Lyra tak pernah menyangka akan masuk ke dalam sebuah drama pernikahan bersama seorang laki-laki bernama Wira. Impian Lyra hancur ketika statusnya berubah menjadi seorang istri. Karena suatu kejadian, Wira dan Lyra terpaksa menikah.
Lyra merasa aneh saat lelaki itu tidak pernah mengungkapkan cinta padanya, namun berkata tidak akan pernah melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkiTa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 25
Antara percaya dan tidak dengan yang di ucapkan suaminya tadi, Wira mengatakan jika Lyra tidak bisa di bandingkan dengan apapun bahkan berlian dan permata pun tak sebanding dengannya. Gombalan maut, mematikan, tepat sasaran langsung menancap ke jantung. Buktinya saat ini Lyra berdebar tidak karuan, apalagi di tatap sedemikian dalamnya. Sebenarnya, Lyra masih tidak percaya kalau lelaki itu mulai jatuh hati padanya, cinta dan perasaan seperti itu tak mungkin datang secepat itu kan?
“Mas Wira emang jago gombal, itu lidah nggak terkilir apa? bisanya ngegombalin aku terus?” Lima menit sudah Lyra membiarkan lengan Wira merangkulnya, namun kini ia tepis lagi. Lyra mengelus dadanya, dia tidak boleh terpengaruh dengan segala ucapan lelaki play boy ini, apalagi si mantan yang begitu cantik, apa secepat itu move on dan melupakan?
“Aku nggak gombal, apa yang aku ucapkan dari mulut aku, itu otomatis dari sini, Lyra.” lagi-lagi Wira menunjuk ke dadanya, dari dalam hati kah maksudnya?
“Mantan Mas Wira cantik banget, apa semudah itu kamu ngelupainnya?”
Hening seketika saat Lyra melontarkan pertanyaan itu. Wira hanya terdiam, tanpa berani membalas tatapan istrinya. Hampir dua menit, tanpa jawaban.
“Mas Wira nggak bisa jawab kan? itu artinya apa? artinya kamu belum move on, Mas.” Lyra menghela napas kasar. Ia memilih bangun, dan keluar kamar. Mereka asyik mengobrol dan berdebat hingga tak sadar waktu sholat maghrib hampir selesai.
“Aku sedang belajar, belajar move on, melupakan masa lalu... nggak cuma soal Hanna tapi juga tentang dosa-dosaku di masa lalu, Lyra. Aku tau kamu sulit percaya, tapi aku hanyalah hamba Allah yang sedang berusaha, mengembalikan kepercayaannya padaku...”
Wira pun ikut berdiri, Lyra masih diam namun pendengarannya ia pergunakan dengan baik untuk mencerna setiap kata dari Wira.
“.... cuma kamu yang bisa buat aku begini, aku udah berkelana jauh. Banyak perempuan yang aku temui, kenal, hingga dekat. Tapi kenapa dengan kamu yang belum genap dua minggu, aku bisa seperti ini? aku juga nggak tau jawabannya kalau di tanya kenapa. Ku rasa juga wajar kalau kamu nggak percaya, karena ini terlalu cepat. Mungkin, kamu memang bidadari yang dikirim oleh-Nya untuk mengubahku, Lyra.”
Lelaki ini manis sekali kata-katanya, hingga Lyra yang hobinya berdebat dan mematahkan setiap kata-kata Wira seperti biasanya. Kini hanya mampu diam. Lidahnya kelu, tak mampu berucap. Tapi di dalam sana ada yang bergemuruh hebat, hati dan perasaannya di obrak-abrik oleh setiap kalimat yang di ucapkan suaminya barusan.
“Mas kalau boleh tau, dulu waktu sekolah, berapa sih nilai bahasa Indonesianya, kok jago banget merangkai kata? dek Lyra kan jadi luluh kalau terus-terus begini.”
Akal sehat Lyra benar-benar hilang, dan seketika wanita itu kabur. Berlari kecil menuju kamar mandi di rumah itu. Meninggalkan Wira yang masih bingung, antara gemas dan lucu menyaksikan reaksi Lyra barusan.
Apa katanya? Dek Lyra? Ya ampun jadi pingin cipokinn bibirnya sampe pingsan.
*
🌸🌸🌸
“Mas mau mandi atau makan dulu? kita nginap disini aja kan? kalau mau mandi biar aku siapin air hangatnya, oh iya kamu bisa pake baju Alhmarhum Ayah, sebentar aku ambil.”
Keduanya sudah menyelesaikan sholat maghrib, masing-masing tanpa berjama’ah. Wira sudah melepaskan kemejanya, gerah. Apalagi tidak ada pendingin ruangan di kamar Lyra. Hanya ada kipas angin.
“Iya, nginap disini, mandi aja dulu ntar baru makan.”
Lyra sedang berada di kamar sebelah, kamar Ibu. Membuka lemari pakaian, milik almarhum Ayah nya, meraih sebuah kaos yang biasa di pakai dirumah, serta satu kain sarung. Tiba-tiba ia terkekeh geli membayangkan lelaki itu memakai sarung, belum pernah melihat sebelumnya.
“Nih pake aja Mas, tapi dalamannya, gimana ya?”
“Nggak usah di pake lah, biar gampang. Apalagi pake sarung gitu, uh seru kayaknya.” Mesum mode on, alisnya turun naik menata Lyra.
“Ih... bisa nggak sih, sehari aja. Nggak usah bahas itu.” Lyra kabur keluar, untuk menyiapkan air hangat. Meski cuaca sedikit panas, Lyra tetap menyiapkan air hangat seperti biasa, katanya mandi air hangat bisa melepas penat dan lelah.
Sementara Wira yang masih di dalam kamar, senyum-senyum sendiri persis seperti pasien-pasien dokter spesialis kejiwaan yang pernah ia lihat di gedung sebelah rumah sakit.
Fix Lyra bikin gue gila lama-lama.
Dua jam berlalu, suara gemercik air hujan yang perlahan turun, membasahi atap rumah, semakin lama semakin deras. Siapa sangka, cuaca memang suka berubah-ubah, pagi hujan, siang panas terik, dan malamnya kembali hujan. Cuaca kota Jakarta sedang mirip dengan suasana hati Lyra yang kadang panas juga kadang sejuk.
“Mas Wira...”
Lyra yang tengah berada di bawah ketiak suaminya, mendongakkan sedikit kepalanya untuk menatap wajah lelaki itu. Diantara mereka tidak ada yang mau mengalah untuk tidur di bawah, padahal ranjang ini cukup sempit untuk mereka berdua. Alhasil, jadilah mereka berbaring namun tak terpisahkan, kalau kata Wira, yang sempit itu memang asyik.
“Hem... besok kita beli tempat tidur baru ya untuk kamar ini.” Wira langsung menyahut, tanpa bertanya apa yang hendak diucapkan Lyra.
“Iya, Mas aku mau cerita, hari ini aku dapat dua kabar, satu baik satu buruk.” Lyra ingin berbagi, apapun hal yang ia alami di luar sana, kepada Wira, si suami yang mengaku tengah memperbaiki diri. Tidak ada salahnya kan ia berbagi layaknya seorang istri sungguhan yang ingin curhat pada suami.
“Buruknya dulu, apa sayang?”
“Aku di pecat dari kafe tempat aku kerja selama ini, padahal aku senang banget kerja disana, sejak hari dimana kita ketemu di rumah sakit, aku minta izin sampe lupa keterusan nggak masuk-masuk lagi, tadi manajernya nelpon katanya aku resmi di pecat.” raut wajah Lyra cukup sendu saat bercerita.
“Itu bukan kabar buruk, tapi kabar baik buat aku, lagian buat apa kamu kerja di kafe pula. Kalau rekan-rekan Ayah ada yang ngeliat kamu disana, siapa yang malu?”
“Iya-iya, kok ngegas sih ngomongnya, biasa aja kali.” Lyra mengubah posisinya, telentang. Merasa sesak, tubuhnya terhimpit oleh badan Wira yang besar.
“Terus kabar baik versi kamu, apa?”
“Selasa depan, aku sidang skripsi, Mas. do’ain ya.”
“Serius? sebentar lagi wisuda dong, jadi kurang-kurangi kegiatan di luar. Congrats ya... aku do’ain yang terbaik buat kamu.” kecupan hangat mendarat di kening Lyra.
“Makasih Mas,” Lyra hanya membalas dengan senyuman.
“Di luar hujan makin deras, kayaknya lama-lama dingin deh.” lengan kanan Wira melingkar sempurna di perut Lyra.
“Oh iya, sebentar aku ambil selimut. minggir dulu, Mas.”
“Aku nggak butuh itu, aku butuh kamu.”
Wira membenamkan wajahnya ke leher Lyra yang ingin sekali berteriak karena kegelian.
“Mas, serius aku bilang. Ini kasur bakal berisik kalau kita—“
“Tapi di luar hujan, nggak bakal kedengaran sama Ibu, apalagi sama tetangga. Kamu tenang aja.”
“Nggak mau!!”
Untuk pertama kalinya Lyra menolak mentah-mentah ajakan suaminya yang tidak tau tempat. Entahlah, Lyra merasa tidak nyaman saja jika mereka melakukan itu disini, di kamar ini. Kamar Lyra sejak kecil, remaja, hingga dewasa dan kini harus membuat kenangan bersama orang asing, tidak... bersama suami dadakannya.
“Tahan dulu Mas, nanti aja di rumah baru!!”
Lyra masih memberontak, bicara soal rumah baru, mereka sepakat untuk pindah dalam waktu secepatnya. Paling tidak dalam minggu ini juga mereka pindah ke rumah Wira yang katanya agak jauh dari tempat kerjanya.
“Jangan gila kamu sayang yang benar aja, itu masih berapa hari lagi? nyiksa suami, di kutuk malaikat, mau?”
“Nggak apa-apa deh, sekali aja. Maaf Mas, jangan pokoknya jangan!!” Lyra setengah berteriak, menolak keras. Wira tidak peduli.
Maaf baru up 🙏