Mendadak Nikah

Malam itu akan menjadi malam yang indah bagi Diko dan Lingga. Mereka berdua mulai nyaman satu sama lain. Mulai berani mengungkapkan rasa cinta mereka dari ucapan dan gerak tubuh yang selalu ingin bersentuhan.

"Pulang yuk? Udah malem," pinta Diko pada Lingga yang sudah terlihat lelah. Bahan pembicaraan mereka juga sudah habis. Cukuplah untuk hari ini mereka saling membuka diri dan mengeluarkan seluruh keburukan mereka di depan pasanagn mereka masing -masing.

"Ayok, Udah cape juga, mau istirahat," cicit Lingga yang terlihat kuyu karena lelah.

Diko menganggukkan kepala dan berdiri lalu menunggu Lingga berdiri dan menggandeng tangan Lingga dengan mesra.

Begini rasanya berlibur sekaligus berbulan madu. Padahal, keduanya baru muali menjajaki satu sama lain.

"Mas ... Kalau belum hamil juga, terus gimana?" tanya Lingga mulai insecure.

"Kenapa? Ya, kita lanjutkan di rumah prosesnya," ucap Diko tertawa.

"Tapi kata Oma Anna, kita harus berhasil," ucap Lingga mulai kepikiran.

Tangan Lingga semakin di genggam erat. Diko dan Lingga berjalan kaki di sekitar taman hotel lalu naik ke lantai kamar mereka berada.

"Gak usah pusing. Jangan terlalu di pikirkan soal itu. Oma Anna itu baik banget. Oma sudah sayang sama kamu, Lingga. Oma Anna itu gak serius bilang begitu, yang penting kita mau usaha, itu aja," cicit Diko pelan.

Lingga menatap Diko yang terlihat serius bicara. Sadar kalau dirinya di perhatikan, Diko pun menatap Lingga.

"Ada yang aneh?" tanya Diko yang mengangetkan Lingga.

"Gak ada," jawab Lingga langsung menunduk gugup dan malu.

Lingga masih berjalan menunduk menatap lantai bawah yang masih tertutup karpet merah. Itu tandanya mereka masi berada di lobby hotel dan berjalan menuju pintu lift.

BRUK ...

Lingga menabarak salah seorang tamu hotel yang tak sengaja berpapasan di sana. Lingga yang tetap berdiri kuat karean Diko menggenggam erat tangan Lingga agar tak terjatuh. Sedangkan orang yang ada di depannya terhuyung ke belakang hampir saja terjatuh. Kepalanya mendongak dan ingin marah -marah.

Lingga juga mendongak ke arah lelaki yang kini ada di depannya denagn melotot ingin berteriak keras.

Saat melihat Lingga lelaki itu langsung tersenyum lebar.

"Lingga? Kamu Lingga kan?" tanya lelaki itu penuh semangat.

Lingga hanya mengangguk kecil lalu melirik ke arah Diko yang penasaran, siapa lelaki itu. Ada hubungan apa antar Lingga dan lelaki itu yang namoak terlihat kenal dan akrab.

"Sonny?" ucap Lingga pelan takut salah menyebut nama. Jujur, Lingga sudah lupa denagn nama dan wajah teman -temannya dulu.

"Aku Simon, saudara kembar Sonny. Sonny sudah meninggal," ucap Simon pelan.

"Ohhh ... Maaf, aku gak tahu. Kita sudah lama gak ketemu sejak lulus SMP," ucap Lingga pelan.

Diko menyimak dengan baik. Berarti kalau tidak ketemu sejak lulus SMP, fix mereka adalah teman satu sekolah saat SMP.

"Gak apa -apa. Kamu apa kabar? Pacar kamu?" tanya Simon melirik Diko yang ada di smaping Lingga.

"Saya Hendiko, suami Lingga," ucap Diko dengan cepat memperkenalkan dirinya sebagai suami Lingga. Kalau tidak begitu, bisa hilang Lingga di bawa kabur.

"Ohhh ... Simon, teman Lingga," ucap Simon pelan.

"Kita duluan naik ke atas. Selamat malam," tegas Diko yang mulai posesif. Lingga tidak bisa berkata apa -apa dan hanya bisa mengangguk pelan ke arah Simon dan pergi menuju pintu lift mengikuti Diko.

Diko terdiam dan tak bicara. Tidak bertanya juga, tapi raut wajahnya kesal. Jelas Simon menyukai Lingga, dari tatapannya terlihat ingin memiliki.

Lingga meelirik ke arah Diko. Sikap dingin dan cueknya muali keluar seperti biasa. Ini yang membuat Lingga tahu, kalau sikap ini ada pada Diko, itu tandanya Diko sedang marah besar.

"Mas Diko marah?" tanya Lingga pelan saat berada di dalam lift.

"Menurut kamu? Ada lelaki yang mengajak bicara istrinya dengan kedua mata menatap seolah penuh damba, sebagai suami perasaannya gimana?" tanya Diko dengan nada suara tegas dan agak meninggi.

Lingga merapatkan tubuhnya ke tubuh Diko. Lingga berusaha membuat lelaki itu tak marah lagi padanya. Lagi pula denan Simon hanya bertegur sapa, apalagi kalau benar sampai mengobrol santai atau tak sengaja ketemu terus makan bersama, bisa di gantung di atas pohon toge.

"Maaf ya, Mas," cicit Lingga sendu. Kini ganti kepalanya yang menempel pada lengan Diko.

Diko masih terdiam hingga pintu lift terbuka dan Diko keluar dengan langkah kaki melmabat karena Lingga masih menempel nyaman sambil berjalan.

"Cape?" tanay Diko pada Lingga.

"Arghhh ... Maaf," jawab Lingga yang salah paham.

"Kamu cape? Sampai nyender gitu. Kalau cape biar Mas gendong," ucap Diko pelan menatap Lingga yang sudah menegakkan jalannya dengan tubuh tegak lurus.

"Ekhemmm ... Lingga gak cape kok," ucap Lingga pelan sambil berjalan lurus ke depan pandangannya.

"Ohhh ... Jadi gak cape nih. Bisa dong, dua ronde," pinta Diko sambil tertawa menggoda Lingga dan mengedipkan satu matanya pada Lingga.

Belum juga Lingga menjawab. Diko langsung mengangkat tubuh Lingga ala bridal style dan berjalan cepat menuju kamar tidurnya.

Dengan cepat, Diko menekan tombol pintu kamarnya dan terbuka otomatis lalu di tutup rapat dan terkunci otomatis.

Tubuh Lingga langsung di rebahkan di kasur sambil menatap Diko tanpa pemberontakan. Setelah kejadian kemarin di rumah, mereka belum lagi melakukan hal itu. Ada candu, ada rasa ingin tapi sama -sama malu.