Yao Chen bukanlah siapa-siapa. Bukan seorang kultivator, bukan pula seorang ahli pedang. Pangeran hanya memiliki dua persoalan : bela diri dan istrinya.
Like dan komen agar Liu Xiaotian/Yao Chen dapat mencapai tujuan akhir dalam hidupnya. Terimakasih.
Peringatan! Novel berisi beberapa adegan yang diperuntukkan bagi orang dewasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WinterBearr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 - Menggali Kuburan Sendiri Demi Kehormatan
Di tengah keramaian Kota Tianlan pada malam itu, suasana ramai berubah saat seorang prajurit pemberi kabar atau yang biasa mereka sebut Zhan Dui melaju kencang membelah jalanan kota.
Prajurit itu memacu kudanya secepat angin, harap-harap cemas kabar yang dia berikan ke istana tidak membusuk termakan oleh waktu, atau lebih buruknya lagi, kabar yang ia berikan malah memisahkan kepala dari tubuh letihnya.
Di dalam aula utama istana, bangunan yang berdiri bersebelahan dengan wang fu, dimana anggota keluarga Yao menetap, kebisuan sedang melingkupi para penjaga dan pelayan.
Semua pasang telinga mendengarkan setiap derap kipas yang diayunkan perlahan oleh Li Mei. Dengan percaya diri, ia mengipasi putranya yang duduk jigang di atas tahta mulia kerajaan. Bajunya mewah, parfum yang di pakai kala itu akan mudah memikat setiap wanita yang dilaluinya. Itu hanya membuat senyuman pemuda itu semakin sombong.
"Putraku," ucapan wanita berusia 50-an itu masih terdengar lembut, begitu pula dengan parasnya yang masih terlihat seperti seorang wanita berusia 30-an. "Lihatlah dirimu, begitu gagah dan berwibawa ketika duduk di sana. Bukankah ini memang tempatmu?"
"Ibu... sejujurnya aku masih tidak mengerti," balas pemuda itu tanpa menoleh. Pandangan matanya tertuju pada setiap prajurit dengan zirah dan tombak yang siap mati untuknya kapan saja. "Awalnya aku tidak mengira jika menjadi seorang Kaisar ternyata akan semudah ini. Walaupun aku duduk di sini hanya sampai ayah pulang."
Senyuman Li Mei memudar sedikit, membungkuk lalu mengusap kedua pipi putra kesayangannya. "Oh sayangku, Liangcheng," ujarnya dengan nada manja. "Berhentilah meragukan dirimu. Kau pantas mendapatkan semua ini. Ayahmu juga akan mengakuinya suatu saat nanti, aku akan menjamin hal itu setelah dia pulang."
"Tapi bu... apakah aku benar-benar pantas?"
"Sayang," menarik dagu anaknya hingga kedua mata mereka bertemu. "Kau adalah putraku, satu-satunya yang layak untuk keluarga kita. Jangan biarkan keraguan menghalangimu. Kau tahu ayah sedang sibuk mencari kakakmu yang lemah dan tidak berguna. Sekarang adalah waktumu untuk membuktikan kepada semua orang, bahwa kau yang pantas untuk memegang kendali Lianyun."
Mendengar ucapan ibu tercinta, Yao Liangcheng sempat tertegun sejenak sebelum akhirnya meraih sebuah botol kayu dengan cepatnya. Dia menenggak seisi botol dengan rakus, lalu menghapus sisa minuman keras di sudut bibirnya dengan punggung tangan. Tak lupa, pemuda itu memancarkan seringai yang kerap dia utarakan sebagai pertunjukan terakhir. "Benarkah, ibu?" desah Liangcheng setelah berhasil menenggak habis. Cairan hangat yang masuk menuruni tenggorokannya itu membakar, memberikan sensasi kekuatan semu yang sebenarnya tidak ia butuhkan.
Belum sempat memberi balasan untuk putranya, suara langkah kaki terdengar mendekat tepat di belakang mereka. Langkah yang anggun, bersamaan dengan wangi-wangian dari bunga segar tercium seketika. Istri baru Liangcheng datang membawa sepiring buah-buahan yang telah dipotong rapi. Sorot matanya tertuju langsung pada sang suami.
Melihat kehadiran menantunya, Li Mei tampak resah. Dengan senyum sinis yang ia paksakan, wanita itu melipat kipasnya lalu melemparnya tepat mengenai pipi Hua Huifang. "Sebagai istri, seharusnya kau tidak suamimu kepanasan di saat-saat genting seperti ini! Apakah kau memahami apa artinya menjadi istri seorang pangeran?!"
"Sudahlah ibu... " tawa Liangcheng terdengar oleh semua orang di sana, ia menengahi, memberikan senyuman berbalas kepada istrinya. "Kemana saja kau, Sayang? Aku lelah menanti buah-buahan yang sedang kau siapkan."
Melihat garis senyuman di bibir mantan istri Yao Chen itu, membuat darah di nadi Liangcheng berdesir kencang, membuatnya tersipu malu akan kecantikan bak dewi yang kini berada di dalam genggaman tangannya. Rasanya begitu 'nikmat' mengambil suatu hal yang begitu berharga dari orang yang sangat dia benci.
Mendengar pertanyaan suaminya, Sang Ratu Iblis menunduk patuh, penuh hormat lalu mengambil buah-buahan dari piring dan mulai menyuapi Yao Liangcheng satu persatu. Liangcheng memang nakal, dia tidak hanya memakan buah-buah itu, namun juga melahap jemari Hua Huifang. "Aneh ya," ujar pangeran seraya tangan kanannya mulai menjarah tubuh Huifang mulai dari leher dan semakin turun. "Aneh jika berpikir saudara cacatku dapat menikmati tubuh indahmu setiap malam."
"Aku sangat menantikan giliranku," tegasnya, ketika tangan kirinya hampir berhenti di dada Hua Huifang.
Di saat yang tidak tepat bagi Liangcheng, salah satu urusannya berjalan masuk melalui pintu utama, membawa kegaduhan dengan langkah berat yang tidak terduga.
Seorang prajurit, Zhan Dui yang tadi memacu kudanya masuk dengan napas terengah-engah, lututnya menyentuh lantai sebagai tanda hormat.
Liangcheng menatap prajurit itu dengan alis terangkat. "Apa yang membuatmu berani mengganggu kami seperti ini?!"
"Yang Mulia, saya datang untuk membawa kabar penting," jelasnya masih berusaha menyesuaikan nada bicaranya yang ngos-ngosan. "Yao Chen... tim pengintai telah mengkonfirmasi jika Yao Chen masih hidup."
Suasana seketika hening, setidaknya untuk beberapa detik sebelum piring berisi buah-buahan melayang dan jatuh, pecah berhamburan tepat di depan prajurit yang sedang berlutut. "Lagi-lagi! Ini laporanmu yang ke tujuh kaliannya, dan selalu sama! Bagaimana cecunguk itu tidak mati?! Apakah kalian tidak memastikannya terlebih dahulu setelah membunuhnya?!"
Liangcheng berdiri, wajahnya merah, matanya melotot. Sang Pangeran mengayunkan tangan kanannya ke prajurit itu, menuding-nudingnya seperti seekor anjing yang melakukan kesalahan. "Eksekusi semua prajurit yang sebelumnya telah mengkonfirmasi kematian Yao Chen! Aku tidak membutuhkan orang-orang yang tidak bisa di percaya."
Beberapa prajurit bertombak yang sedari awal berdiri di samping pintu, lantas menyeret paksa prajurit pemberi kabar barusan, membawanya ke ruang eksekusi. Suara permohonan ampun dari prajurit yang diseret hanya terdengar seperti lolongan serigala di malam hari, tidak satu pun memperdulikan tangisannya.
Berulangkali Yao Liangcheng memijat pelipisnya, berputar-putar dengan jemarinya, sebelum jemari Huifang menggantikannya, memijat pelipis suaminya ketika Sang Pangeran terduduk lemas. "Suamiku... " bisik Huifang tepat di telinga Liangcheng sambil terus memberikan pijatan yang begitu mantap. "Tidak ada yang perlu di cemaskan, aku yakin Anda jauh lebih baik dari Yao Chen... itulah kenapa saya bersedia menikah dengan Anda."
"Ingat perjanjian yang terikat diantara kita, suamiku. Yao Chen harus mati bagaimana pun caranya, jika tidak... maka kutukan darah iblis Baifeng akan terus menghalangi kita untuk bercinta, sehingga kau tidak bisa mendapatkan keturunan dariku seperti yang selalu kau impikan."
"Kau pikir aku takut dengan kutukan itu?" Liangcheng menatap senyuman istrinya dengan tatapan tajam. "Aku tidak akan menunggu lagi. Aku akan membunuh Yao Chen dengan tanganku sendiri!"
Ucapannya membuat senyuman Huifang makin tulus, takjub dengan keberanian suaminya.
Sedangkan ibunya, Li Mei berganti menjadi khawatir. "Kenapa tidak menunggu Perburuan Jiwa Surgawi bulan depan?" ujarnya mendekati putranya yang terus mendengus. "Di sana kau bisa memanfaatkan kekuatan dari para monster, karena Yao Chen pasti juga akan ke tempat itu seperti yang sudah-sudah."
"Tidak, ibu." Liangcheng berdiri tegak, merasa tertantang. "Ini demi kehormatan kita... dan demi istriku tercinta!"