Bawa pesan ini ke keluargamu!
Teruslah maju! Walau sudah engkau tidak temui senja esok hari. Ada harapan selama nafas masih berembus.
Bawa pesan ini lari ke keluargamu!
Siapa yang akan menunggu dalam hangatnya rumah? Berlindung dibawah atap dalam keceriaan. Keset selamat datang sudah dia buang jauh tanpa sisa. Hanya sebatang kara setelah kehilangan asa. Ada batu dijalanmu, jangan tersandung!
Bawa pesan ini ke keluargamu!
Kontrak mana yang sudah Si Lelaki Mata Sebelah ini buat? Tanpa sengaja menginjak nisan takdirnya sendiri. Tuan sedang bergairah untuk mengejar. Langkah kaki Tuan lebih cepat dari yang lelaki kira. Awas engkau sudah terjatuh, lelaki!
Jangan lelah kakimu berlari!
Jika lelah jangan berhenti, tempat yang lelaki tuju adalah persinggahan terakhir. Tuan dengan tudung merah mengejar kilat.
Tuan telah mempersembahkan kembang merah untuk Si Lelaki Mata Sebelah.
Sulur, rindang pohon liar, sayupnya bacaan doa, lumut sejati, juga angin dingin menjadi saksi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Indy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Titik Balik
..."Setidaknya orang selalu berkata, jika roda terus berputar. Adanya kita berada di bawah adanya berada di atas. Jika takdir telah merusak segalanya maka, aku akan berdiri tegak lalu membangun gapura hancur." -Altar....
Sore hari dengan banyaknya serangga indah berterbangan ke sana kemari. Kupu indah juga cuitan belalang. Lelaki bertubuh kekar menyentuh danau buatan manusia, berada di tengah rumahnya yang megah.
“Kebetulan kamu datang, Julian. Ayahanda ingin bertemu denganmu.”
Mengangguknya. “Aku juga ingin menanyakan sesuatu.”
“Silakan,” jawab Bryan.
“Kemarin, waktu kamu mengajakku jalan-jalan ke festival. Kamu berbicara dengan Tuan Wonka. Tetapi, mengapa namamu tidak berada di pintu keluar dan Tuan Wonka tidak ada dalam daftar. Apakah kalian menyusup?”
Bryan mengembangkan senyumannya. “Aku mengikutimu. Tetapi, kamu terlalu cepat. Aku kehilangan arah.”
“Dan kamu tidak kembali ke Festival."
“Tidak,” jawab Bryan.
“Kemana kamu?”
Berdirilah Bryan di depan Julian tepat. Kedua manik saling beradu. Julian tidak pernah melihat lelaki bertudung merah yang dikatakan oleh Tuan Zion dan Clause. Tetapi, jika hanya mata mereka yang merah maka Bryan bisa dikategorikan.
“Apa kamu mencurigaiku?”
“Karena kamu juga bermata merah.”
“Aku juga bertemu dengan pembunuhnya, Julian.” Sedikit nada naik membuat Julian terpaku seketika.
Bibir merah Julian terkatup sempurna.
“Dan aku takut. Tetapi, aku tidak pernah mengatakannya karena aku tidak terlibat.”
Kalimat mana yang akan Julian ujarkan? Ketika seseorang yang ternyata dicurigai juga merupakan salah satu korban.
“Justru aku melihat Clause berada dalam tudung itu. Aku menepis semua prasangka. Mengingat dia adalah keturunan Zegar. Tapi, bisakah aku percaya padamu. Setidaknya Julian tidak akan pernah mengkhianatiku, kan?”
Merasa akan tekanan kasus semakin berat. Membuat kepalanya pusing secara mendadak. Bryan menatap ke atas. Mencoba menetralkan matanya yang memanas akibat kebingungan dalam pikirannya sendiri. Bergerak pelan memeluk lelaki bermata hijau itu.
"Maafkan aku," Bryan melirih. Begitu melihat Julian dala ketenangan membuat rasa bersalah menjalar.
Selama beberapa jam sudah menunggu di depan api unggun kecil. Ide Clause hanya membuat Tuan Zion lelah dengan penantian itu. Setelah mendapatkan beberapa gerimis sedap, Clause berjalan menuju kuil bersama.
Sejenak menikmati pemandangan juga ukuran yang terpampang nyata di depan matanya. Ukiran teratai merah yang kebak di dinding. Atau alu yang dipasang di pintu masuk.
Clause sempat heran dengan alu itu, ternyata terjawab sudah.
“Apa sebenarnya yang ingin kamu pastikan Tuan Zion?”
“Menjawab pertanyaanmu pagi tadi. Sebenarnya aku cukup curiga dengan. Kuil ini yang mampu memberikan pesugihan. Mereka menyembah Dewi Tera yang notabenenya adalah Dewi Kekayaan.”
Berdecak Clause sebal. “Menyebalkan sekali. Aku tidak mau kembali.”
“Pintu Altar tidak terbuka." Suara Tuan Zion membuat Clause berheni marah gemas. "Ada altar lain yang berada di Kota Homura. Altar selalu dikaitkan dengan iblis dan jin. Kemungkinan Kasus Mayat Kering berasal dari sana. Dan,’” Tuan Zion melihat kuil. “Kuil itu, jalan masuknya.”
“Apakah kita akan masuk?”
“Iya, tetapi lihatlah siapa yang datang.”
Clause mengedarkan pandangannya disekitaran kuil dibangun. Seorang lelaki bertudung keluar dari gelapnya malam menuju Altar. Sembari terus mengawasi sekitar. Clause membungkam mulutnya ketika yang dia lihat adalah
Lelaki Bertudung Merah.
“Benar apa yang kamu katakan Tuan Zion.”
“Sudah aku katakan jika ada hubungannya dengan kuil.”
Lelaki bertudung merah itu nampak begitu sopan dengan gaya elegannya. Memberikan sebungkus yang entah apa isinya. Setelahnya lelaki bertudung merah itu pergi. Dengan lambang yang ada di bawah jubahnya, sebuah teratai merah menyala juga lambang yang hampir sama dengan kuil. Menguatkan alibi Tuan Zion jika Kuil itu adalah salah satu cara untuk kembali ke Altar Darah yang dimaksudkan oleh Pengelana.
Setelah memastikan lelaki bertudung merah itu pergi, Tuan Zion menggandeng Clause untuk mendekat pada kuil. Sedangkan, lonceng yang dipasang oleh pemandu doa kini berbunyi.
“Berhenti,” bisik Tuan Zion.
“Lonceng di atas kuil menandakan jika seseorang sudah meninggal bukan? Salah satu dari pengikut mereka?”Sejenak menebak.
“Setahuku juga begitu.”
Lelaki pemandu doa itu keluar dari lalu menerangi perjalanannya dengan lampu temaram. Seorang gadis juga keluar dari kuil.
“He, hanya menyaksikan dua orang bercinta?” tanya Clause tidak percaya.
“Serbuk apa yang diberikan oleh pembunuh, ya?”
“Aku juga penasaran. Kita harus mengambilnya.”
Dengan sedikit keberanian, kedua polisi yang sedang penasaran akhirnya sampai pada pintu kuil. Dibukanya perlahan. Lampu menyala menandakan adanya makhluk hidup yang mungkin berada di sana.
Clause berpegang pada dinding ketika dirasakan ada langkah kaki masuk. Ternyata salah satu penjaga malam yang hanya memeriksa keadaan. Pada dinding Clause merasakan adanya bebatuan yang di ukir sedemikian rupa. Setelah memastikan aman, lelaki penjaga itu pergi lalu mematikan lampu.
Clause keluar dari persembunyiannya. Dilihatnya batu yang mengganjal matanya. Tuan Zion menemukan sebuah lambang keluarga berada di sana. Menyentuh secara perlahan, menerka apa yang ada digambarnya.
Clause menghidupkan senternya, terkejut ketika nama Zegar disebut sebagai Kota.
“Kota Zegar,” lirih Clause.
“Sejenis prasasti. Awal mula cerita pasti ada di ujung sana.” Tuan Zion melupakan sejenak tujuannya untuk mengambil serbuk. Jikalau ada yang lebih menarik.
Mengisahkan, seorang pasangan suami istri yang sudah lama tidak dikaruniai anak berdoa pada Tuhan dalam keputusasaan. Pasangan suami-isteri itu datang dari terpencilnya kita hingga menemukan bukit yang dinamai Zegar. Merakit ekonomi dan melahirkan banyak bangsawan lainnya.
Suatu ketika, hiduplah dalam kemewahan. Karunia dari terjawab sudah. Seorang putri lahir dan diberikan nama Tera. Seorang putri yang memiliki tubuh sangat lemah, berambut putih seperti menua, dan lahir bersama batu merah menyala.
Putri Tera akhirnya menanam batu itu dengan tangannya dalam sebuah pot yang disembunyikan. Berada di tengah halaman rumah. Selalu merawatnya dan menyembuhkan dirinya setelah bunga pertama tumbuh.
Dari situ, Putri Tera memotong satu per satu akar dan menanamkan hingga melahirkan berbagai tanaman obat.
Hingga suatu ketika sebuah bencana muncul. Kerajaan Zegar dibantai dan peradaban mulai berubah. Keluarga Zegar tidak diketemukan lagi, dianggap jika keturunannya sudah tidak pernah ada. Namun, yang ditinggalkan hanyalah sisa lambang keluarga dan juga cara melestarikan jiwa Putri Tera yang masih terjebak dikediamannya.
“Putri Tera, adalah Zegar Kuno.” Clause tidak percaya mengenai cerita itu. Bahkan, tidak ada yang mengisahkan dalam keluarganya.
“Teratai ajaib sekarang dimana letak bunga itu?”
“Kuil ini dipercaya sebagai kamar Putri Tera,” lirih Clause. “Terdengar tidak masuk akal. Jika begitu, kediaman Zegar Kuno berada di sekitar Bukit Azur. Dan Teratai dianggap sebagai tanaman dewa itu ada di sini. Di Bukit Azur.”
Clause mengamati sekelilingnya. “Jika kuil ini adalah kamar Putri Tera, artinya aku sebagai keturunannya memiliki kekayaan itu dari dirinya.”
“Apakah kamu juga akan menjadi pemuja Dewi Tera?”
“Tidak,” Clause menjawab cepat.
Clause berjalan menuju depan Kuil. Ada peti yang tertutup di sana. Setelah membuka, berisikan tanaman teratai merah yang disebutkan. Hanya saja itu tumbuh secara normal.
Tuan Zion menyentuh bagian dalam kelopaknya. Terdapat serbuk merah di sana.
“Serbuk merah ini,” lirih Clause.
Nyala lampu mengagetkan keduanya. Dilihatnya lelaki pemuja doa yang berada di ambang pintu.
“Kalian penyusup!”
Degup jantung mewarnai setiap detik. Berhadapan dengan pembunuh sekarang bukanlah kesiapannya. Clause menghela nafasnya. Tuan Zion tampak tenang dengan kehadiran lelaki itu. Seakan tahu apa yang dipikirkan Tuan Zion.
Berjalanlah maju Clause lalu memberikan arloji yang selalu dia bawa. Dilemparkannya dan ditangkap dengan mudah.
Setelah melihat lambang keluarga yang terukir di sana dibarengi dengan rambut seliwir abu metalik, lelaki itu mengendur kewaspadaannya.
“Clause Zegar.”
“Itu aku,” akuinya.
Lelaki pembawa doa itu mendekati Clause lalu menarik sedikit rambutnya. “Auh,” mengerang Clause.
“Mengapa Anda masih ada di sini?”
“Aku hanya tidak tahu jika keluargaku memiliki sekte semacam ini.”
“Tuan bisa mengambil barangnya.”
Clause bingung tentu saja. Namun, dia hanya mengiyakan perkataan lelaki itu. Kepada lelaki yang membawa teratai merah bersinar.
“Anda kembali untuk mengambilnya, bukan?”
Clause menerima bunga teratai itu lalu mengangguk tegas. Setelah bergelut dengan banyaknya pemikiran akhirnya Clause dan Tuan Zion mengambil sekotak kaca itu. Berjalan menuruni bukit.
“Ini apa aku juga tidak tahu.”
“Sepertinya bukan apa-apa.”
“Serbuk merah itu berasal dari sari teratai. Halusinogen.”
“Kita akan menyerahkannya kepada Julian.” Tuan Zion memutuskan.
Dari balik kegelapan seseorang tersenyum nakal. Bertepuk tangan kecil. “Jebakannya dimakan ya,” lirihnya.
...***...
Melegakan diri menikmati pagi sambil terus berisik nyanyian. Seseorang membawa kail pancingnya. Dengan riang menuju danau luas dengan jembatan di atasnya menghubungkan daratan satu dengan lainnya.
Danau dengan air gemerlapan teriknya matahari menyapa indra penglihatannya. Sejenak duduk lalu memancing sejam dia jam berlalu.
Terheran mengapa ikannya tidak kunjung datang, ditariknya kailnya mengenai sebuah ikan besar. Terkejut matanya bukan main ketika seseorang tersangkut dalam kailnya. Berlarianlah lelaki itu sembari menyerukan penemuan mayat.
Mayat lelaki bermata satu yang dikenal sebagai Conny. Jasad yang tidak pernah diperhitungkan, membantu anak tersesat menemukan ibundanya, membantu seorang nenek yang kesulitan berjalan, hingga berkelana membawa adiknya sepanjang hidupnya.
Dari panti asuhan ke panti asuhan. Yang didapatkan lelaki itu hanyalah cacian dan makian. Hujan serapah selalu dilontarkan. Kepada lelaki bermata satu yang mati dibunuh kebaikan hatinya.
“Ada mayat di sana!”
Julian menoleh ketika seruan itu datang dari arah berlawan dengannya. Berencana untuk bersantai sebentar membeli jajanan harus diributkan dengan kasus apa lagi itu.
Julian menghentikan lelaki yang berlari ke sembarang arah. Tangannya mengigil karena ketakutan. “Wei, Tuan bisakah kamu mengulangi perkataanmu!” Sedikit berteriak Julian dikarenakan keributan pagi menjelang siang
“Ada mayat!”
“Di mana?”
“Di danau! Dia adalah Conny sang pengembara mata satu.”
Ah, Julian pernah mengetahui namanya ketika Conny melakukan donasi untuk panti asuhan Seorang anak buta. Padahal dia sendiri juga memerlukan pertolongan.
Julian segera mengistirahatkan beberapa kepolisian untuk mengikutinya. Sembari membayar apa yang dia pesan dari bapak jajanan pinggir jalan. “Aku akan mengambilnya nanti.”
Julian bergegas menuju danau yang dimaksudkan. Tentu saja teriakan bapak pemancing membuat kerumunan segera terjalin.
Mayatnya sudah mengambang.
“Evakuasi!” Perintah Julian.
Pergi sebentar untuk mengambil koper dan juga peralatannya berada di kereta mesin. Kereta mesin Clause tiba dengan sopirnya. “Butuh bantuan?”
“Ada korban tenggelam. Mayat di danau. Temui aku segera!”
Teriak Julian keras sembari berlalu.
“Yang benar saja!” Clause menghela nafas lelahnya. “Mana Tuan Zion sedang mengurusi Teratai menyebalkan itu pula!”
Berat hati atau suka cita dia tunggangkan kepada kaki yang lelah? Clause jarang mengeluh lelah karena memiliki stamina yang luar biasa. Walau begitu, dia hanya sering mengeluh.
“Tuan, pesanan Tuan Julian.”
Suara pedagang yang terdengar oleh telinganya menoleh segera. Memesan beberapa camilan enak juga es krim lezat. “Apa sudah dibayar?”
“Sudah, ini kembaliannya.”
“Simpan saja,” Clause berujar.
Clause melambaikan tangan kepada sopirnya. Bergerak maju untuk mengambil camilan itu. Menambah beberapa pesanan untuk sopirnya.
Melewatkan jajanan enak siapa yang akan menolak?
Clause berjongkok pada tempat di mana bapak pemancing duduk sebelumnya. Dilihatnya mayat yang sudah hampir membusuk dikarenakan lamanya terkena air.
Julian sudah menuruni jembatan dan berada pada sisi kanan kolam.
“Bagaimana?” tanya Clause.
“Sekitar tiga hari atau empat hari aku belum bisa memastikan. Mayatnya sungguh tidak bisa ditolong. Ada sayatan di leher. Korban dibunuh sebelumnya sebelum pada akhirnya dibuang di danau.”
“Conny bukankah dia Conny!” seruan warga membuat Clause menyadari.
Segera Clause menghampiri Julian. Mendekatkan bibirnya ke telinga Julian. “Conny adalah orang yang memberitahukan Pintu Altar.”
Julian terkejut. “Buset.”
Clause menjaga jarak, menghampiri kerumunan warga. “Apakah ada yang melihatnya sebelum dia meninggal?”
Semua pasang mata itu terlihat melirik satu sama lain.
“Tidakkah dia bersama dengan adiknya?”
Clause membenarkan itu.
“Dia membawa kereta mesin yang biasa ditunggangi.”
“Aku tahu dia melaporkan sesuatu kepada Tuan Zion.”
“Tim!” Teriak Clause sedikit lantang. Menjaga tim yang berada di sekitaran danau.
“Pencarian adik Conny atas nama Ellen! Jejak kereta mesin! Dan motif pembunuhan!”
Anggota kepolisian mengangguk.
Begitu banyak kasus yang ditemukan, mulai korban yang tidak pernah terdaftar atau mereka yang sengaja dikorbankan. Disamping itu semua, pembunuh dengan keji membunuh siapa saja yang mengetahui keberadaan mereka.
Tetapi, mengapa kepolisian tidak pernah terusik.
Julian, Clause, Tuan Zion, Tuan Amadeo, Kepala Kemiliteran. Mereka mengetahui rencana tetapi tidak pernah terusik.
Apa alasannya?
Clause melihat Julian yang membereskan mayat. Mengatakan kepada asistennya mengenai pencatatan. “Julian,” panggil Clause.
Mampu Julian lihat mata Clause yang selama sendu. “Ada apa?”
“Mengapa kak Liam tidak menjadi korban terdaftar?”
Julian mengernyit. “Aku akan membereskan mayatnya terlebih dahulu dan kita berbicara dengan Tuan Zion,” putusnya
...***...
Tangan sedikit kecil menggenggam kotak teratai merah yang dibawa ke rumah. Dalam kaca itu tampak begitu bersinar terang. “Aku kembali ke kuil, dan lelaki itu masih berdoa seperti yang kita sebutkan. Dalam kuilnya dia mengatakan jika seseorang yang sangat istimewa sedang membawa Bunga Dewa untuk kekayaan.”
Tuan Zion menatap Clause lekat. Di tengah ruang rapat mereka Julian masih sibuk dengan pencatatan mayat Conny.
“Dia merujuk kepada kita.” Clause menunduk. Mengelus pinggir kaca teratai. “Aku hanya merasa bersalah dengan para korban. Jika keluarga Kuno Zegar terlibat akan masalah ini. Keluargaku juga akan kena masalah.”
Tuan Zion akhirnya menghampiri lelaki yang merenung berdiri di dekat jendela. “Iya, aku juga berpikiran sama. Apakah ayahandamu tidak menceritakan apa pun?”
“Bangsawan Kuno Zegar sudah musnah. Apa yang harus diceritakan? Yang terjadi di kuil itu hanya memungut sisa dari kekuatan Bangsawan Kuno Zegar.”
“Salah satunya teratai itu,” Julian menyambung. “Jika pembunuh memiliki mata merah apakah dia akan semerah darah dan..,” Julian menghampiri keduanya. “Mungkin Bangsawan Kuno Zegar dahulu memiliki mata merah.”
“Lalu dari perkawinan atau sejenisnya menghasilkan keturunan lain.” Julian hanya menyambungkan dengan ide konyolnya.
“Artinya, keluarga kuno Zegar adalah pemilik kota balik bukit yang runtuh akibat serangan. Siapa yang menyerang memangnya?” Clause sedikit semangat.
“Masih belum tahu,” jawab Tuan Zion.
“Altar yang dimaksudkan oleh Conny adalah danau dengan banyak teratai di dalamnya. Bukit Azur menyembunyikan itu semua.”
“Dan mengapa aku berada dalam daftar? Bukankah seharusnya kak Liam juga berada di dalamnya. Ayahku, semuanya.”
Julian menopang dagunya berpikir. “Mungkin ayahmu dan kak Liam tidak masuk spesifikasi.”
“Namun, mengapa mereka justru memasukkan Clause yang notabenenya malah pendiri Teratai Merah ini?”
“Sekte Teratai Merah pemuja Dewi Tera,” Julian mengangkat sebelah alisnya merinding.
Clause tersentak. “Benar juga, alasannya mengapa?”
Tuan Zion mengernyit. Menautkan tangannya meragu. "Semua korban juga masih muda dan berusia remaja setengah dewasa. Apakah mungkin mereka memiliki persyaratan unik?"
"Artinya berdasarkan usia juga. Paling muda 18 tahun dan Clause 23 tahun. Dalam rentang itu akan ada tumbal untuk malam esok."
"Mendata semua penduduk sebegitu banyaknya bagaimana bisa dilakukan jika tidak meminta bantuan."
Julian menggeleng. "Aku merasa kita jangan meminta bantuan Klan. Biarkan tugas ini kita yang tanggung."
"Aku juga berpikir seperti itu," jawab Tuan Zion.
Siang menampakkan dirinya. Sembari menunggu adanya informasi terkait penemuan mayat adik Conny seseorang harus menunda kesabarannya untuk malam selanjutnya. Namun, ada yang siap mati karenanya.
Clause berjalan di lorong menuju lantai bawah. Sekilas berhenti pada cermin hiasan didinding. menatap wajahnya sendiri yang memiliki rambut seliwir abu-abu.
"Jika Putri Tera dihancurkan oleh kalian yang berhati busuk. Maka, busur panah akan melayang pada diri kalian. Altar Darah!"
***
Bersambung..
Meski hati terserang rindu akan rumah tapi canda teman sesama menjadi penghangat lara, namun mereka tak tau ada sesuatu yang tengah mengincar nyawa.~~ Samito.
numpang iklan thor/Chuckle/
Iklan dikit ya thor🤭