Berawal dari pertemuan tak terduga, Misel seorang gadis desa yang tak pernah berharap menikah di usia muda. Namun, tak di duga ia kini menikah di usia muda. Hal yang tak pernah ia pikirkan sekarang ia duduk di acara pernikahan nya sendiri dengan seorang pria yang baru ia kenal 5 hari yang lalu.
Penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Yuk mampir untuk mengetahui seperti apa kelanjutan ceritanya? Bagaimana misel bertemu dan persiapan apa yang ia siapkan untuk pernikahannya ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alrumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Mau Berdebat
Tut... Tut...
Suara telpon itu terdengar di handphone miliknya Satria. Hal ini membuat Satria yang sibuk dengan beberapa dokumen mengalihkan kesibukannya tersebut untuk mengambil handphone miliknya.
Setelah handphone miliknya berada di tangan, ia pun mulai menekan tombol terima telpon karena sebelumnya ia sudah melihat siapa nama penelpon itu.
"Sayang... kamu kok lama banget jawab telpon ibunya. Hm... sesibuk itu kah?" suara nyonya Wija di sebrang sana.
"Maaf bu, Satria nggak lagi pegang handphone, jadinya lama jawab telpon ibu. Maaf." ucap Satria yang tak mau berdebat terlalu lama dengan ibunya karena jika ia lama untuk meminta maaf. Kalian pasti tahu akan seperti apa nanti telpon ibunya ini.
Yang jelas nanti telpon ibunya akan terus berlangsung tanpa henti sampai ia meminta maaf pada ibunya.
Sehingga Satria pun hanya bisa berinisiatif sendiri untuk segera meminta maaf pada ibunya ini.
"Hm... pertanyaan ibu yang satunya lagi, kenapa kamu nggak jawab? kamu lagi sibuk kah?" ucap nyonya Wija protes karena pertanyaan intinya tak Satria jawab.
Ntahlah, karena Satria lupa atau memang sengaja nggak ia jawab dan yang tahu hanya lah Satria saja.
"Hm... Aku jawab apa ya, kalau aku jawab sibuk nanti pasti ibu akan beralasan tapi kalau bilang nggak sibuk juga akan sama. Ck... Sulitnya aku untuk menjawab pertanyaan ini saja." ucap Satria yang malah terdiam dan sibuk berbicara dalam hatinya.
Hal ini membuat nyonya Wija tak sabar dan kembali mengeluarkan suaranya lagi.
"Sayang kamu kok malah diem sih. Jawab pertanyaan ibu, kalau kamu nggak jawab sekarang, ibu akan..." ucap nyonya Wija yang sudah tak sabar menunggu, sampai-sampai ia berniat untuk memberikan ancaman jika Satria putranya itu tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Namun, sebelum ancaman itu keluar dari ibunya, Satria yang terdiam pun segera menjawab.
"Sebentar bu, aku barusan diam karena sekalian lihat-lihat dokumen dulu. Ada berapa yang belum dan ada berapa yang udah. Bukan nggak mau jawab." ucap Satria yang beralibi.
"Pintar juga putra ku ini beralibi." ucap tuan Wija yang tak sengaja mendengar percakapan ibu dan putranya itu.
Sebenarnya bukan sengaja, tapi memang semua percakapan diantara ibu dan putranya itu semua ia dengar, karena nyonya Wija mengeraskan volume suara telponnya.
Sehingga tuan Wija pun pasti mendengar percakapan itu dan tentunya ia bukan menguping pembicaraan.
"Hm... gitu ya, terus jawabannya apa?" ucap nyonya Wija yang masih menuntut jawaban pada putranya.
"Setelah Satria lihat barusan, masih ada beberapa dokumen yang belum selesai bu. Jadi Satria rasa masih agak lama buat selesai." ucap Satria akhirnya menjawab pertanyaan ibu nya itu.
"Apa nggak bisa di percepat untuk selesai sayang?" ucap nyonya Wija.
"Kenapa gitu bu?" bukannya menjawab Satria malah bertanya pada ibunya tersebut.
"Ck... kebiasaan ya kamu, padahal tinggal jawab tak perlu bertanya lagi." ucap nyonya Wija yang sudah tak bisa menahan lagi untuk mengeluarkan kekesalannya itu pada putranya.
"Maaf bu, sepertinya nggak bisa di percepat. Kalau ibu tak percaya aku bisa memanggil Gani biar ibu percaya jadwalku padat hari ini." ucap Satria yang malah mengkambing hitam kan Gani.
"Ck... sudahlah tak perlu, kalau sudah selesai langsung pulang. Jangan kelayapan apalagi jangan sampai lembur. Kamu harus jaga kesehatan, jangan sampai sakit saat nanti kamu nikah." ucap nyonya Wija yang langsung mematikan telponnya tanpa menunggu jawaban Satria.
Sementara Satria yang mendengar ucapan ibunya tersebut. Malah menjauhkan handphone miliknya karena suara ibunya yang begitu keras.
Sehingga walau dijauhkan ia tetap mendengar ucapan ibunya itu. Setelah tak ada suara dari ibunya. Ia pun berniat untuk menjawab. Namun di saat ia akan menjawab, tiba-tiba ia mendengar suara telpon itu dimatikan sepihak oleh ibunya.
Tut...
Suara telpon pun mati, Satria yang mendengar langsung refleks menggelengkan kepalanya dengan tingkah ibunya ini.
"Ck... kebiasaan sekali, belum juga dijawab udah ibu matikan telponnya." ucap Satria pada dirinya sendiri.
Sementara tuan Wija yang melihat kemarahan istrinya setelah menelpon putranya itu pun mulai memutar otaknya agar tak salah berbicara. Karena jika salah, ia yang akan menanggung akibatnya.
"Gawat nih, istriku mulai meletup-letup amarahnya. Jangan sampai aku salah bicara nanti saat istriku ini berbicara. Bisa gawat kalau salah." ucap tuan Wija di dalam hatinya mulai resah dan khawatir.
"Ck... kamu dengar kan yah, putramu itu sungguh menyebalkan!! kalau bukan Putra ku juga. Sudah aku kunci dia di gudang." ucap nyonya Wija yang sedang marah.
"Loh bu, kenapa di kunci digudang?" ucap tuan Wija bertanya walau sebenarnya ia merasa was-was takut ia salah bertanya atau berucap.
"Iya kan buat putra ku itu nggak bisa kemana-kemana. Dulu aja waktu dia kecil, dia kan paling takut kalau aku bilang mau kunci dia di gudang. Terus dia langsung nurut. Kalau sekarang mana bisa kaya gitu." ucap nyonya Wija yang malah sedikit kurang nyambung dengan ucapannya sebelumnya.
"Sebenarnya ucapan istriku itu agak kurang nyambung, tapi ya sudah lah aku jawab saja. Daripada nanti aku yang kena marah." ucap tuan Wija yang mulai merasa ada keanehan dalam jawaban istrinya barusan. Namun, ia masih bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa.
"Iya juga ya bu, dulu kamu sering memberi ancaman itu pada putra kita. Terus dia nurut, tapi kalau sekarang sepertinya itu sudah tak berlaku lagi." ucap tuan Wija yang langsung menjawab setelah sebelumnya ia berkata pada dirinya sendiri.
"Makannya itu yah, ibu udah nggak bisa seperti itu lagi. Kalau bisa besok putra mu itu, jangan pergi ke kantor. Udah waktunya diam di rumah, lusa kan dia nikah. Masa terus kerja, nggak baik kalau seperti itu." ucap nyonya Wija mengingatkan tuan Wija. Namun, sepertinya bukan hanya mengingatkan tetapi ini suatu peringatan untuk tuan Wija agar ia bisa melarang putranya itu untuk tak pergi ke kantor besok.
"Baiklah, ayah akan melarangnya." ucap tuan Wija yang pada akhirnya langsung menyetujui perkataan istrinya ini.
"Ibu pegang ya ucapnya ayah ini. Kalau sampai besok, putra mu itu tak ada di rumah dan malah pergi ke kantor. Awas aja, besok kamu yang akan kena hukuman." ucap nyonya Wija penuh dengan penekanan disetiap kata yang ia ucap kan itu.
"Ck... aneh sekali yang pergi putranya yang di hukum malah aku ayahnya. Istriku ini memang unik." ucap tuan Wija di dalam hati nya.
"Iya bu, ayah siap menerima hukuman ibu. Jika putra kita tak ada di rumah besok." ucap tuan Wija akhirnya mengalah.
"Oke, ibu pegang ucapan ayah ini." ucap nyonya Wija lagi.
"Huh... sebenarnya ini nggak adil buat ku, tapi ya mau gimana lagi. Kalau aku membantah, sudah pasti aku yang akan kena imbasnya. Jadi ya sudah, aku terima saja. Mau membantah atau pun menerima tetap aku juga yang akan kena. Nasib... Nasib..." ucap tuan Wija di dalam hatinya.
Bersambung...