Turun Ranjang
Fawwas, seorang dokter ahli bedah tidak menyangka harus mengalami kejadian yang menyenangkan sekaligus memilukan dalam waktu yang bersamaan. Saat putrinya dilahirkan, sang istri meninggal karena pendarahan hebat.
Ketika rasa kehilangan masih melekat, Fawwas diminta untuk menikahi sang adik ipar. Dia adalah Aara, yang juga merupakan seorang dokter kandungan. Jelas Fawwas menolak keras, belum 40 hari istrinya tiada dia harus menikah lagi. Fawwas yang sangat mencintai istrinya itu bahkan berjanji untuk tidak akan menikah lagi.
Tapi desakan dari keluarga dan mertua yang tidak ingin cucu mereka diasuh oleh orang lain membuat Fawwas terpaksa menerima pernikahan tersebut. Terlebih, itu juga merupakan wasiat terakhir dari sang istri meskipun hanya tersirat.
Bagaimana Fawwas menjalani pernikahan nya?
Apakah dia bisa menerima adik iparnya menjadi istri dan ibu untuk putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IB 26: Mari Pacaran
Fawwas merebahkan Aara di tempat tidur, saat ia hendak menyelimuti Aara, tiba-tiba ia bangun. Aara tersentak mengetahui dirinya sudah berada di kamar. Ia memijat kepalanya yang terasa berdenyut.
" Sssshhh," desis Aara. Setelah sekian lama baru kali ini dia merasa pusing lagi.
" Ra, apa kepalanya sakit? Apakah pusing? Apakah sangat tidak nyaman? Ayo kita ke rumah." Fawwas bertanya secara beruntun, mimik wajahnya menampakan kekhawatiran yang mendalam. Aara tentu tidak menyangka dirinya akan mendapatkan perhatian seperti itu. Tapi tentu saja Aara tidak mau terlalu percaya diri. Lagi-lagi dia mencoba membuat hati nya untuk tidak luluh.
" A-aku baik-baik saja kak. Mungkin karena tadi lupa makan siang, jadi pusing. Maafkan sudah merepotkan Kakak. Pasti tadi Kak Fawwas harus bersusah payah untuk menemui ku di pusat perbelanjaan, maafkan membuatmu malu."
Deg!
Kata-kata Aara membuat Fawwas terhenyak. Ia tidak menyangka bahwa wanita yang saat ini terbaring pucat itu memiliki pemikiran tersebut kepadanya. Dalam hati Fawwas berkata," Apakah aku sudah berbuat kejam selama ini kepada Aara sehingga dia pun merasa begitu terhadapku?"
Fawwas memejamkan matanya, ia mengambil nafasnya dalam-dalam. Salah, dia mengakui dirinya sangat bersalah kepada wanita yang bahkan tidak berdosa sama sekali terhadapnya. Meskipun pernikahan mereka bukanlah keinginan mereka, tapi sikapnya terhadap Aara sungguh tidak bertanggung jawab. Fawwas lalu mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Aara dengan lembut.
" Maafkan aku." Akhirnya kata itu meluncur juga dari bibirnya. Aara tentu terkejut, ia tidak mengerti mengapa Fawwas tiba-tiba meminta maaf. Saat ia hendak menanggapi permintaan maaf dari Fawwas, pria itu lebih dulu mengucapkan sebuah hal yang membuatnya kembali lagi terkejut.
" Aku sungguh bersalah padamu Ra. Tidak seharusnya aku acuh terhadapmu, tidak seharusnya aku bersikap dingin. Seharunya aku berterimakasih padamu, apa yang kamu lakukan untuk Neida bahkan aku tidak akan bisa membalasnya. Aku terlalu naif, aku terlalu egois karena hanya memikirkan diriku sendiri. Aku melupakan fakta bahwa kamu adalah korban yang sesungguhnya. Aku sungguh minta maaf, bisakah kamu memaafkan ku?"
Aara membulatkan matanya, dari posisi berbaring dia mengubahnya menjadi posisi duduk. Aara menatap dalam ke arah mata Fawwas, ia mencoba menyelami apa yang dirasakan oleh pria tersebut. Dan, satu hal dia dapatkan bahwa Fawwas mengatakan semuanya itu dengan tulus. Dia bukanlah berpura-pura ataupun hanya sekedar menenangkan dirinya.
" Mungkin ini terkesan tiba-tiba, tapi apakah kau mau memulai ini dari awal. Jujur mungkin aku tidak akan bisa melupakan Aira, tapi sepertinya dia memang menginginkan kita bersama. Jadi, apakah kau mau membantu ku kembali hidup dan mati saling menyembuhkan luka karena kepergian orang yang sama-sama kita cintai dan sayangi. Mari besarkan Neida bersama."
Doeeeenggg
Telinga Aara seperti mendengar suara gong yang begitu keras. Matanya membelalak dan jantungnya berdebar begitu cepat. Bukan hanya itu, tubuh Aara bergetar. Kata-kata Fawwas membuatnya tidak bisa berkata apapun. Ia tidak tahu apa yang saat ini dia rasakan. Dia tidak tahu harus bagaimana menjawab apa yang Fawwas katakan. Pikirannya kalut, hatinya berantakan. Di satu sisi ada rasa yang membuncah tapi di sisi lain ada rasa bersalah. Dia merasa seperti seorang pengkhianat karena merasa senang dengan ungkapan pria yang dulunya adalah suami dari kakaknya.
" Ra, katakan sesuatu. Apakah permintaanku ini terlalu berat untuk mu?" ucap Fawwas, dia tidak tahu harus bagaimana mengartikan ekspresi Aara yang sedemikian itu.
" Bukan Kak! Bukan begitu, hanya saja ... hanya saja ... aku, aku seperti mengkhianati Mbak Aira, aku seperti merebut mu dari Mbak Aira," lirih Aara. Ia memegang kerah bajunya dengan erat. Rasa sesak kini ia rasakan di dada.
Greb
Fawwas langsung merengkuh tubuh sang istri, kini dia tahu persis apa yang Aara rasakan. Sebenarnya bukan hanya Aara yang merasakan perasaan tersebut, ia pun merasakan itu juga.
" Ra, Aira sudah tidak ada. Kamu bukan berkhianat. Aku juga tidak. Seperti yang aku katakan bahwa aku tidak mungkin bisa melupakan Aira, dia akan selalu ada di dalam sudut hatiku terdalam. Akan tetapi, saat ini kita yang masih hidup ini bukankah harus melanjutkan hidup. Bahkan Aira sendiri yang meminta mu untuk menjaga Neida dan aku. Jadi, mari kita melakukan amanat dari nya. Ra, apakah kamu mau menjalani semuanya bersamaku? Mari kita mulai dari awal."
Aara mengangguk di dalam pelukan Fawwas, air matanya luruh. Secuil harapannya untuk bisa menjalani pernikahan sebagaimana mestinya kini akan terwujud, meskipun dia tidak akan tahu bagaimana kedepannya, tapi bolehkah saat ini dia merasa bahagia? Seperti itu lah yang Aara rasakan.
Tangan Aara mengulur, mendekap tubuh Fawwas degan erat. Ia merasakan kehangatan yang selama ini belum pernah ia rasakan. Sebuah ciuman lembut dari Fawwas mendarat di pucuk kepala dan juga keningnya.
" Sekali lagi,aku minta maaf telah membuatmu kesulitan selama ini. Jadi, setelah kita pulang ke rumah nanti maka kau harus pindah ke kemar ku. Mari kita mulai membiasakan diri untuk berdekatan satu sama lain. Mari kita pacaran, bagaimana Ra?"
" Eeh, tapi ..."
Aara sebenarnya bingung, pindah ke kamar atau dengan kata lain mereka akan berbagi kamar maka itu berarti semua kegiatan akan terlihat satu sama lain. Saat dia menyusui Neida pun berarti Fawwas akan melihatnya. Wajah Aara bersemu merah saat membayangkan hal tersebut, tapi dia menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia meyakinkan kepada dirinya sendiri bahwa semuanya tidak akan sehoror yang dibayangkan.
" Pacaran, ya baiklah. Mati kita pacaran " sahut Aara. Pada akhirnya poin itu yang dia fokuskan. Mereka baru akan memulai, jadi Aara mengesampingkan urusan kamar yang saat ini lumayan mengganggu pikirannya.
TBC
kita pasti bisa...
memang betul trauma seseirqng akan susah untuk di lupakan...memakan waktu...
itu juga ku alami sendiri,sampai skrng masih harus pergi kaunseling..untuk menyembuhkan rasa trauma yg sdh 2 thn lbh...hhuuuffzz.../Sweat/
skrng tugasmu untuk memulihkan keadaan...
turun ranjang bro...