Dirga sangat mencintai Maya. Ia tidak ingin bercerai meski Maya menginginkannya. Ia selalu memaklumi Maya yang bertingkah seenaknya sejak Dirga kehilangan pekerjaan dan membuat keluarga mereka terpuruk.
Tapi suara desahan Maya di ponsel saat ia menghubunginya merubah segalanya.
Apa mereka akan tetap bercerai atau -lagi lagi- Dirga memaafkan Maya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Herliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
"Nara nawarin Aku pekerjaan."
"Nara siapa, Nak?" tanya Juwita. Kenapa jadi Nara? Bukankah waktu itu Gerry pernah menyebutkan nama Naya? Apa ini perempuan lain lagi?
"Teman yang baru Dirga kenal, Bu." jelas Dirga.
"Kamu terima?" tanya Juwita berharap.
"Nggak dulu kayaknya, Bu. Dirga nggak mau dibilang memanfaatkan teman." Dirga mengusap wajahnya.
Juwita menghela nafas. Kadang putranya ini terlalu idealis. Apa salahnya memanfaatkan teman?
"Kalau pekerjaan itu memang cocok untuk Kamu, kenapa nggak dicoba dulu, Sayang?"
Juwita mengusap - usap bahu Dirga.
Ganti Dirga yang menghela nafas.
"Rasanya seperti menjilat ludah sendiri." keluhnya. Lalu ia menatap Juwita dengan intens.
"Dirga akan terus berusaha, Bu. Ibu percaya kan, sama Aku? Ibu percaya Aku sanggup menafkahi kedua anakku dengan usahaku sendiri? Meski sekarang ini Kami bergantung sama Ibu. Suatu saat akan Kuganti, Bu."
Juwita merasa hatinya meleleh. Ia tentu saja sangat menpercayai anak - anaknya.
"Ibu percaya, Dirga. Ibu sangat percaya padamu, Sayang?"
Diusapnya dengan lembut rambut Dirga.
"Ada kalanya dunia berjalan tidak sesuai dengan yang Kita inginkan. Kamu tetap harus mempercayai kebesaranNYA. Jangan sekali - kali Kamu meragukanNYA, Sayang. Apalagi marah dan kecewa padaNYA."
Dirga mengangguk. Memang ini mungkin waktunya ia lebih mendekatkan diri padaNYA. Setelah sekian tahun hidup dalam kemewahan dan mengabaikan keadaan di sekitarnya.
"Iya, Bu. Aku minta doa Ibu, ya? Doa dari Ibu yang menguatkan Aku." Dirga memeluk Juwita dengan mata yang mulai mengembun.
"Tentu, Sayang."
Sebenarnya Dirga memang mampu menafkahi kedua anaknya meski pas - pasan. Ia tetap bekerja pada Tikno yang tidak dapat memberikan gaji secara tetap setiap bulannya.
Tikno adalah sahabat yang bersedia membantunya saat ia terpuruk seperti sekarang ini.
"Maafin Aku, Bro. Aku hanya dapat memberimu segini. Kadang lumayan, kadang sedikit. Tidak pasti. Tergantung keuntungan perusahaan." tutur Tikno pada saat itu.
Itu tidak menjadi masalah buat Dirga. Meski ia harus ikut turun membantu pekerjaan kuli kasar akan ia lakukan untuk mendapat cuan tambahan.
Berkali - kali Tikno melarangnya tapi berkali - kali juga Dirga membaur bersama para kuli pasir itu.
Saat matahari semakin membakar kulit, Tikno berteriak memanggil Dirga.
"Dirga! Sini dulu!" Dirga melap keringat di wajah dan lehernya sebelum menghampiri sahabat sekaligus bosnya ini.
"Jangan gitu - gitu amat, sih. Nanti Aku kasih uang tambahan, deh." Tikno merasa tidak tega.
"Udah kayak pengemis aja. Dapat uang cuma - cuma." sungut Dirga. Ia merasa harga dirinya terlalu tinggi.
"Kamu kan sahabatku. Masa' Aku tega ngebiarin Kamu sampai the kill and the cum L begitu?"
"Apa, tuh?" sengat Dirga. Tikno menatapnya dengan prihatin.
"The kill and the cum L. Dekil dan kumel." Ha ha! Dirga justru tertawa terbahak - bahak.
"Malah ketawa! Sekarang udah! Makan dulu, nih!" dumel Tikno seraya menyodorkan nasi bungkus.
Dirga menatapnya penuh selidik.
"Kamu nggak lagi nepotosme, kan?" tanyanya.
"Apa lagi, nih? Nepotisme?"
"Bukan cuma Aku yang disuruh istirahat, kan? Bukan cuma Aku yang Kamu kasih makan? Itu namanya nepotisme. Mentang - mentang Aku ini Temanmu, Sahabatmu!" tuduh Dirga.
"Jangan ge er! Lihat, tuh!" telunjuk Tikno mengarah pada sisi pangkalan yang dinaungi pohon akasia yang rindang.
Para pekerja sedang melepas lelah dengan menyantap nasi bungkusnya.
"Masih bilang Aku ini nepotisme?"
Dirga menggeleng seraya melemparkan handuk kecil di lehernya ke wajah Tikno.
*************
Nara memang kecewa karena Dirga menolak tawaran pekerjaan darinya. Ia bahkan menolak untuk datang ke rumah Nara untuk bertemu dengan Pak Handoko, Papa Nara.
Nara juga tidak mengetahui alasannya.
"Aku tidak enak meninggalkan Tikno untuk saat ini. Ia sudah banyak membantuku." itu alasan yang dibuat Dirga.
"Aku sudah bilang sama Tikno. Ia nggak keberatan." pungkas Nara. Kedua jari telunjuknya bertaut, pertanda ia sedang gugup dan gelisah. Ia tidak ingin terlihat terlalu memaksa Dirga.
Bagaimanapun, ia adalah wanita bersuami. Terlalu memalukan buatnya menunjukkan perasaan tertarik pada Dirga.
"Ia pasti tidak akan keberatan. Dia sahabat sekaligus Bos yang baik. Aku yang harus tau diri." terang Dirga.
Nara mengangguk. Dalam hatinya ia memuji kesetian Dirga. Pada teman saja dia bisa setia, apalagi pada istrinya? Tapi kenapa mereka ingin mengakhiri pernikahan mereka?
Nara hanya dapat bertanya dalam hatinya. Ia malu untuk bertanya lebih jauh pada Tikno, orang yang selalu memberi informasi tentang Dirga tanpa ia minta.
"Non nggak kerja hari ini?" Nara menggeleng lemah. Setelah ia mandi tadi tubuhnya terasa tidak bertenaga. Dadanya juga sedikit nyeri. Ia takut akan semakin nyeri bila ia memaksakan diri bekerja nanti.
Ada suara ketukan sebelum sebuah wajah menyembul dari balik pintu.
"Boleh Aku masuk?" Gerry. Nara mengangguk seraya merapikan gaunnya yang sedikit tersingkap. Si Bibik segera mengundurkan diri dan keluar dari kamar.
"Kamu nggak kerja?"
Alih - alih menjawab pertanyaan Nara, Gerry balik bertanya.
"Kamu sendiri, belum berangkat?" Gerry tertawa kecil. Ia duduk di sofa di hadapan Nara.
"Aku mau minta ijin."
"Ijin?" Nara menautkan alisnya.
"Iya. Aku ijin nggak masuk hari ini. Boleh, ya?" pinta Gerry setengah memohon.
"Kenapa nggak ijin sama Papa aja?" ucap Nara malas. Sudah memakai uang perusahaan bukannya semakin giat bekerja untuk mengganti kerugian justru semakin sering ijin tidak masuk bekerja.
Gerry mencoba meraih tangan Nara tapi langsung ditepis oleh Nara.
"Jangan melewati batas!" ketusnya. Gerry tertawa lagi.
"Kamu istriku, Nara. Istriku yang sah di mata hukum dan agama." tegas Gerry.
"Itu cuma di atas kertas. Kita sama - sama tau, Gerry."
Gerry membuang nafas kasar. Ia mengangkat bahunya.
"Aku akan menikahi Maya secepatnya. Aku tidak ingin ada sesuatu apapun yang menghalanginya. Terutama darimu."
"Bagaimana kalau Kita bercerai?" Gerry terkejut. Bercerai dengan Nara akan membuatnya kehilangan semua fasilitas. Bahkan mungkin jabatannya sebagai seorang CEO.
"Kenapa Kita harus bercerai? Kamu marah, Nara? Kamu cemburu?"
Nara menggeleng - geleng. Cemburu? Tentu saja tidak!
"Aku bosan." pendek, tegas, tajam.
"Apa Papamu akan setuju kalau Kita bercerai?" tanya Gerry. Ia mulai cemas.
"Aku tinggal bilang Kamu akan menikah lagi. Beres, kan?"
"Nara, tapi bukan itu yang Kita sepakati kemarin!" teriak Gerry frustasi.
Ya. Kemarin itu Nara belum mengenal Dirga dan jatuh hati padanya. Tapi hubungan mereka sungguh rumit.i
"Aku tidak ingin menceraikanmu. Aku hanya ingin ada pelampiasan hasratku karena Kamu terus menerus menolakku!"
Nara tidak ingin menjawab. Dadanya semakin sakit. Ia mulai memegangi dada kirinya. Wajahnya semakin pucat.
Gerry yang melihat itu seperti memiliki kesempatan.
'Bagaimana kalau ia kubuat semakin sakit dan mati. Aku akan bebas sepenuhnya tanpa kehilangan segalanya.'
Sebuah senyum smirk lepas dari bibirnya. Ia berjalan mendekati Nara.
"Gerry! Apa yang mau Kamu lakukan?"
*****************