Rara Depina atau biasa di panggil Rara, terpaksa menggantikan ibunya yang sedang sakit sebagai Art di ruamah tuan muda Abian Abraham.
Rara bekerja tanpa sepengetahuan tuan muda Abian. Abian yang pergi kerja saat Art belum datang dan pulang saat Art sudah pergi membuat Rara bisa bekerja tanpa di ketahui Abian.
Apa jadinya saat tak sengaja Abian memergoki Rara tengah berada di apartemennya.
Dilema mulai muncul saat diam-diam Abian mulai jatuh cinta pada pembantu cantiknya itu, dan di tentang oleh keluarga besarnya yang telah memilihkan calon buat Abian.
Akankah Abian mampu mempertahankan Rara di sisinya, cuus baca kelanjutannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan ibu
Ara mengerjab berulang kali, memindai wajah tampan suaminya. Alis dan bulu mata yang cukup tebal untuk seorang pria, hidung bangir, bibir tipis dan rahang yang terlihat kokoh, dia benar-benar lelaki sempurna.
"Aku baru tau kalau wajah suamiku setampan ini," bisik Ara lirih, sembari membingkai wajah tampan Bian dengan jarinya. Memberikan kecupan lembut di bibir merahnya.
Tatapannya tak lepas memindai setiap inci wajah Bian, entah sejak kapan Ara memiliki rasa pada suaminya, yang dia tahu sentuhan Bian membuat hatinya merindu.
"Aku mandi dulu sayang," bisik Ara sembari kembali kengecup bibir Bian, tapi di luar dugaan kecupan Ara berbalas...
"Mhhff," reriak Ara tertahan saat ******* itu terssa semakin kuat.
"Hahhh!" Ara menghembuskan napas dengan kasar saat Bian melepas bibir Ara dengan seringai di bibir merahnya.
"Berani sekali kau menyentuhku di saat aku sedang tertidur!" Ara membulatkan matanya, sedang pipinya sudah berubah merah sekarang.
"Aku mau mandi tuan, sudah siang," ujar Ara gugup. Sembari berusaha melepas rengkuhan Bian.
"Masih ada cukup waktu untuk satu kali permaian, bermainlah dulu denganku hmm," ucap Bian sembari menyetuh pipi Ara dengan jarinya. Ara memejamkan matanya menikmati sentuhan Bian. Tapi hanya sesaat. Sesaat kemudian Ara kembali merengek minta di lepaskan.
Bian berubah kesal atas penolakan Ara. Bukankah Ara yang tadi memancing hasratnya dan kini dia malah menolak melakukannya.
"Pergilah!" Ucap Bian dengan wajah dingin. Sayangnya Ara tak melihat wajah murka Abian, dia juga bukan wanita berpenglaman, hingga tahu lelaki berhasrat harus tersalurkan.
Dengan tanpa merasa bersalah Ara meninggalkan Bian kekamar mandi guna membersihkan diri. Dan saat dia keluar kamar mandi Bian sudah tak di tempatnya lagi. Ara tak ambil pusing dia malah bersukur Bian tak lagi menggangunya.
Bian tak juga mau bicara, sikap hangatnya tadi malam lenyap tak berbekas, Ara yang sudah biasa menghadapi Bian, tak ambil pusing dia memilih mengabaikannya.
Bian melemparkan tas hitamnya di atas sofa dengan kasar. Penolakan Ara membuat hatinya meradang siapa Ara hingga lancang menolak dirinya.
Gara-gara Ara modnya seharian jadi tak enak. Dan anak buahnyalah yang jadi imbas penolakan Ara.
"Ada apa? dari tadi aku lihat emosian mulu," ujar Bayu seraya duduk di sebelah Bian,sementara Bian tengah sibuk dengan laptopnya. Saat ini mereka sedang berada di ruang kerja Bian. Beberapa saat lalu Bian dan Bayu mengadakan rapat dengan para Staff devisi.
"Begitu menurutmu," ujar Bian tanpa melihat Bayu.
"Kenyataannya kan?"
"Oh ya, aku dengar Septia pulang ke Indonesia kau sudah dengar?"
Bian terlihat menghentikan aktivitasnya lalu beralih menatap Bayu lekat.
"Apa kau bilang?"
"Septia kembali ke indonesia."
Bian meraih gawainya di atas meja, lalu menenlpon seseorang.
"Kau sudah di sini?" Tanya Bian pada lawan bicaranya di telpon.
"Kenapa tidak mengabari aku?" ujarnya lagi dengan ekpresi tegang.
"Baiklah aku akan menemui mu," ujar Bian lagi lalu menutup telponnya.
"Benarkan?"
"Hemmm," sahut Bian sembari melanjutkan kerjanya.
***
Ara baru saja membuka buku pelajarannya saat terdengar bunyi bell. Siapa yang datang kalau Abian tak mungkin membunyikan bell.
Saat bell berbunyi untuk yang kedua kalinya, Ara pun bergegas membuka pintu dan memeriksa siapa tamunya.
Seorang wanita paruh baya dengan wajah cantik dan gaya elegant tengah menatap Ara dari ujung rambut hingga kaki.
"Kau siapa?" tanya wanita itu penuh selidik sedang netranya tak lepas menatap Ara.
"Saya Art tuan Bian nyonya," jawab Ara, dia menduga wanita ini adalah ibunya Bian.
"Mari silahkan masuk nyonya," ujar Ara sembari memberi ruang untuk wanita itu masuk kedalam.
"Dimana Bian?" Tanya wanita itu dengan gaya yang begitu angkuh.
"Belum pulang nyonya."
"Kau tinggal serumah dengan putraku?" Tanya wanita itu dengan ekpresi tak suka.
"Tidak nyonya, kalau tuan mengabariku dalam perjalanan pulang, aku juga pulang nyonya," sahut
Ara berbohong.
"Bagus! sekarang kau boleh pulang, Abian sedang dalam perjalanan pulang sekarang!"
"Baik nyonya," ujar Ara sembari beranjak keluar dari apartemen.
Benar saja tak lama berselang Abian pulang ke apartement.
"Ibu, kenapa tak mengabari aku dulu kalau mau datang?"
"Kenapa harus mengabari mu dulu, aku ibumu Bian! mau datang ya tinggal datang," ujar ibu Bian meradang.
"Siapa yang membukakan pintu bu?"
"Tentu saja pembantumu."
"Mana dia bu?"
"Sudah pulang, kau apa sudah gila cari pembantu semuda itu, berbahaya Bain."
Bian tak menanggapi ocehan ibunya. Dia sedang memikirkan Ara sekarang.
"Bian, ibu datang bukan tanpa alasan. Ibu dengar Septia kembali ke indonesia, temui dia." Bian menatap ibu sekilas lalu beranjak duduk di samping ibuk.
"Aku baru saja pulang dari menemuinya ibu."
"Bagus, jangan sia-siakan kesempatan ini Bian, lihatlah usiamu sudah tak muda lagi," ujar ibu sembari mengusap punggung putranya.
Kalau soal karir ibunya tak meragukan Bian, tapi soal asmara yang membuat ibunya khawatir.
"Ya udah ibu pulang dulu, ibu lega kau sudah menemui Septia," ujar ibu sebari beranjak bangkit.
"Aku antar bu." Bian mengikuti langkah ibu keluar apartement.
Ara memainkan ujung sendalnya, menggores pasir dengan bentuk abstrak. Kedatangan ibu Bian menyadarkan posisinya di samping Bian yang beberapa saat lalu sempat membuatnya lupa dan terhanyut oleh pesona suaminya.
"Ara!" Suara Bian yang tiba-tiba ada di sampingnya membuyarkan lamunan Ara.
"Ah tuan, apa nyonya sudah pulang?" Bian mengangguk. Netranya menatap lekat wajah Ara, ada kilauan rasa iba di dalam sana. Ara benci melihatnya, benci melihat tatapan iba itu.
"Ayo pulang."
Ara beranjak bangkit, melangkah melewati Bian yang masih mematung di tempatnya. Sejurus kemudian Bian sudah me-sejajari langkah Ara, dengan hangat menggenggam jemari Ara mengisi ruang kosong di sela-sela jarinya. Tapi, perlahan Ara melepas jemari Bian menarik tangannya menjauh. Ara tak akan tertipu lagi oleh orang yang di takdirkan bukan untuknya.
"Ada apa kau marah padaku?" Tanya Bian seraya meraih jemari Ara kembali.
"Marah? mengapa marah padamu tuan," ujar Ara dengan senyum tipis dibibirnya.
"Aku tidak tau, tapi kalau kau tidak marah mengapa kau melepas genggamanku?"
"Ini diluar apartement tuan, apa tuan tidak takut ada yang melihat perbuatan tuan?"
"Tidak," sahut Bian seraya kembali meraih jemari Ara menggenggamnya erat.
Ara tak menolak, dengan sudut matanya Ara memandang Bian yang menatap lurus kedepan.
"Kau ada waktu?" Tanya Bian saat mereka sudah berada di dalam apartemen. Ara menggeleng.
"Sibuk apa kau hingga tak punya waktu?"
"Maaf tuan tugas sekolahku menumpuk dan besok harus sudah di kumpul," ujar Ara sembari menatap Bian.
"Baiklah kerjakan dulu tugas mu," sahut Bian sembari melepas genggamannya lalu beranjak kekamarnya.
Ara menatap punggung kekar Bian dengan hembusan napas berat. Maaf Bian Ara hanya tak ingin terjebak oleh perasaannya pada Bian.
Ara masuk kekamarnya lalu mengunci pintu kamarnya dari dalam. Mulai saat ini dia tak kan menerima tamu yang diam-diam menyelinap masuk kekamarnya. walau sesungguhnya dia ingin dan rindu.
Bian baru saja merebahkan tubuhnya, ketika dering ponselnya terdengar.
"Septi ada apa?"
"Kangen tau," terdengar suara merdu dan manja di sebrang telpon.
"Baru saja ketemu kau lupa?"
"Iya begitu kau pulang langsung kangen," ujar Septi sembari tertawa kecil.
"Bian."
"Hemmm."
"Apartement mu masih yang lama?"
"Iya ada apa?"
"Gak ada nanya aja."
"Jangan coba-coba datang ke apartement ku, kau tau aku jarang ada di sana."
"Iya, iya, kau terdengar takut menerimaku sebagai tamu."
"Jangan mengada-ada! Sep aku banyak kerjaan sudah dulu ya."
"Hmm baiklah," ujar Septi dengan perasaan kecewa.
Bian menghembuskan napas kasar harusnya dia senang Septia Angraini gadis yang dia kencani selama hampir empat tahun itu kembali lagi. Nyatanya tidak, pikirannya bercabang dua sekarang, separuh hatinya sedang memikirkan gadis yang tinggal serumah dengannya tak lain adalah istrinya.
Bian mengusap wajahnya dengan kasar, tak menyangka perasaannya akan serumit ini, kehadiran Ara tak mampu di abaikannya.
.
.
Happy reading.
Hay readers emak, maaf kalau Up nya lama. Emaknya meriang gak ***** makan mod nulis pun hilang. Dan bagi yang udah mampir jangan lupa beri dukungan ya 🥰🥰🥰🙏🙏