Bawa pesan ini ke keluargamu!
Teruslah maju! Walau sudah engkau tidak temui senja esok hari. Ada harapan selama nafas masih berembus.
Bawa pesan ini lari ke keluargamu!
Siapa yang akan menunggu dalam hangatnya rumah? Berlindung dibawah atap dalam keceriaan. Keset selamat datang sudah dia buang jauh tanpa sisa. Hanya sebatang kara setelah kehilangan asa. Ada batu dijalanmu, jangan tersandung!
Bawa pesan ini ke keluargamu!
Kontrak mana yang sudah Si Lelaki Mata Sebelah ini buat? Tanpa sengaja menginjak nisan takdirnya sendiri. Tuan sedang bergairah untuk mengejar. Langkah kaki Tuan lebih cepat dari yang lelaki kira. Awas engkau sudah terjatuh, lelaki!
Jangan lelah kakimu berlari!
Jika lelah jangan berhenti, tempat yang lelaki tuju adalah persinggahan terakhir. Tuan dengan tudung merah mengejar kilat.
Tuan telah mempersembahkan kembang merah untuk Si Lelaki Mata Sebelah.
Sulur, rindang pohon liar, sayupnya bacaan doa, lumut sejati, juga angin dingin menjadi saksi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Indy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Badai Di Tengah Jalan
..."Saat udara mulai mengamuk dengan banyaknya bedebah kebodohan manusia. Satu kesalahan detik itu sudah membuat istana kalian hancur." - Altar...
Masih setia dengan pertemuan. Berbincang barang sebentar lalu menuju kereta mesinnya. Ada waktu emas yang tidak boleh dilewatkan. Pagi tidak boleh segera menyerang kembali. Harus selesai malam ini!
Ribuan nyawa harus kalian selamatkan.
“Kami juga akan bergegas pergi,” Tuan Zion berujar mantap.
Pada detik itu dua kereta mesin melesat jauh menuju kediaman Klan Rall. Julian berbincang dengan salah satu penjaga dan membiarkan mereka masuk. Setelah kembali ke kereta mesin Tuan Zion dan Clause. "Penjaga mengaakan jika Tuan Besar Rall tidak bisa ditemui."
"Apakah dia sudah tahu mengenai Bryan?" Tuan Zion menebak.
"Aku rasa sudah. Namun, karena aku meminta mereka mengijinkannya."
Dalam pertemuan keempatnya. Terlihat jika Nyonya Rall dan Tuan Besar Rall nampak begitu sedih. Bahkan, belum sempat keduanya melepas sepatu lalu memberikan sapaan, Julian bergegas menghampiri kedua orang itu. "Ayah, apakah Bryan tidak pulang?" Julian panik.
Tuan Besar Rall menggeleng.
"Apakah Ayah ibu tahu bahwa Bryan melakukan sesuatu?"
Melihat wajah Julian panik membuat Tuan Besar Rall tersenyum. "Julian, Bryan akan pulang," ucapan penenang dari Ayahanda Rall.
Tuan Zion juga Clause hanya mendengarkan bagaimana Julian berbincang dengan Tuan Besar Rall. Dari semua raut wajah yang pernah dia tampakkan hanya sekali ini Julian mendapati seseorang yang sudah dia panggil ayah itu bersedih.
Julian kembali ke dalam kereta mesinnya. Kesepian melanda segera. Kepada matahari di Ufuk Barat segera menghilang. Menuruni kereta mesinnya berjalan menuju kamar tanpa menyapa ayahandanya sendiri.
"Julian, kamu tidak memberitahu ayah kapan akan pulang."
Julian hanya menggeleng. "Aku lelah ayah, ingin beristirahat." Ada sedikit kekhawatiran dari raut wajah ibundanya yang kemudian hanya membelai rambut putranya sekilas sebelum akhirnya mengunci pintu di kamar.
Julian bersandar di jendela rumahnya. Sekilas bayangan mampir dalam otaknya. Kenangan diantara mereka dari kecil sampai besar. Selalu bermain bersama dalam kerukunan keluarga yang dia bangun.
Bryan adalah orang yang cukup misterius, dia tidak pernah menunjukkan emosionalnya secara gamblang. Hanya dengan beberapa patah kata atau tindakan. Seperti waktu memeluk Julian karena menangis menemukan mayat Ellen. Lelaki itu bersedih tetapi hanya begitulah dia.
Apakah Bryan juga sebenarnya tidak ingin melakukannya?
Apakah karena sebuah paksaan?
Hanya tanda tanya yang terus bersahutan.
Tuan Besar Rall tidak menceritakan apapun mengenai Altar Darah. Memilih untuk bungkam dan memulangkan mereka semua. Tetapi, yang kacau adalah kacau.
Julian memicingkan matanya ketika sebuah kabut tebal menuruni perbukitan di mana matahari tenggelam. Tepat ketika waktu Maghrib tiba. Kabut tebal berwarna putih itu diwarnai dengan semburat merah dari matahari. Beberapa orang keluar dari kandangnya. Mengheran dengan apa yang terjadi. Bagaikan angin besar menyapu daratan.
Julian menyadari jika kabut itu berwarna merah. Segera ditutupnya jendela. Menutup diri menggunakan masker. Jendela kamar Julian berwarna merah menyala.
Serbuk merah dari Teratai yang meletus!
Teringat akan Tuan Zion dan Clause yang mungkin akan penasaran dengan apa yang terjadi. Jangan sampai mereka juga terkena pengaruh halusinogen. Segera Julian menelepon orang yag dia berharap sudah sampai di kediamannya.
“Julian?” Tuan Zion menyapa dari seberang telepon.
“Jangan membuka jendela, pintu, dan tetap berada dalam rumah. Sampaikan kepada Clause juga!”
“Ada apa memangnya?”
“Kabut serbuk merah dari teratai menuruni bukit. Sebagian sudah terserang,” paniknya Julian.
Suara gemuruh terdengar. Julian melihat ayahnya membuka pintu kamarnya panik.
“Ayah!” Teriak Julian. Bergegas menutup teleponnya.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” Tanya Julian.
“Ayah tidak mengerti. Tetapi, dalam perjanjian Sekte Teratai Merah, darah keturunan Rall dan Vegas tidak bisa dikorbankan. Seseorang telah melanggar janji itu.”
“Ayah tahu!” Teriak Julian kesal.
“Apa yang kamu katakan, Julian!”
“Ayah tahu perjanjian itu. Ayah tahu penumbalan itu. Ayah!” Julian menggeleng. Menahan air matanya yang hampir saja tumpah.
“Kita, klan Vegas sudah tidak ada hubungannya dengan ini. Ayah selalu menolak. Leluhur kita mudah berbaik hati dengan manusia. Ayah sudah mulai menarik diri!”
“Aku tidak menyangka jika ayah terlibat dalam hal ini.”
“Dengarkan ayah Julian! Perihal penumbalan ayah tidak pernah tahu. Ayah hanya tahu. Mereka yang terdaftar masuk dalam Sekte Teratai Merah seperti yang kuil itu lakukan.”
“Mereka yang terdaftar,” lirih Julian. “Tetapi, mereka yang terdaftar mati dengan cara yang mengerikan. Darah mereka habis. Kulit bahkan otot mengering sempurna. Ayah tidak tahu?” Sudah tidak mampu menahan air matanya.
Diam saja, adalah jawaban yang diberikan oleh Tuan Besar Vegas.
“Bryan menjadi tumbal.”
Suara Sang Tuan Besar Vegas memecah pada keheningan yang hampir tercipta sebuah pukulan mampu membuat degup jantung Julian berhenti. Mengabaikan gemuruh badai yang disertai petir dalam dirinya.
“Kalian juga tidak bodoh untuk tidak tahu,” lanjutnya.
Julian terdiam. Entah bagaimana dia harus berekspresi, sedih, marah, atau hanya onggokan daging termenung.
Julian tahu, iya. Sejak awal mengenai hilangnya Julian sudah tahu pada akhirnya akan seperti itu. Dia menolak fakta. Tetapi, dunia berbicara.
“Jika perjanjian telah dilanggar. Apa yang akan terjadi?” Julian sebentar menenangkan diri.
“Ayah tidak tahu, mungkin seseorang harus mengembalikan fungsi Teratai Merah itu.”
"Fungsi? Memangnya Teratai Merah itu digunakan untuk apa?"
Ayahandanya berembus. "Kejadian ini juga pai ulah kalian, bukan?" Menarik nafasnya berat. Sedikit air mata yang berlinang. "Dewi Tera yang menanamnya memotong akar tertaai itu dan ditanam secara terpisah yang sekarang menghasilkan obat-obatan."
"Seseorang harus mengembalikan fungsi aslinya." putus Julian lalu berlari, segera menuju kantor kepolisian.
Sepanjang jalan yang dia lihat sampai depan gerbang semua masyarakat yang berjalan kaki, ambruk.
Mereka yang sedang menyetir kereta mesin, tertidur.
Mereka yang berada di taman, terlelap.
Penjaga, pedagang, siswa, guru, penduduk yang menghirup badai Serbuk Merah.
Sedang bermimpi indah dalam ilusi.
Perekonomian lumpuh, distrik kota sepi.
Julian bergegas mengambil kereta mesinnya. Menyalakan dengan cepat. Tidak ada waktu untuk merenung. Ada bahaya yang semakin menginjak mereka. Berbekal masker juga sarung tangan. Seketika menyadari sesuatu.
“Teratai itu tidak akan berfungsi kepadaku.” Julian melepas maskernya. Menancapkan gas. Perlahan harus menghindari tumpukan manusia bergelimpangan. Seseorang harus membantu dan menyelesaikan sebuah misi ini.
Sampailah Julian. Diketuknya pintu dengan keras.
“Siapa?” Suara Clause terdengar.
“Ini aku Julian. Buka pintunya dan kita harus berbicara!” teriak Julian.
Clause membuka sedikit kunci, membiarkan Julian memasuki ruangan. Segera dia mencuci tangan juga wajahnya.
“Sebenarnya apa yang terjadi Julian?” Tatapan khawatir jelas terpatri di wajah Tuan Clause.
“Bryan menjadi tumbal. Peraturan telah dilanggar!” jawabnya cepat.
“Sudah aku duga.” Tuan Zion berujar.
Julian melihat berbagai kertas berserakan di meja. “Apa yang sedang kalian lakukan?”
“Menyusun rencana,” jawab Clause.
Julian mengambil sebuah peta yang digambar Clause. “Peta apa ini?”
“Kami membuat peta Teratai. Menurut Teratai Merah yang diberikan oleh Kuil itu. Struktur Teratai seperti tanaman pada umumnya. Hanya saja yang membedakan mereka memiliki serbuk halusinogen, akar teratai yang memanjang, juga bunga yang berwarna merah darah,” jelas Tuan Zion.
“Aku menggunakan darahku untuk memberi Teratai ini makan. Dan hasilnya yang memanjang dari Teratai ini hanyalah akarnya. Semakin panjang akarnya, semakin gemuk pula. Bisa diasumsikan jika altar yang dibangun memiliki akar yang panjang. Dan letak dari inti Teratai adalah dibagian tengah akar.”
Julian memandang rekannya satu per satu. “Apakah kalian akan menghancurkannya?”
“Iya, untuk membuat tidak ada lagi kesalahan.” Clause melihat luar jendela yang sudah dipenuhi dengan orang bergelimpangan.
“Aku akan membantu. Apa yang harus kita lakukan?” Seketika Julian mengingat perkataan ayahnya. "Tetapi, fungsi dari teratai harus dikembalikan."
"Itu artinya akan ada yang menanggung mahkota dari Teratai ini. Orang yang bisa melakukannya hanyalah kamu, Clause."
Julian menatap peta dengan tengah Altar. Seperti yang digambar oleh Clause. Akar terkuat berada ditengah. Sedangkan ada rantai yang menghubungkan keempat tiang.
"Kita akan memutuskan semua akarnya. Menghancurkan Altar dan menutup dimensi itu."
“Rencana ini akan dimulai sekarang.” Clause menambahkan.
Tuan Zion menatap mata Julian lekat. “Julian. Jika rencana ini gagal yang bisa kita lakukan adalah membuat penawar bagi mereka yang berjatuhan. Oleh karenanya, kumpulkan tenaga medis yang tersisa, prajurit kepolisian, juga siapa saja yang masih terjaga untuk menempatkan semua korban ke tempat aman.”
“Serbuk halusinogen ini akan mereda seiring berjalannya waktu dan tersapu angin,” tambah Tuan Zion. "Namun, efek yang ditimbulkan tidaklah sedikit."
“Tetapi, jika tidak demikian?” Julian merasa khawatir.
“Gunakan alat perlindungan diri dan masker. Jangan sampai terhirup. Jika tebakanku benar, maka, pintu Altar pasti terbuka.”
“Baiklah,” jawab Julian. Sejenak merelakan keduanya hendak pergi bertarung. Wajah juga raut muka yang tertekuk membuat Julian ragu akan langkahnya sendiri. Tetapi, yang terjadi juga harus berakhir.
Julian menoleh. “Jangan sampai mati,” pesannya.
Bergegaslah Julian. Memasuki stasiun televisi yang sudah hilang gambar. Ada beberapa orang yang masih terjaga, membuat Julian sedikit lega. "Aku Julian Vegas akan menyampaikan sebuah berita. Tolong sambungkan ke seluruh penjuru elektronik."
“Selamat Petang. Saya Julian Vegas. Mungkin sebagian besar manusia bertanya ada apa dengan Kota Homura, saat ini terjadi angin yang membuat badai serbuk halusinogen dari gudang obat-obatan."
"Mohon maaf atas ketidaknyamanannya. Untuk memulihkan Kota Homura bersama-sama. Saya meminta warga tetap tenang, tidak panik. Tidak keluar rumah selama badai terus berlangsung.
Sebagai gantinya mereka yang masih tersadar, siapapun Anda yang masih memiliki kesadaran untuk berada di rumah. Mengevakuasi masyarakat sekitar rumah, tetangga atau pun keluarga ke tempat aman.
Diperuntukkan juga, untuk seluruh dokter yang tidak memiliki kepentingan umum rumah sakit berkumpul di laboratorium utama kepolisian. Saat ini Kota Homura dinyatakan dalam keadaan darurat.”
Ruangan putih menyambut dirinya. Beberapa orang yang keluar dari badai dengan penerangan minim. Melihat asistennya yang sudah berpakaian rapi.
“Bersihkan dirimu, dan kita akan memulai.”
“Kamu mencuri garis mulai,” keluhnya.
Puluhan bahkan hampir ratusan tanaman obat terletak dihadapan Julian. Menimbang, memilih, sekaligus kebingungan mana yang akan dia pakai. Seseorang polisi setengah sadar merelakan tubuhnya menjadi bahan riset. Begitu mulia lelaki dengan istri yang sudah lama meninggal.
“Seharusnya sistem syarafnya menolak halusinogen.”
Beberapa racikan obat sudah tersudahi dalam lingkaran setan kebingungan. Julian ingin menyerah. Namun, melihat perjuangan tentara juga penduduk desa membawa pulang tubuh keluarganya membuat dirinya menangis.
Sementara, bagaimana keadaan lelaki yang menembus lebatnya badai dengan kedua tangannya itu?
Julian hanya menatap jendela sembari terus berdoa.
“Bisakah kamu menceritakan hal yang sesungguhnya terjadi, Tuan Julian?” suara asistennya membuat buyar.
“Tidak akan,” jawab Julian tegas. “Karena seseorang sedang berjuang mati.”
Terdiamlah lelaki yang menjadi partnernya. "Apakah ini masih berkaitan dengan kasus mayat kering?"
Julian hanya terdiam. Tidak lupa Julian mengambil teratai merah yang dibawakan oleh Clause sebelum berperang. Clause mengatakan jiak teratai itu mati maka, tugas mereka akan selesai.
...***...
Nafas terengah kebingungan. Habis sudah akalnya menyaksikan merah darah yang meronta meminta tumbal. Tangan yang sudah sedikit kram keriput mulai menjalar.
Patrick gemetar ketakutan. Dilihatnya lelaki dengan darah yang sama mengalir dari kakinya.
Seseorang harus ditumbalkan!
Seseorang harus mati malam ini!
Namun! Itulah keindahan kehancuran milik kalian yang sudah dijemput.
Seseorang ini menghentikan Patrick. Terlupa akan janji yang mereka ikat!
“Tuan Patrick apa yang kamu lakukan?” Berteriak sampai tenggorokannya tercekat hebat. Meronta meminta belas kasih. Tunggu!
Ada yang sedang melupakan sebuah janji.
Hingga keadaan yang tenang membuat lelaki tersenyum puas. Rasa gemetarannya mengurang sedikit demi sedikit. Keriput juga kulit muda segera terbentuk.
Benjamin masih berada disudut lain. Menerawangi dirinya yang lemah. “Teratai itu melindungi Clause!” teriaknya tanpa sadar. Rasa kesal dalam dada sudah menjalar ke ubun-ubun.
Disaksikannya letupan sedikit demi sedikit terbentuk. Mengernyit kening mereka berdua. Suara berdenging di telinga mereka menyadari jika perjanjian sudah dibatalkan!
Kini mengamuklah wahai kembang dewa!
Serbuk menjalar memenuhi danau. Terus mengambang gemerlapan serbuk Semerah darah. Membuka pintu Altar menganga lebar.
Sembari berjuang meracik obat.
Sembari berjuang menembus dahsyatnya badai.
Bersama menembus lebatnya beban.
Clause sigap, berdiri di pintu Altar dengan pedang yang siap di sisi kanan tubuhnya. Dilihatnya lelaki yang masih berdiri di tengah Altar meronta kesakitan.
Cek Cok an yang mereka rapalkan sudah didengar seluruhnya oleh Clause.
Berani menantang dunia dengan masuk ke dalam Altar. Menyerahkan sepenuhnya dirinya.
“Benjamin, Patrick!” panggil Clause berteriak.
Rasa amarah mengepul dalam dada Benjamin. Dengan kekuatannya menggerakkan teratai itu menyerang Clause. Menyipit akan sosok berjas yang dia lihat sebagai Bryan terpaku dengan wajah kering kerontang.
Menetes sudah air matanya. Seseorang yang berharga sudah terlelap dalam tidurnya.
Clause berlari menuju tengah Altar. Sedangkan Benjamin dan Patrick hanya terbungkam.
“Apa yang akan kamu lakukan?” tanya Benjamin.
“Sudah menuakah otakmu! Kita generasi yang selalu diperbaharui tidak akan kalah dengan kalian yang memiliki otak kolot.”
Clause menunjukkan pedangnya. “Kalian tahu ini apa? Pedang inilah yang akan membunuh kalian!”
Seperti bajingan yang akan mengalahkan leluhur. Clause tanpa belas kasih menyambet semua yang dia bisa potong dihadapannya.
Benjamin juga Patrick melawan Clause. Mata hitam bersinar akan kegelapan malam. Kini, yang Clause yakini jika jin, setan, iblis itu tidak ada. Hari ini dia sudah membuktikannya.
Mereka ada karena manusia!
Menangislah wahai petarung sejati. Atas semua nyawa tidak berdoa yang sudah engkau lihat. Liliana dengan kepang dua mengambang, bapak yang mati terurai jasadnya, Bryan yang meninggal karena kecerobohan.
Juga,
Manusia yang tanpa tapi dibunuh dengan mudah.
Tuan Jack, siapa itu.
Clause berharap bisa membalaskan dendam mereka satu per satu
Menebaskan pedangnya kuat. Mengiris lengan demi lengan. Mengenai tepat pada kedua tulang tua.
Benjamin mundur, menabrak tiang hingga sedikit roboh.
Clause mengamuk, dilemparkannya pedang itu mengenai depan Benjamin. Bangunan yang dianggap suci.
Patrick tidak tinggal diam. Ditusuknya lelaki bertaring ganda. Tangan yang mengalir darah membasahi paha Clause. Berhasil ditepis.
Benjamin sudah tidak sadarkan diri, dengan kekuatannya melemah karena terlambatnya penumbalan. Juga mengamuknya teratai. Patrick melempar tubuh Clause tepat ditengah Altar. Mengenai tubuh Bryan yang sepenuhnya belum disingkirkan.
Darah Clause sedikit membasahi Altar. Bercahayalah semua yang berada dalam Danu. Membuat air biru itu Semerah darah.
Clause cukup pinta untuk menyadari jika sebagian darahnya sudah berada di dalam Teratai.
“Lihat! Siapa yang bodoh?”
Clause melihat tubuh Benjamin yang mulai sembuh sedikit demi sedikit. Seketika Clause menjauhkan tangannya dari tengah teratai.
“Iya, siapa yang bodoh?” Clause tersenyum. Berbaringlah tubuh Clause di tengah Altar. “Teratai ini masih memiliki jiwa Tera.”
Clause merentangkan tangannya. Memejamkan matanya perlahan. Hingga darah yang mengalir dari tangannya yang terluka terserap sempurna dalam tengah Teratai.
Benjamin juga Patrick tidak bisa berkutik. Ketika rambut Clause yang sepenuhnya menjadi abu metalik.
Segera Clause bangkit. Merentangkan tangannya. “Aku Clause Zegar mengambil alih Teratai Dewa!”
Clause berjalan mendekat. “Yang kalian tidak ketahui dan sadari adalah, teratai ini melindungiku. Melindungi keturunan Tera. Itu artinya. Siapapun dari keluarga kami bisa mengambil alih Bunga Dewa ini.”
Patrick menolak dengan keras. Pisau yang dia gunakan selalu berusaha menyayat lelaki itu. Seketika menyadari jika gelap menerpa.
Gulita. Hampir tidak ada cahaya.
Sedangkan, dibawah sana siapa yang berjuang?
Tuan Zion melihat Clause memasuki Altar. Bertarung demikian rupa hingga membuat langkah kecil tuan Zion sama sekali bukan masalah bagi mereka.
Menyelam. Berenang menuju sebuah titik yang sudah Clause gambarkan. Dimana sketsa yang acak-acakan menduga titik terlemah dari teratai adalah akar.
Tuan Zion berenang lebih cepat. Saya ini. Air danau dipenuhi dengan warna merah. Sedikit pusing mendera kepalanya. Tekanan bawah danau membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas. Tetapi, ketika menyadari darah Clause menyentuh tengah Altar ada yang bercahaya dibalik rimbunnya akar teratai.
Mereka yang selalu menyala dalam kegelapan. Melihat itu, Tuan Zion bergerak maju.
Berdecih ketika tangan besarnya dililit akar teratai. Tuan Zion berusaha melawan. Namun, semakin kuat cengkeraman. Pada akhirnya sedikit melonggarkan tenaga. Perlahan melepaskan cengkeraman akar teratai
Sesegera harus sesegera Tuan Zion menebas seluruh akar yang menyatu dengan biji merah menyala.
Melihat batuan itu untuk terakhir kalinya. Dengan perlahan menebasnya kuat.
Membuat hancur berkeping-keping.
Clause menyadari ada sentakan di bawah sana. Seluruhnya altar darah dipenuhi oleh awan hitam. Kekuatan iblis mengamuk dan menghancurkan seluruh Altar.
Reruntuhan terus mengusik mata Clause. Tetap bertahan dalam persaingan hidup dan mati. Clause tersungkur. Getaran hebat dari tanah membuat kakinya tidak mampu berdiri.
Darah mengalir dari mulutnya. Tangan bergetar samar mengikuti seiringnya danau menenggelamkan altar teratai merah.
*
Julian tersentak. Teratai merah yang dia sanding dalam putihnya laboratorium kini meredup. Sinarnya terus saja memudar hingga menjadi kehitaman.
Tanpa sadar pisau yang dia bawa menyayat tangannya, membuatnya masuk ke dalam cairan merah yang dia aduk dari serbuk merah teratai.
Membuat warna cairan itu memudar menjadi putih metalik.
Teringat akan kata-kata Clause. Serbuk putih metalik berarti halusinogen nya sudah terpakai.
“Darahku penawarnya?”
Julian menampung darahnya, menyuntikkannya kepada cairan yang dia formulasikan sebagai obat.
Memberikannya kepada prajurit yang rela menjadi obyek.
Setelah menyuntikkannya pada nadi, hanya selang beberapa menit prajurit itu tersasar kembali.
Julian tersenyum.
Dengan cepat mengambil pisau bedah. Hendak menyayat tangannya cepat. “Kamu gila!” tampar lelaki yang sudah menjadi asistennya.
“Lihat penawarnya berhasil!” bahagianya Julian.
“Kita bisa mengambilnya dengan benar,” ujar lelaki itu.
Menyiapkan sekantong darah dan mengambil darah Julian sebagai donor. Detik dan jam berikutnya adalah penentuan.
***
Selangkah demi selangkah setelah cahaya matahari menyinari. Bekas pertarungan kemarin malam menampakkan hasil yang nyata. Dengan wajah lelah, rambut berantakan berjalan sendirian menuju ke atas bukit.
Tempat di mana rekannya sudah mengorbankan nyawa mereka.
Tidak ada yang tahu peristiwa itu.
Tidak ada yang tahu kelanjutan dari malam kemarin.
Ketika Julian betanya apakah ada yang menuruni bukit maka, saksi mengatakan jika tidak ada seseorang yang turun dari bukit.
Langkah kaki dia seret. Terus mendongak segera menyampai pada Pintu Altar yang dimaksudkan. Julian menyentuhkan tangannya pada batang pohon besar dimana dia melihat sulur Altar pernah keluar dari sana. Batuan kali yang dia injak. Berharap bisa membuat dimensi yang tiada pernah lagi di buka.
Julian menangis.
Seakan melampiaskan segala kegundahan dan emosi hatinya. Marah, sedih atau bahagia yang bisa dia rasakan sekarang?
Pada akhirnya, hanya dia sendirian yang tersisa.
“Perang telah usai,” lirih Julian.
Udara dingin menyapa melewati telinganya. Julian mendongak. Berharap jika pintu Altar terbuka dan memperlihatkan kedua temannya.
Nyatanya, itu hanya angin dingin.
Satu benda tipis dingin menyentuh tangannya. Julian mengernyit. Udara dingin segera berembus kencang.
Dilihatnya kota dari atas bukit. Semuanya tertutupi secara perlahan dengan benda pilih yang Julian tahu sebagai butiran es.
“Salju?” tanya Julian entah kepada siapa.
“Seputih ini?”
Untuk pertama kalinya salju mengguyur tempat bernama Kota Homura.
Kebahagiaan tidak mampu dia sembunyikan. “Salju, akhirnya kita bisa merasakan salju.”
Seputih salju, itulah kulit yang Clause punya.
Julian menoleh ketika samar mendengar suara Tuan Zion. Segera mencari-cari keberadaan. “Tuan Zion!” berteriaknya Julian kencang.
Seseorang dengan perawakan tinggi terpapah dengan rambut basah juga seragam lusuh. Lelaki yang memapahnya memiliki rambut abu metalik yang luar biasa indah juga..
Mata merah yang unik. Seakan langit senja yang menenggelamkan matahari.
Lelaki itu tersenyum. Seragam kepolisian yang masih bertengger dibadannya juga nama dada yang masih sama.
Clause Zegar.
Lelaki itu memutuskan mewarisi kekayaan dan kekuatan Dewi Tera.
“Aku senang karena dunia kita memiliki akhir yang indah,” ucap Clause.
Suaranya yang sedikit lembut membuat Julian bahkan ingin mengejeknya sekarang juga.
Dihampirinya kedua lelaki lalu menangis tersedu-sedu dalam dekapan.
“Julian?” tanya Clause heran melihat bocah itu menangis seperti bayi.
“Kami juga menyelamatkan Bryan,” sambung Tuan Zion. Sembari menarik akar teratai yang masih terbaring jasad Bryan di sana.
Julian melepaskan pelukan. Berjalan pelan lalu berjongkok pada jasad teman sepermainannya.
Mengusap lembut wajah itu. “Aku sudah memaafkanmu. Tetapi, mungkin mereka yang menjadi korban tidak.”
...****************...
...TAMAT...
Meski hati terserang rindu akan rumah tapi canda teman sesama menjadi penghangat lara, namun mereka tak tau ada sesuatu yang tengah mengincar nyawa.~~ Samito.
numpang iklan thor/Chuckle/
Iklan dikit ya thor🤭