NovelToon NovelToon
Keluarga Untuk Safina

Keluarga Untuk Safina

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Menikah Karena Anak / Ibu Tiri / Istri ideal
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Windersone

Secara kebetulan aku bertemu dengan keluarga kecil itu, hadir sebagai seorang istri terutama ibu pengganti untuk anak pria itu yang berstatus duda saat menikahiku.

Sungguh berat ujiannya menghadapi mereka, bukan hanya satu, tapi empat. Namun, karena anak bungsunya yang paling menempel padaku, membuatku terpaksa bersabar. Mungkinkah aku akan mendapatkan cintanya mereka semua? Termasuk Ayah mereka?

Kami menikah tanpa cinta, hanya karena Delia, anak bungsu pria itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Maju Paling Depan

🌻🌻🌻

Unggahan semalam mengenai masalah yang dihadapi Shani menggemparkan sekolah,

membanjir percakapan warga sekolah yang sebagian dari mereka memihak kepada gadis itu, tetapi bagi mereka yang tidak tahu cerita dari peristiwa itu terjadi memandang buruk Shani.

Shani benar tidak datang ke sekolah. Jika saja gadis itu mendengarnya, mungkin ia tidak bisa menanggung pandangan orang-orang kepadanya, aku saja merasa tidak sanggup jadi bulan-bulanan sekolah. Namun, aku tidak bisa diam saja. Kebenaran dari masalah itu aku jelaskan kepada guru-guru yang ada di kelas sampai mereka tidak lagi memandang buruk Shani dan demo kepada kepala sekolah untuk memberhentikan dua siswi yang merupakan anak pemberi donasi terbesar di sekolah itu. Pada akhir keputusan demo mereka, kedua siswi itu akhirnya diberhentikan.

Rasanya sedikit lega, Shani tidak lagi menjadi perbincangan buruk penghuni sekolah. Mereka berpihak kepada Shani dan berita itu juga memenuhi isi grup sekolah yang menjadi tempat di mana berita kotor itu masuk semalam. Semoga saja Shani melihatnya dan ingin kembali ke rumah dengan cepat.

Setelah menyelesaikan masalah di kantor, aku kembali ke ruangan kerjaku yang bersebelahan dengan Bu Tika. Dalam perjalanan menuju ruanganku yang berada di bangunan berbeda, ponsel dari dalam tasku berdering, orang yang menghubungiku guru wali kelas Zien. Kembali anak itu berulah saat masalah Shani masih mengambang, perkelahian terjadi lagi.

“Kenapa Bu Fina?” tanya Bu Tika yang baru muncul di sampingku.

“Bu Tika, saya minta izin keluar sebentar untuk mengurus masalah penting di sekolah Zien, adiknya Shani. Tolong beritahu guru piket, ya ….” Aku menepis lembut bahu Bu Tika dan berlari kecil menuju parkiran.

Setelah sampai di parkiran, ponselku kembali berdering, orang yang menghubungiku wali kelas Revan dengan masalah yang sama dibawa olehnya. Kedua anak laki-laki Mas Lintang seketika membuatku bingung dan jadinya bingung harus menghadapi siapa dulu? Tetapi, aku tidak ingin Mas Lintang mengetahuinya, aku tidak ingin membebaninya karena pekerjaan dan masalah Shani sudah cukup berat dihadapinya.

Karena guru Zien yang lebih dulu menghubungiku, aku mendatangi sekolah anak itu. Setelah sampai di situ, aku sudah disambut oleh beberapa orang di ruangan BK di sekolah Zien yang sebelumnya juga aku masuki karena masalah perkelahian. Sama, kasus yang dilakukan Zien saat ini sama seperti yang dilakukannya sebelumnya.

“Kamu berkelahi lagi?” tanyaku kepada Zien dengan suara kecil.

“Dia yang salah. Dia yang terlebih dahulu mencari-cari kesalahanku,” balas Zien, masih tampak emosi.

“Kamu yang memukulku terlebih dahulu,” balas anak yang menjadi lawan Zien.

Kedua remaja laki-laki itu sama-sama emosi dan sulit untuk ditenangkan meskipun guru-guru mereka dan orang tua anak itu juga aku ada di sana.

“Mengapa kamu memukulnya? Bukankah kamu sudah membuat kesepakatan dengan Kakak untuk tidak berulah lagi? Kasihan ayahmu,” ucapku dengan suara kecil.

“Dia yang lebih dulu mencari masalah. Dia menyebut Kak Shani dengan kata-kata yang buruk. Dia menjelek-jelekkan Kak Shani di depan kelas,” jelas Zien, membuatku kaget ternyata berita itu juga tersebar luas tidak hanya di luar sekolah tempatku bekerja saja.

“Perkataan Zien benar?” tanyaku pada bocah laki-laki yang menjadi lawan bertengkar Zien.

Remaja laki-laki itu diam.

“Kamu tahu dari mana?” tanyaku, lagi.

“Dari kakakku,” jawabnya.

Pantas saja.

“Lain kali, jaga sikapmu. Hal yang wajar bagi putra saya memukulmu, karena apa yang kamu katakan itu tidak benar.”

“Putra?” tanya dua guru perempuan yang ada di ruangan itu, wali kelas Zien dan guru BK yang sebelumnya mereka ketahui aku sebagai kakaknya Zien. “Jangankan Zien, saya sendiri akan marah mendengar putri saya dijelek-jelekkan di depan semua orang dengan kasus yang tidak benar. Bu, tolong didik anaknya. Tidak ada asap kalau tidak ada apinya,” ucapku kepada ibu anak itu. “Saya Ibu sambung Zien, Bu. Saya minta maaf kepada kalian karena sudah menanggung perangai putra saya menyulitkan kalian,” ucapku kepada dua guru yang ada di hadapan kami.

“Tidak apa-apa,” balas salah satu dari mereka.

“Maafkan putra saya, Bu,” ucap ibu dari anak yang tadi dilawan Zien.

“Iya,” balasku sambil menganggukkan kepala dengan perasaan mulai tenang.

Setelah mendebarkan penjelasan Zien tai, sebenarnya aku sedikit dibuat emosi. Namun, melihat respons baik dari mereka yang ada di ruangan itu, aku bisa mengendalikan perasaanku.

“Minta maaf,” suruh ibu dari anak itu kepada putranya yang terlihat masih kesal kepada Zien.

“Tapi, Ma …,” balas anak itu dengan suara kecil.

“Cepat!” Ibunya mendesak.

“Maaf,” ucap remaja laki-laki itu pada akhirnya.

Zien tidak menanggapinya, bocah itu keluar dari ruangan tempat kami berdiri saat ini, pergi begitu saja tanpa ada sopan santun yang membuatku meminta maaf kepada kedua gurunya. Setelah itu, aku mengikutinya, mencegatnya di halaman sekolah dengan muncul di hadapannya. Kuperhatikan beberapa bagian tubuh anak itu yang lebam cukup banyak daripada bocah laki-laki tadi. Berarti, Zien tidak terlalu melekatkan tangan kepada bocah itu seperti perkelahiannya sebelumnya.

Mata Zien yang berkaca-kaca aku pandangi, anak itu membuang muka menjauh dariku sambil menunjukkan sikap angkuh yang sebenarnya malu terlihat lemah di hadapanku.

“Seharusnya kamu patahkan giginya supaya lain kali malu berbicara,” ucapku.

Zien langsung menghadapkan pandangan ke arahku, kaget. Aku tersenyum dan menunjukkan dua jari jempol yang menarik sedikit senyuman di bibirnya. Untuk pertama kalinya anak itu tersenyum dan wajah kusut yang terlihat tadi menghilang.

Remaja laki-laki itu aku peluk dan menepuk pelan punggungnya beberapa kali.

“Maafkan Kakak,” ucapku.

Meskipun tidak mendapatkan pelukan balasan darinya, tapi aku senang Zien tidak mendorongku.

***

Setelah dari sekolah Zien, aku ke sekolah Revan bersama putra keduaku itu. Zien tidak lagi masuk ke kelas untuk melanjutkan kelasnya karena tidak nyaman setelah ditertawakan oleh seluruh teman-temannya, mungkin Zien kesal kepada mereka. Jadi, aku berbicara dengan wali kelasnya tadi dan untuk hari ini Zien diberikan izin kembali ke rumah. Bukannya ke rumah, kami ke sekolah Revan menggunakan taksi.

Masalah yang sama juga dihadapi Revan, bocah itu bertengkar dengan teman perempuannya karena masalah Shani. Revan menendang kursi teman perempuannya itu karena marah sampai gadis itu terjatuh.

“Mulutnya itu tidak dididik, Bu,” ucap Revan kepada wali kelasnya yang kami saksikan dari pintu ruangan yang akan kami masuki, mereka belum sadar dengan keberadaan kami.

“Jaga mulut kamu, ya. Mulut kamu yang seharusnya dididik oleh ibumu. Jangan mentang-mentang tidak punya Ibu, seenaknya kamu mengatakan itu,” balas ibu dari anak gadis itu.

“Dia punya Ibu!” seruku sambil memasuki ruangan itu, diikuti Zien.

“Anda sudah tua, Bu. Tidak seharusnya Anda mengatakan itu kepada anak kecil yang kehilangan orang tuanya,” balasku. “Saya tidak ingin mencari lawan di sini, saya hanya ingin menyelesaikan masalah. Revan memang salah bertingkah seperti itu, saya minta maaf,” ucapku.

“Revan tidak salah. Dia yang lebih dulu mencari kesalahan,” kata Zien kepadaku.

“Benar. Biarkan Kakak bicara dulu,” balasku kepada anak itu. “Putra saya mungkin salah telah bertindak seperti itu, tetapi respons tersebut hal yang wajar karena anak Ibu telah menarik emosinya. Lain kali tolong didik lebih baik lagi anaknya. Satu lagi, apa yang dikatakan anak Ibu mengenali kakaknya Revan itu salah. Itu sebabnya putra saya marah. Untung dia perempuan, jika laki-laki, mungkin tingkahnya lebih besar dari itu. Sekali lagi saya minta maaf,” ucapku setelah puas berkata-kata kepada wanita yang jauh lebih tua dariku itu, yang berdiri di sampingku dengan wajah kesal sejak tadi.

Wanita itu hanya diam meredam emosinya karena wali kesal Revan menengahi kami dan menyudahi masalah itu dengan kedua anak itu saling meminta maaf.

1
Mariyam Iyam
lanjut
Darni Jambi
bagus,mendidik
Ig: Mywindersone: Terima kasih.
🥰🥰
total 1 replies
LISA
ya nih penasaran jg..koq bisa yg menculik itu mengkambinghitamkan Fina..pdhl Fina yg sudah menolong Shani..
LISA
Moga dgn kejadian itu Shani sadar dan tidak memusuhi Fina lg jg mau menerima Fina sebagai Mamanya
Darni Jambi
upnya yg rutin kak,
Darni Jambi
kok ngak up2 to mbk ditungguin, bagus critanya
LISA
Ya nih Kak
LISA
Pasti ibunya anak²
LISA
Ya Kak..Fina bijak bgt..salut deh sama Fina..istri yg pengertian
LISA
Pasti ke rmhnya Delia
LISA
Aq mampir Kak
Rina Nurvitasari
semangat terus thor
Rina Nurvitasari
mampir dulu thor semoga ceritanya menarik dan bikin penasaran...

semangat terus rhor💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!