menyerah merawat Nona Nabila. Apalagi Tuan orang baru pastinya Tuan juga tidak akan berhasil."

"Hah?!" Lagi lagi Devan di buat shock depan pernyataan pelayan ini.

Separah itu kah si Nabila sampai puluhan dokter dan perawat sudah melihat kondisinya.

Sebagai suami, Devan semakin tertantang dengan semua ini.

Ini penting, melihat kondisi istrinya, Nabila sepertinya mengalami trauma dan kelihatan butuh tempat untuk bersandar.

"Pergi kalian!" Terdengar suara Nabila berteriak histeris

Semua benda didekatnya dilempar.

Devan tidak tinggal diam, gegas Devan berlari ke arah asal suara, tak peduli Bi Siti mengejarnya. Devan terus mencari- cari asal suara itu.

"Tuan mau ke mana? Tolong berhenti!"

1
Abel_alone
tetap semangat 🌹🌹🌹🌹
Luna Sani: Terima kasih kak ..🙏😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!