Anisa menerima kabar pahit dari dokter bahwa dirinya mengidap kanker paru-paru stadium empat, menandakan betapa rapuhnya kehidupan yang selama ini ia jalani.
Malamnya, ketika Haris pulang dari dinas luar kota, suasana di rumah semakin terasa hampa. Alih-alih menghibur Anisa yang tengah terpuruk, Haris justru membawa berita yang lebih mengejutkan. Dengan tangan gemetar, Anisa membaca surat yang disodorkan Haris kepadanya. Surat yang menyatakan perceraian antara mereka berdua setelah 15 tahun membina rumah tangga.
Ternyata, memiliki kehidupan yang harmonis ekonomi yang bagus, serta anak-anak yang lucu tak bisa mempertahankan sebuah hubungan Anisa dan Haris.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Yuk, simak di Bunda Jangan Pergi!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bunda 24
Dua bulan berlalu dengan cepat, dan kini tiba hari yang ditunggu-tunggu oleh Anisa, yaitu acara kelulusan Salsa di sekolah TK dan Alvin yang naik ke kelas 6 SD. Kedua anak tersebut telah menunjukkan prestasi yang membanggakan, terutama Alvin yang berhasil meraih juara umum di sekolahnya.
Di hari yang spesial itu, sekolah dipenuhi oleh wali murid dan murid-murid yang ingin menyaksikan momen bersejarah tersebut. Anisa, dengan wajah sumringah, menatap anak-anaknya yang telah tumbuh begitu pesat. Saat Alvin naik ke atas panggung untuk menerima rapor dan hadiahnya, sorak sorai orang tua dan teman-teman sekelasnya menggema di ruangan tersebut.
Namun, ketika Alvin diminta untuk memberikan sepatah kata sebagai perwakilan murid, Anisa terkejut dengan apa yang diucapkan oleh anaknya.
"Terima kasih banyak kepada Tante Tania yang telah membantu saya menyelesaikan tugas kesenian," kata Alvin dengan jelas di hadapan semua orang yang hadir.
Mendengar ucapan terima kasih Alvin kepada Tania, Anisa merasa bingung dan kecewa. Sebagai ibunya, Anisa merasa seharusnya dia yang membantu Alvin menyelesaikan tugasnya, bukan Tania. Namun, dia tidak bisa mengelak bahwa Tania memang telah memberikan dukungan yang sangat berarti bagi Alvin. Anisa menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya.
Tania tersenyum dan bangga atas keberhasilan yang diraih oleh Alvin, anak dari Haris mantan pacarnya. Haris yang berada di antara para wali murid juga ikut bangga kepada anaknya itu. Tetapi, perasaan canggung pun Haris rasakan saat melihat wajah Anisa yang penuh kekecewaan. Ketika, guru memanggil orang yang ingin berfoto dengan Alvin, Anisa langsung berdiri dari tempat duduknya, padahal Tania sendiri juga ingin berfoto, melihat Anisa yang berdiri Tania memilih duduk kembali dan memberi tepuk tangan kepada Anisa dan Alvin yang terlihat begitu bahagia di atas panggung.
Setelah melewati hari yang panjang, Alvin dan adik-adiknya tampak kelelahan. Di dalam mobil, suasana hening menyelimuti perjalanan pulang mereka. Anak-anak sudah tertidur lelap di samping Tania yang duduk di kursi penumpang. Sedangkan, Haris yang sedang mengemudi, tampak fokus menatap jalan di depannya.
Di sebelah Haris, Anisa duduk dengan wajah yang tampak khawatir. Dia sudah lama tidak memeriksa perkembangan kafe yang ia miliki dan hari ini ia ingin melihat langsung situasi kafe tersebut. Anisa menghela napas panjang sebelum meminta Haris untuk mengantarnya ke kafe miliknya.
"Mas Haris, bisakah kamu mengantarku ke kafe setelah kita pulang? Aku ingin melihat perkembangan tempat itu," kata Anisa dengan suara lembut.
Haris mengangguk, "tentu, An. Kita akan mampir sebentar sebelum pulang."
"Mas Haris, pulang saja. Anak-anak masih tertidur aku akan pulang nanti," Haris hanya bisa mengangguk setuju atas permintaan mantan istrinya itu.
Sesampainya di kafe, Anisa menemui Mira, sahabatnya yang sudah menunggu di salah satu meja. Mereka berdua duduk bersebelahan, saling bercerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Anisa menceritakan tentang kesibukan anak-anak yang baru saja mengambil rapor dan bagaimana ia merasa lelah karena harus mengurus segala urusan rumah tangga.
Sementara itu, Mira menceritakan tentang pekerjaan barunya yang cukup menantang dan bagaimana ia berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang baru. Mereka tertawa bersama, saling mendengarkan, dan saling memberi dukungan satu sama lain.
"Bagaimana dengan anak-anak? Apa mereka mulai menerima Tania?"tanya Mira kemudian. Anisa terdiam sejenak dan kemudian mengangguk sembari meraih teh hangat yang telah karyawannya antar ke meja mereka.
"Anak-anak mulai dekat dengan Tania. Aku juga melihat Tania begitu mencintai dan menyayangi mereka,"
"Ku harap keputusan mu ini adalah yang terbaik, Anisa. Aku tak ingin kamu menyesal setelah memilih keputusan ini. Aku hari ini datang ke sini ingin berpamitan dengan mu. Aku akan tinggal di Bogor, Aku di tugaskan bekerja di sana. Aku menyayangimu Anisa, ingat jika kamu butuh sesuatu segera hubungi aku."Mira berkata dengah tulus dan menggenggam erat tangan Anisa, keduanya telah menjadi sahabat begitu lama, sejak di bangku SMP hingga kini Anisa menikah dan memiliki tiga orang anak, Mira turut andil dalam setiap masalah yang di hadapi Anisa, Mira selalu menjadi sahabat yang baik untuk Anisa.
Keesokan paginya, Anisa membuka mata begitu fajar menyingsing, bersemangat untuk menyiapkan sarapan untuk keluarga. Namun, ketika ia menginjakkan kaki di dapur, Anisa terkejut melihat Tania yang sudah terlebih dulu sibuk membantu Bi Nan menyiapkan hidangan. Dengan perasaan kecewa dan terpukul, Anisa berdiri di ambang pintu dapur, menatap sajian sarapan yang telah tersaji rapi di atas meja makan.
Tak lama berselang, Alvin dan Salsa muncul dari kamarnya, disusul oleh mantan suami Anisa. Mereka menyapa Tania dan Bi Nan dengan ramah, berterima kasih atas sarapan yang sudah disiapkan. Anisa tersenyum paksa, menahan rasa kecewa dan cemburu yang menghantui pikirannya.
"Terima kasih, Tante Tania. Sarapannya tampak lezat," ucap Alvin dengan sumringah, sementara Salsa mengangguk setuju, tersenyum ke arah Tania. Pujian tersebut membuat hati Anisa semakin pedih, merasa dirinya telah tergantikan oleh Tania.
Namun, ia tidak ingin menunjukkan perasaannya di depan keluarga. Anisa pun bergabung dengan mereka di meja makan, mencoba menikmati hidangan yang telah disiapkan dengan perasaan campur aduk. Mereka bercengkrama sambil menyantap sarapan, tak menyadari perasaan Anisa yang semakin terpuruk. Setelah selesai makan, Alvin, Salsa, dan Haris bergegas bersiap untuk berangkat ke sekolah dan kantor, meninggalkan Anisa yang masih terduduk di meja makan dengan pikiran yang kalut. Di tengah kesendirian, Anisa merenung, berharap suatu hari nanti ia bisa kembali menjadi sosok yang penting dalam keluarga ini, dan bukan sekadar bayang-bayang yang tergantikan oleh kehadiran Tania. Tetapi, ini adalah pilihannya sendiri sehingga Anisa tak bisa menyalahkan siapapun termasuk Tania.
"Alvin, melupakan botol minumnya. Aku akan memberikannya,"Tania berkata dan pergi meninggalkan dapur. Tak lama Haris masuk ke ruangan dapur dan melihat Anisa yang sedang duduk melamun di meja makan.
"Anisa, ini adalah pilihan mu. Apa kamu mulai menyesal?"Haris bertanya. Setiap malam Haris memikirkan Anisa, Haris takut Anisa menyesal tak membuat semua berantakan. Haris, tak ingin Anisa melakukan hal ini, tetapi Anisa bersikeras membawa Tania dalam hidup mereka.
"Aku dapat menerima ini semua, pergilah ke kantor, Mas!"Anisa tersenyum. Haris hanya bisa mengangguk dan melenggang pergi meninggalkan dapur.
akhirnya km akan meninggal dgn perasaan sakit hatimu ketika anak2mu yg tidak membutuhkan kamu
kurang suka dgn sosok Anisa yg menyerah sebelum berjuang
dasar bapak lucnut dpt daun muda uang sekolah anak2 di abaikan
semoga Anisa sembuh thor