Zanna Kirania mendapatkan seorang kakak laki-laki setelah ibunya menikah lagi. Dia jauh dari bayangan Zanna tentang seorang kakak. Cuek, dingin, tidak peduli dan kasar.
Semua berubah saat mereka saling mengenal satu sama lain dan akhirnya menjadi seperti sebuah keluarga yang bahagia. Tapi itu tak lama sampai kedua orang tua mereka meninggal karena kecelakaan. Lalu Kiran mendengar kakaknya menyalahkan ibunya karena membuat ayahnya meninggal. Kiran yang marah memutuskan untuk pergi dari rumah untuk tinggal dengan bibinya di kota lain.
Mereka terpaksa bertemu setelah 7 tahun kemudian, karena pekerjaan baru Kiran. Pertemuan itu mengejutkan Kiran, karena yang menunggunya di rumah adalah seorang pria dewasa yang sangat tinggi dan tampan. Benarkah dia kakaknya yang dulu?
Apakah mereka akan menjalin hubungan sebagai keluarga lagi atau malah sebagai sepasang kekasih? Apa boleh Kiran mencintai seseorang yang dulu dibencinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena Prasetyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
"Semuanya baik Mas Dhika. Hasil panen sesuai perkiraan dan gak ada yang meleset. Mudah-mudahan. Kemaren ada mahasiswa kesini mau ijin praktek. Suratnya saya taruh di meja Mas Dhika. Mas Dhika?"
Dhika menoleh setelah dua atau tiga kali dipanggil oleh pak Agus. Hari ini dia seharusnya melakukan kunjungan ke perkebunan tapi pikirannya tertinggal di rumah.
"Maaf Pak. Saya ... "
"Mas Dhika mikir apa? Apa mikir jodoh?" tanya pak Agus membuatnya tersenyum.
"Nggak Pak. Cuma banyak pikiran"
"Apa yang dipikir sama Mas Dhika? Sekarang kan Mas Dhika udah sukses. Rumah ada, kendaraan ada, tabungan ada. Cuma satu yang belum ada, istri"
Dhika kembali tersenyum mendnegar kata-kata pak Agus. Tapi dalam hati dia merasa bersalah. Dia memiliki semuanya tapi membiarkan Zanna hidup dalam kesusahan dan kesedihan. Sungguh ... hatinya masih terasa sakit sampai sekarang mengingat adiknya yang harus bekerja keras dari usia semuda itu.
Setelah memeriksa perkebunan dan juga lahan baru yang diusulkan Ryan untuk dibeli, Dhika pulang ke rumah. Dia sampai sebelum sore menjelang dan terkejut dengan kehadiran orang yang duduk dengan menyilangkan kaki di ruang tamunya.
"Pakdhe" sapanya.
"Kamu dari kebun?"
"Iya"
Sebenarnya Dhika tidak suka menerima kehadiran orang ini. Karena dia tahu tujuan orang ini setiap kali menemuinya.
"Pakdhe kemaren ke rumah anak itu"
Lagi-lagi, saudara ayahnya ini membahas tentang rumah Zanna.
"Itu rumah Zanna Pakdhe"
"Lha terus kenapa tukang suruhan kamu ada di rumah itu? Apa kamu mau renovasi rumah itu? Berarti rumah itu sudah kamu beli?"
Berapa kali Dhika menjelaskan sepertinya tidak membuat saudara ayahnya ini mengerti. Atau sebenarnya mereka mengerti tapi memaksakan pendapat hanya untuk mendapatkan sesuatu.
"Pakdhe!! Dhika sudah bilang berapa kali. Itu rumah Zanna. Rumah peninggalan kakeknya dan bukan milik ayah!"
"Pakdhe gak percaya. Kamu pasti nunggu waktu yang tepat buat renovasi rumah itu lalu memberikannya pada anak itu"
"Apa sebenarnya yang pakdhe mau?!" bentak Dhika tidak bisa menahan amarah
"Kalo sampe pakdhe tau rumah itu warisan Burhan. Maka anak itu harus pergi dari sana. Kami, saudaranya yang berhak atas rumah itu" teriak pakdhe tidak kalah keras.
Warisan, warisan, dan warisan. Hanya itu saja yang selalu dipikirkan oleh pakdhe dan Budhe Dhika. Mereka tidak peduli dengan semua yang sudah mereka ambil dan habiskan selama ini.
"Cukup!!"
Kali ini Dhika memakai suaranya yang dalam dan menakutkan untuk menghentikan sauadara ayahnya ini.
"Kamu berani bentak Pakdhe? Pakdhe ini kakak ayahmu. Gimanapun kami ini satu-satunya saudara kamu. Bukan anak itu"
Sungguh. Dhika tidak bisa menahan amarahnya lagi sekarang. Dia menunjuk ke arah pintu dan tanpa kata, Dhika meminta saudara ayahnya itu untuk keluar.
"Sebelum aku tidak mengakui kalian sebagai saudara ayah" katanya mengancam.
Tanpa diminta untuk kedua kalinya, saudara ayahnya itu keluar dari rumah. Dhika berusaha menenangkan diri dari amarah yang terlanjur muncul di dalam dadanya. Tak lama, dia memutuskan untuk berenang. Setidaknya dia bisa mendinginkan kepalanya yang serasa mau meledak itu.
"Baru pulang Mba Zanna?" tanya penjaga rumah kak Dhika saat dia baru saja turun dari ojek online.
"Iya Pak"
"Mba Zanna mending jangan masuk rumah dulu"
"Apa? Kenapa?"
"Pak Radhika masih ada tamu"
"Ohh gitu?" Kiran melongok ke dalam pagar lalu melihat sosok orang yang tidak bisa dilupakannya. Bukankah itu? Kiran tidak akan pernah melupakan sosok yang menghina Ibu dan Bibinya itu.
"Dasar anak gak tau diri. Untung aku usir anak tiri Burhan dari Malang. Kalo gak punya apa kamu sekarang? Ponakan bodoh. Sekarang malah bantuin perempuan itu benerin rumah. Anak perempuan itu cuma mau manfaatin harta kamu. Sialan!"
Kiran mendengar jelas semua ocehan saudara ayah Burhan dari sini.nDia tidak tahu kalau ternyata kehadirannya di Malang dan rumah ini menjadi masalah untuk kak Dhika. Padahal dia hanya ingin kembali ke kampung halamannya setelah sepuluh tahun. Tak lama setelah pakdhe kak Dhika pergi, Kiran masuk ke dalam rumah. Dia mengganti pakaian dan keluar dari kamar. Mencari kakaknya yang dari tadi tidak terlihat dimanapun.
Lalu dia menemukan kak Dhika. Sedang memecah air dengan kayuhan tangan dan kakinya. Kiran duduk di pinggir kolam dan mengamati gaya kakaknya yang berenang dengan lancar. Sejak dulu orang ini memang suka sekali berenang. Mungkin itu sebabnya tubuh kak Dhika sangat tinggi, berbeda dengannya yang berhenti tumbuh setelah mencapai seratus enam puluh senti. Setelah berenang dari ujung ke ujung sebanyak empat kali, akhirnya kak Dhika menyadari kehadiran Kiran.
"Kamu udah pulang?"
Kak Dhika menghampirinya yang duduk dengan memasukkan kaki ke kolam.
"Iya, barusan"
"Apa kamu mau berenang?"
"Gak ah" jawabnya singkat.
"Apa kamu gak bisa berenang?" tanya kak Dhika meremehkan.
"Idiih, menghina"
Padahal Kiran memang tidak bisa berenang. Dia pernah belajar berenang saat SD dulu. Setelah pindah ke Jakarta dia tidak memiliki waktu untuk melakukannya dan semua keahlian berenangnya menguap entah kemana. Sekarang dia benar-benar tidak bisa melakukannya.
"Coba turun kesini!" kata kak Dhika yang semakin mendekat ke arahnya. Kiran sudah mengambil ancang-ancang siap melarikan diri tapi kurang cepat dengan gerakan kak Dhika.
Tubuhnya berhasil ditarik masuk ke dalam kolam dan dia mulai panik. Dia menggapai sesuatu dan berhasil mengangkat kepalanya keluar dari air. Napasnya berlari menunjukkan kalau Kiran terkejut bercampur takut sekali.
"Dasar jahat!" katanya pada orang yang sekarang menjadi pelampungnya itu.
"Kamu gak bisa berenang? Dulu bukannya bisa?"
"Udah gak bisa lagi. Duhhh mana dalem banget ini kaki Kiran gak sampe" katanya berusaha mencari tahu tinggi kolam dengan menggapai dasarnya. Tapi percuma, kakinya tidak bisa mencapai dasar.
"Ini dua meter"
"Gila. Cepet ke pinggir!" pintanya tapi kak Dhika tidak bergerak sama sekali. Orang itu malah tertawa karena Kiran memeluknya begitu erat. Sebenarnya dia malu memeluk tubuh kakaknya yang setengah telanjang itu. Tapi mau bagaimana lagi. Nyawanya lebih penting dari rasa malu.
"Kamu beneran gak bisa berenang sekarang?"
"Beneran! Kak Dhika cepet ke pinggir dong"
"Kalo kakak gak mau?"
Kiran melonggarkan pelukannya lalu menatap mata kak Dhika yang sekarang berada sejajar dengannya. Orang ini sepertinya benar-benar tidak mau membantunya. Dia melihat pinggir kolam yang tidak begitu jauh lalu melepas pegangannya. Berusaha untuk menggapai pinggir kolam tapi tubuhnya sangat berat. Dia tenggelam selama beberapa detik sebelum kak Dhika memegang tubuhnya lagi.
"Udah Kiran bilang kan!" katanya kesal tapi tetap memegang lengan kak Dhika erat-erat.
"Aneh sekali. Dulu kamu mirip katak"
"Sialan!" Kiran memukul dan menendang kakaknya di dalam air lalu mengenai sesuatu yang seperrtinya bagian pribadi orang itu.
"Aduhh" keluh kak Dhika lalu menatapnya tajam.
"Makanya cepet bawa aku ke pinggir. Mulai dingin nih"
Tanpa berkata apa-apa, kak Dhika menyeret Kiran ke pinggir kolam lalu mengangkat tubuhnya. Kiran berhasil duduk di pinggir kolam dan bersyukur tidak tenggelam lagi. Lalu dia mengalami sesuatu yang membuatnya kehabisan napas seperti tenggelam.
Tanpa aba-aba, kak Dhika juga mengangkat tubuhnya ke pinggir kolam.Tepat di sebelahnya. Membuat Kiran bisa melihat setiap tetes air yang menetes di dada dan perut telanjang kakaknya. Dia membuang muka dan berusaha menenangkan diri. Kenapa dia merasa seperti ini karena melihat tubuh kakaknya? Bukannya dulu dia juga sering melihat kak Dhika tidak memakai baju dan berkeliaran di rumah? Ini tidak benar. Sepertinya Kiran harus segera kembali ke rumahnya dan menjauh dari kak Dhika.