Pelacur Yang Dirindukan ( Emperor Transmigration )

Eleena terlihat cantik dengan gaun yang diberikan Guapo, meskipun dengan perut hamilnya yang menonjol tetap tak bisa menyembunyikan aura menawan dari dalam diri Eleena.

"Kamu sangat cantik, Elè..." ucap Guapo penuh kekaguman.

"Terima kasih, tapi wajahku yang asli lebih cantik," ucapan Eleena merujuk pada wajah aslinya di dunianya bukan pada wajah baru dari topeng kulit.

"Kamu benar Elè, wajahmu selama lima bulan ini tidak secantik wajah aslimu. Hahaha..."

Nenek Sarah dan Kakek Gerald menatap nanar ke arah Eleena yang berbinar bahagia, mereka juga sama sudah menganggap Eleena seperti cucu mereka sendiri tapi kehidupan di masa lalu masih tidak bisa mereka lepaskan. Dendam mereka pada Kerajaan yang membirkan putri mereka diambil paksa oleh bangsawan karena Kerajaan hanya membiarkannya membuat hati kedua orang itu membusuk karena kebencian.

"Ayo, sebentar lagi sore," ajak Guapo.

"Umm," Eleena mengangguk, dia sangat senang bisa keluar dari tempat persembunyiannya di kaki gunung setidaknya bisa melihat sedikit kemeriahan di desa nanti.

"Sini, pegangan padaku." Guapo memberikan lengannya saat Eleena akan menaiki kereta kuda.

"Terima kasih," Eleena menerima bantuan Guapo lalu mengangkat tubuh berisi-nya ke dalam kereta kuda.

Lalu Guapo ikut naik dan duduk di seberang Eleena.

"Guapo, kamu baru kembali dari kota Kerajaan. Bagaimana, ada kabar tentang saudara - saudaraku?"

"Mereka masih belum tertangkap, sama sepertimu. Tapi..."

"Tapi?"

"Aku mendapatkan kabar Pangeran masih selalu menyiksa Paman Patric dan Axton, bahkan kaki Axton yang ditusuk Pangeran menjadi busuk. Semakin hari Axton semakin sekarat."

Eleena meninju dinding kereta kuda, "Aku tidak akan pernah memaafkan perbuatannya, teganya dia pada keluargaku!"

"Bahkan kabarnya Pangeran sangat mencintai Puteri Dayana, mereka hidup dengan sangat harmonis."

Sudut bibir Guapo tertarik, selama Eleena bersamanya dia selalu mengatakan hal - hal tentang Jagger yang akan dibenci Eleena. Kini melihat kegeraman Eleeena pada Jagger, sepertinya setiap hasutannya telah berhasil.

"Sudah sampai, ayo turun."

Saat melihat kemeriahan yang sudah lama tidak dilihatnya, Eleena akhirnya gembira. Meskipun ingin sekali pergi ke Istana untuk menolong tapi ia hanya bisa pasrah.

Eleena terus mencicipi makanan - makanan jajanan di setiap meja di sepanjang jalan, Guapo membayar semuanya.

"Kamu masih lapar? Mau makan di dalam rumah makan?"

Eleena menggeleng, memasukkan satu kue bulat ke dalam mulutnya. "Oke, aku kenyang. Kita mau kemana sekarang?"

"Apa kamu kuat naik ke atas sana? Hanya beberapa anak tangga," tunjuk Guapo ke arah sebuah tangga.

"Ada apa diatas sana?" tanya Eleena.

"Hanya tempat orang - orang berdoa."

"Berdoa? Hmm, baiklah. Aku ingin mendoakan anakku."

***

Istana Pangeran.

Paviliun.

"Astaga Santos! Lihatlah Paman Patric mengalahkanku lagi!" kesal Pangeran.

"Haha, Pangeran berikan aku uangnya," Paman Patric tertawa dengan puas.

"Ckckk, Anda payah dalam bermain kartu. Kenapa selalu mengajak kami bermain?" Axton menggelengkan kepalanya heran, ia memijit kakinya.

Sudut mata Pangeran melirik ke arah kaki Axton yang menjadi tidak sempurna karena tusukan pedangnya, rasa penyesalan terus menghantamnya. Jika Eleena kembali padanya, dia takut Eleena tak mau menerimanya karena kekejamannya pada dua lelaki yang sudah dianggap keluarga oleh Eleena.

"Kakimu bagaimana?" tanya Pangeran.

"Tentu saja baik, Anda mendatangkan tabib Istana khusus untukku. Hanya saja terkadang jika cuaca dingin akan terasa pegal," jawab Axton.

"Hm."

Paman Patric menatap wajah Pangeran yang penuh penyesalan, saat Pangeran datang menemui mereka di penjara bawah tanah lalu membawa mereka keluar sejak saat itu dia merasakan perubahanan pada diri Pangeran. Bahkan mengatakan dia dan Axton serta semua orang di bengkel senjata sangat berjasa, karena mereka sudah melindungi Eleena dari Lady Dayana.

"Pangeran, Anda masih menunggu Elè?" tanya Paman Patric.

"Sampai kapanpun aku akan menunggunya. Malam sudah larut, aku akan pergi."

Pangeran keluar dari bengkel senjata menuju taman Istana, membawa pedang pemberian Eleena dalam genggamannya.

Dia duduk di batu besar, memandang bulan penuh di langit. Sudah lima kali bulan purnama Eleena pergi, setiap sudut sudah dia cari namun keberadaan kekasihnya belum juga dia temukan.

"Pangeran..."

Puteri Dayana berjalan dengan lemah gemulai, memakai gaun tipis menerawang. Cahaya penuh dari bulan memperjelas lekuk - lekuk tubuh indah wanita itu. Bahkan jubah ia biarkan terbuka sengaja memperlihatkan tubuhnya.

Pangeran bahkan tak menoleh ke arah suara Puteri berasal, dia semakin erat memeluk pedangnya seolah pedang itu bisa mencegah dirinya agar tak menyentuh wanita lain.