"Cahaya di Tengah Hujan"
Rini, seorang ibu yang ditinggalkan suaminya demi wanita lain, berjuang sendirian menghidupi dua anaknya yang masih kecil. Dengan cinta yang besar dan tekad yang kuat, ia menghadapi kerasnya hidup di tengah pengkhianatan dan kesulitan ekonomi.
Di balik luka dan air mata, Rini menemukan kekuatan yang tak pernah ia duga. Apakah ia mampu bangkit dan memberi kehidupan yang layak bagi anak-anaknya?
Sebuah kisah tentang cinta seorang ibu, perjuangan, dan harapan di tengah badai kehidupan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 1337Creation's, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harga Diri yang Terdonai
Bab 3: Harga Diri yang Ternodai
Matahari belum sepenuhnya tinggi ketika Rini menggenggam erat kedua tangan anak-anaknya. Ia mengenakan baju terbaik yang ia miliki—blus biru pudar dan rok hitam yang warnanya mulai memudar. Di dalam tas kain yang sudah robek di salah satu sisinya, tersimpan berkas-berkas lamaran kerja yang telah ia tulis rapi semalaman.
Hari itu, Rini mendengar kabar bahwa sebuah keluarga kaya di ujung kota sedang mencari asisten rumah tangga. Gaji yang ditawarkan jauh lebih besar dibandingkan pekerjaannya saat ini di pasar. Jika diterima, Rini yakin hidupnya akan sedikit lebih baik.
“Aditya, Nayla, kalian harus bersikap sopan, ya. Ibu mau cari pekerjaan supaya kita bisa makan lebih baik,” kata Rini, mencoba tersenyum untuk menyemangati anak-anaknya.
Aditya, meskipun masih merasa sedih karena pengalaman di sekolah, mengangguk pelan. Nayla, yang belum sepenuhnya memahami kesulitan hidup mereka, memegang tangan ibunya dengan erat sambil berjalan kecil-kecil.
---
Rumah yang mereka datangi jauh lebih besar dari yang pernah Rini bayangkan. Pagar besinya tinggi, dengan pintu gerbang otomatis dan taman yang penuh bunga-bunga mahal. Rumah itu berdiri megah, dengan dinding putih berkilauan seperti tak pernah terkena debu.
Rini berdiri gugup di depan gerbang. Ia menekan bel, dan suara mesin otomatis terdengar sebelum seorang wanita muda keluar dari dalam rumah. Wanita itu adalah Ibu Ratna, istri pemilik rumah, dengan wajah angkuh dan busana mahal yang berkilauan.
“Ada apa?” tanya Ibu Ratna dingin, matanya menyapu Rini dari kepala hingga kaki dengan pandangan penuh penghinaan.
“Saya mendengar Anda sedang mencari asisten rumah tangga. Saya datang untuk melamar,” jawab Rini sopan, sambil menyerahkan berkas lamaran yang telah ia persiapkan.
Ibu Ratna mengambil berkas itu dengan jari-jarinya yang bersih tanpa cela, seolah takut terkena kotoran. Ia membacanya sekilas, lalu tertawa kecil.
“Kamu bercanda? Dengan penampilan seperti ini, kamu pikir bisa bekerja di rumahku?” katanya sinis.
“Maaf, Bu. Saya memang bukan orang kaya, tapi saya pekerja keras. Saya sangat butuh pekerjaan ini,” jawab Rini dengan suara gemetar, mencoba tetap tegar.
Saat itu, suami Ibu Ratna, Pak Herman, muncul dari dalam rumah. Ia melihat Rini dan anak-anaknya dengan ekspresi jijik.
“Apa ini? Pengemis di depan rumah kita?” tanyanya dengan nada mengejek.
“Bukan, Mas. Dia datang melamar kerja. Tapi lihat saja, baju kumal begitu, mana mungkin dia cocok di rumah kita,” jawab Ibu Ratna, tertawa kecil sambil melirik suaminya.
Rini merasa darahnya mendidih, tetapi ia menunduk, menahan diri. “Saya hanya ingin bekerja dengan jujur, Pak. Saya butuh pekerjaan ini untuk anak-anak saya,” katanya sambil melirik Aditya dan Nayla yang berdiri ketakutan di belakangnya.
Pak Herman mendengus, lalu melangkah mendekat. “Kamu pikir orang seperti kamu pantas ada di rumah kami? Pergi sana, sebelum aku panggil keamanan!” katanya kasar.
“Saya mohon, Pak. Beri saya kesempatan...” Rini mencoba memohon, tapi Ibu Ratna memotong dengan nada menghina.
“Lihat saja anak-anakmu! Kumal, miskin, pasti bawa penyakit. Kamu pikir kami mau ambil resiko?”
Perkataan itu bagaikan pisau yang menusuk hati Rini. Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa, Pak Herman mendorongnya dengan keras hingga Rini terjatuh ke tanah. Tas kainnya terlempar, dan isinya berserakan di jalan.
Aditya dan Nayla menjerit. “Ibu!” Mereka segera berlari menghampiri Rini, mencoba membantunya berdiri.
Namun, penghinaan belum berakhir. Ibu Ratna melangkah maju, lalu meludah ke tanah di depan Rini. “Orang miskin sepertimu seharusnya tahu tempatmu. Jangan pernah muncul di sini lagi!” katanya dengan penuh penghinaan.
Aditya menangis sambil memeluk ibunya yang masih terduduk di tanah. “Bu, ayo kita pulang... Jangan di sini lagi...” katanya dengan suara parau.
Nayla yang masih kecil hanya bisa menangis keras, memeluk lengan ibunya sambil berkata, “Ibu, jangan sedih... Jangan nangis, Bu...”
Rini mencoba menahan air matanya, tetapi ia gagal. Dengan tangan gemetar, ia meraih berkas-berkasnya yang berserakan, lalu berdiri perlahan. Ia memandang pasangan kaya itu dengan tatapan penuh luka, tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun.
“Maafkan saya mengganggu waktu Anda,” katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar di antara tangis anak-anaknya.
Rini menggenggam tangan Aditya dan Nayla, lalu berjalan menjauh dari rumah itu, meninggalkan harga dirinya yang terasa hancur.
---
Sepanjang perjalanan pulang, Rini hanya diam. Hatinya terasa berat, seolah ada batu besar yang menghimpitnya. Namun, ia tahu bahwa ia harus tetap kuat, setidaknya di depan anak-anaknya.
Aditya masih terisak-isak. “Kenapa mereka jahat banget, Bu? Kita kan nggak salah...” tanyanya dengan suara tersendat.
Rini berhenti berjalan, lalu berlutut di depan kedua anaknya. Ia memegang wajah Aditya dengan kedua tangannya. “Nak, dunia memang tidak selalu adil. Tapi kita tidak boleh menyerah. Ibu janji, kita akan keluar dari keadaan ini. Kamu harus kuat, ya, untuk Ibu dan adikmu.”
Aditya mengangguk pelan, meskipun air matanya masih mengalir. Sementara Nayla memeluk ibunya erat-erat, seolah ingin melindungi ibunya dari rasa sakit.
Dalam hati, Rini bersumpah bahwa ia tidak akan pernah membiarkan anak-anaknya melihat penghinaan seperti itu lagi. Ia akan terus berjuang, seberapa pun sulitnya.
---