Bukan Sekedar Murid Biasa

Pagi telah tiba, semua berpamitan pulang, karna tidak enak pada Indah. Padahal Indah sudah mempersilahkan mereka jika mau menginap lebih lama. Tapi semua menolak dengan halus. Jadi ya, sekarang ini, Indah sedang mengantar semua orang menuju halaman depan untuk berpamitan.

"Sudah semua? Hp, charge?" Tanya Indah memastikan.

"Sudah kok." Jawab Gea.

"Pa, aku di tinggal aja, ya?" Izel meminta izin. Memelas dengan wajah yang imut itu.

"Heh siput! Jangan ngerepotin Kak Indah. Udah ayo pulang!" Ucap Ethan mencubit pipi Izel, Lalu menarik perlahan lengan adik kandungnya itu.

"Mas, gapapa.. Aku malah seneng ada temen disini. Biarin Izel nginep yah? Berapa hari, gitu.." Pinta Indah. Jujur dia sangat kesepian di rumah ini. Hari–hari selalu dia habiskan di kampus, atau ke Timezone untuk sekedar cuci mata. Ya, melihat anak–anak yang bersorak riang gembira, saling menghambur pelukan pada orang tuanya, keluarga cemara.. Membuat Indah ingin seperti itu juga suatu saat nanti. Semoga.

"Kalo gitu aku juga ikut." Ucap Ethan tiba–tiba. Mendengar itu, semua orang melirik Ethan dengan tatapan ingin memangsa (rawrr).

"Ngapain? Hayoo anak bujang Mama, Istighfar lu!" Kata Gea, sembari memukul lengan anaknya itu. Dan di susul mencubit roti sobek yang terbungkus kaos oblong berwarna hitam itu. Serasi dengan kulitnya yang putih bersih.

"Mama! K–kan aku mau jagain Izel!" Alasan bae si Ethan.

"Kerjaan nunggu, Ethan. Ayo pulang sekarang. Katanya mau ngumpulin modal nikah?" Ujar John yang membuat Ethan terbelalak. Benar juga.

"Yaudah, Izel nginep semalam lagi ya? Boleh kan Ndah?" Tanya Gea.

"Mah! Bentar amat semalam, tujuh hari tujuh malam wes. Gimana?" Nego Indah. Sejak memutuskan menuju ke hubungan yang lebih serius, Gea meminta Indah untuk memanggilnya Mama.

"Kalau kamu gak keberatan ya gapapa sayang." Ucap Gea tersenyum, sembari menatap Indah dan Izel bergantian.

"YESSSSS!! MAKAN MIE AYAM TIAP HARI!" Teriak Izel.

"Ayo pulang kalo gitu." Gea menatap tajam anak gadisnya.

"Eh Mama.. Izel.. Bercanda kok.. Hiks.."

***

Di sebuah kamar, terbaring seorang pria, dengan berbagai persoalan yang terus berputar di pikirannya. Ia di kagetkan oleh suara pintu yang di buka dengan kasar oleh Papanya. Masuk tanpa permisi, itu bukan kebiasaan Papanya.

"Ethan. Siapa wanita ini?" John menyerahkan tabnya yang menunjukkan wajah seorang wanita pada CCTV di depan pagar. Ethan tentu tau siapa itu, dengan ciri khas rambut berwarna merah menyala, tak lupa gincunya juga, merah menyala. Menyala seperti nyalinya untuk merebut lelaki orang.

"Fika. Teman SMA. Ada apa dengannya?" Ethan sudah firasat, bahwa Fika pasti berulah sesuatu.

"Dia mengaku dia hamil anakmu."

"Kan, kan."

"Tenang Ethan, Papa sekilas sudah menyelidiki dia. Sekertaris Dio, sudah mendapat info kalau dia akhir–akhir ini dekat dengan Edo, pacarnya sendiri. Kalau Papa gak salah ingat, dia pernah ngejar–ngejar kamu waktu sekolah dulu kan?" Tanya John memastikan ingatannya.

"Iya."

"Dia tau kamu Indah menjalin hubungan?" Tanya John kembali.

"Tau." Ujar Ethan menceritakan pertemuan singkat di minimarket waktu itu. Hingga kembali membuka kasus kecelakaan waktu itu. Kenapa tidak lapor polisi? Anda pasti sudah tau jawabannya. Lalu kenapa tidak di siksa saja seperti di cerita lain? Sadar bro, novel ini bukan genre mafia. Tapi, jika sudah melewati batas, lihat saja, Ethan tidak akan diam.

"Dia gak punya ayah ya?" Tanya John memastikan bahwa perkiraannya benar.

"Iya, Papa udah selidiki itu?" Tanya Ethan, terkesima dengan kecepatan Papanya dalam menyelidiki seseorang.

"Nebak aja sih. Kayak ngemis perhatian lelaki soalnya. Gabisa nyalahin juga, namanya perempuan apalagi masih gadis, pasti sangat butuh figur ayah." Ucap John.

"Ayahnya kabur sama cewek lain, dia dan Ibunya di telantarkan, terus Ibunya nikah lagi sama duda kaya. Tapi Ayah tirinya sama aja, gak sayang sama dia katanya, selalu membedakan dia sama anak kandungnya. Seingatku dulu dia ceritanya gitu." Terang Ethan yang seratus persen benar.