Mira adalah seorang IRT kere, memiliki suami yang tidak bisa diandalkan, ditambah keluarganya yang hanya jadi beban. Suatu hari, ia terbangun dan mendapati dirinya berada di tubuh wanita lain.
Dalam sekejap saja, hidup Mira berubah seratus delapan puluh derajat.
Mira seorang IRT kere berubah menjadi nyonya sosialita. Tiba-tiba, ia memiliki suami tampan dan kaya raya, lengkap dengan mertua serta ipar yang perhatian.
Hidup yang selama ini ia impikan menjadi nyata. Ia tidak ingin kembali menjadi Mira yang dulu. Tapi...
Sepertinya hidup di keluarga ini tak seindah yang Mira kira, atau bahkan lebih buruk.
Ada seseorang yang sangat menginginkan kematiannya.
Siapakah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rina Kartomisastro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21
"Kudengar, kamu sedang mengurus kepulanganmu ke Philadelphia, Theo?" ucap Melinda di sela acara makan siang bersama di akhir pekan itu.
"Ya, Bu Direktur."
"Seharusnya jangan pernah kemari," sela Virgo yang segera dihentikan Melinda dengan decakan bibir.
Mira mengangkat wajah, mendapati Theo tepat di seberangnya.
Kenapa si cecunguk ini sudah mau pulang?
Wanita itu lantas buru-buru menunduk ketika Theo balik melihatnya.
"Jika mau, aku akan memberi suntikan dana untuk bisnismu. Kau bisa bawakan aku proposal, aku akan mempelajarinya."
Perkataan Ben membuat Virgo merasa geli.
"Kalian tahu kata-kata lucu hari ini? 'Aku akan memberikan suntikan dana' Hahaha..." Virgo menghentikan tawa setelah Mona memberikan cubitan kecil. "Tapi itu memang sangat lucu," katanya sambil mengusap air mata yang muncul di ujung matanya sedikit.
"Tidak perlu. Aku bisa mengurusnya sendiri," jawab Theo dengan tegas.
Sementara itu, Si Bungsu, Emily lebih banyak menunduk menikmati makanan tanpa berkeinginan menimpali obrolan. Sorot kesedihan terpancar dari wajah cantiknya.
***
"Kamu bilang akan lama tinggal di sini, lalu kenapa tiba-tiba sekarang sudah mau pulang?"
Usai makan bersama, Emily mengajak Theo mengobrol di salah satu sisi taman. Duduk di kursi dekat patung marmer pria khas Yunani Kuno.
"Ternyata tak banyak yang bisa aku lakukan di sini."
"Katanya mau ekspansi bisnis. Apalagi kakakku bilang akan memberikan suntikan dana."
"Kamu tahu aku tidak pernah berhubungan baik dengan kakakmu itu."
Emily cemberut, "Kalau kamu pergi, aku main dengan siapa lagi? Atau aku ikut saja ya ke Philadelphia? Hmm... sepertinya ide bagus!"
Theo tak lagi fokus mendengar perkataan Emily. Dari kejauhan, ia melihat Ben sedang berjalan bersama Shandy menuju area bangunan rumah kedua yang tak jauh dari bangunan utama.
Shandy tampak menarik tangan Ben seolah tak sabaran.
"Siapa wanita itu?"
Emily melihat ke arah yang dimaksud Theo. "Oh itu Kak Shandy, pacarnya Kak Ben."
"Maksudmu mantan pacar?"
"Bisa dibilang begitu. Tapi gak sepenuhnya benar."
"Kenapa seseorang mengunjungi rumah mantan pacarnya?"
"Karena mereka masih berhubungan lah. Masak begitu saja gak ngerti. Eehh, kita belum selesai bicara, Theo! Mau kemana?"
Pria itu begitu cepat meninggalkan Emily. Ia segera mencari keberadaan Mira.
"Tante Mira dimana?" tanyanya pada pelayan pertama yang ia temui.
"Nyonya Mira ada di kebun mawar di belakang."
Theo tersentak. Seingatnya kebun mawar itu terletak di samping bangunan rumah kedua.
Dengan mengambil langkah panjang, Theo menuju kebun mawar.
Pria muda itu tampak panik dengan napasnya yang memburu. Namun saat sampai, ia malah melihat Mira tengah asyik memotong beberapa tangkai bunga.
Mira mengangkat wajah dan tersenyum mendapati keberadaan Theo. Wanita itu lantas melambaikan tangannya dari kejauhan, memberikan isyarat Theo untuk mendekat.
"Hadiah perpisahan dariku."
Theo menerima setangkai mawar kuning, secepat ia mendekat.
"Kamu tahu makna bunga mawar kuning?"
Theo menggeleng.
"Katanya jenius, begitu saja gak paham."
Sebenarnya Theo tidak benar-benar menyimak perkataan Mira. Pikirannya saat ini, hanya fokus pada rumah kedua. Supaya Mira tidak menyadari keberadaan Ben dan Shandy di sana.
Makanya, Theo hanya menjawab sekenanya saja, sambil sesekali menatap ke arah bangunan rumah kedua.
"Mawar kuning itu artinya persahabatan."
"Oke."
Oke? Cuma oke? Cuih.
Mira mencibir, bisa-bisanya tanggapan Theo begitu datar. Tidak tampak tersentuh sedikit pun dengan hadiah kecilnya itu.
"Tante mau kemana?" Theo berteriak, menyadari Mira hendak beranjak dari kebun itu.
"Aku mau taruh bunga-bunga ini di dalam rumah itu." Mira menunjuk ke arah rumah kedua, sambil membawa mawar kuning yang tersisa di tangannya.
"Kenapa gak diberikan semuanya? Kenapa yang diberikan padaku cuma satu tangkai aja? Aku mau semuanya!"
Mira terbelalak. Heran juga, pria dingin itu ternyata menyukai bunga lebih dari dugaannya.
Belum sempat menyahut, Theo merampas sisa mawar kuning itu dari genggaman Mira.
"Aku kira kamu gak suka dikasih bunga."
"Suka sekali!"
Mira mengangguk, sebelum berbalik lagi.
"Eehh Tante mau kemana?"
"Ke rumah itu, aku perlu mengambil sesuatu di sana."
"Biar aku yang ambilkan. Tante butuh apa?"
Mira mengulas senyum di bibirnya. Tanpa sadar, wanita itu mengangkat tangan, lantas menepuk-nepuk pelan tangannya di atas kepala Theo.
"Ternyata kamu manis juga. Tapi terima kasih, aku bisa melakukannya sendiri."
Theo tertegun.
Bagaimana tidak, menepuk kepala adalah kebiasaan yang dulu sering dilakukan Mira Mahalia padanya.
Terlalu kaget membuat Theo sampai lupa mencegah Mira. Begitu teringat, Mira sudah memasuki rumah. Theo masih berusaha menghalangi Mira, namun sepertinya sudah terlambat.
Wanita itu menghentikan langkah. Ia tertegun melihat pemandangan yang kini tersaji di hadapannya. Ben dan Shandy tengah beradu bibir dengan begitu ganas.
Tiba-tiba saja pandangan Mira gelap gulita.
"Jangan lihat, Tante. Ayo kita pergi dari sini."
Rupanya Theo menutup mata Mira dengan tangannya.
Namun Mira menyingkirkan tangan Theo. Wanita itu berbalik sebentar, "Kamu sengaja mencegahku ke sini karena mereka?"
Theo tidak menjawab.
Bukannya mengikuti saran Theo untuk pergi, wanita itu malah berhambur masuk.
Ditariknya kerah baju Shandy dengan kasar, hingga wanita itu terhuyung ke belakang. Ia lantas menjambak rambut Shandy sekuat tenaga, hingga beberapa helai rambutnya tersangkut di jari Mira.
"Aw, sakit Mira!"
Kamu pikir rasa sakitnya sebanding dengan rasa sakit Mira Mahalia diselingkuhin seperti ini?! Dasar jalang!
Shandy menjerit sambil berusaha melindungi rambutnya yang sudah berantakan.
"MIRA!" teriak Ben.
Theo buru-buru menahan Ben supaya tidak bisa menyentuh Mira.
Beruntung Mira tersadar, lalu memilih menghentikan perbuatan barbarnya itu.
Sembari menahan sakit, Shandy mengancingkan bajunya yang sudah terbuka.
"Aku tidak peduli kalian mau bermesraan dimanapun, tapi tidak di sini! Pergilah ke hotel, dan lakukan apapun yang kalian suka. Masak kalah dengan cabe-cabean yang melakukan itu di OY*?! Atau aku akan beritahu Bu Direktur semuanya."
Mira menatap tajam Ben dan Shandy bergantian.
Manusia-manusia gak punya hati! Tega sekali kalian dengan Mira!
Mira lantas pergi keluar dari rumah itu.
***
Mira menghela napas kesekian kali di kursi bar sebelah ruang makan.
Puas sekali rasanya memberi pelajaran kepada Shandy, si wanita murahan. Setidaknya ia sudah sedikit membalas dendam Mira Mahalia.
Wanita itu lantas meneguk bir yang ia tuang dari salah satu botol di meja bar itu. Entah berapa persen kandungan alkoholnya, Mira tak tahu.
Yang jelas, ia segera mual saat meminumnya. Nyaris memuntahkan minuman yang setengahnya masih di mulut.
Siapa yang menyukai minuman seperti ini, sih? Huek.
Mira meraih tisu untuk mengeluarkan sisa minuman di mulutnya.
Theo tertawa. Ia menarik gelas Mira, dan meletakkannya agak jauh.
"Dari dulu kamu gak pernah bisa minum, Tante."
Mira menoleh.
Akhirnya aku punya kesamaan dengan Mira yang itu. Jangan bilang Mira Mahalia juga lebih suka bir pletok dibanding bir ini.
"Jadi Tante sudah tahu hubungan mereka?"
Mira mengangguk.
"Lalu kenapa kalian tidak bercerai?"
Mira berpikir sejenak. "Aku belum tahu detailnya, tapi yang jelas pernikahan kami tidak sesederhana itu sejak awal. Pernikahan ini bukan pernikahan biasa."
"Theo, maukah kamu membantu memulihkan ingatanku? Seperti yang kamu bilang waktu itu. Aku harus mendapatkan ingatanku kembali. Aku harus tahu apa rencana yang sudah kubuat itu. Banyak hal yang ingin aku tanyakan. Tetaplah di sini, jangan kembali ke Philadelphia dulu."
Theo meneguk minumannya dalam diam. Ia menatap ke arah Mira, lalu mengangguk.
Keduanya tak menyadari obrolan mereka didengar Max sejak tadi.
***