Novel ini diilhami dari kisah hidup Nofiya Hayati dan dibalut dengan imajinasi penulis.
🍁🍁🍁
Semestinya seorang wanita adalah tulang rusuk, bukan tulang punggung.
Namun terkadang, ujian hidup memaksa seorang wanita menjadi tangguh dan harus terjun menjadi tulang punggung. Seperti yang dialami oleh Nofiya.
Kisah cinta yang berawal manis, ternyata menyeretnya ke palung duka karena coba dan uji yang datang silih berganti.
Nofiya terpaksa memilih jalan yang tak terbayangkan selama ini. Meninggalkan dua insan yang teramat berarti.
"Mama yang semangat ya. Adek wes mbeneh. Adek nggak bakal nakal. Tapi, Mama nggak oleh sui-sui lungone. Adek susah ngko." Kenzie--putra Nofiya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 2 Demi Cinta
Happy reading 😘
...Cinta hadir seperti hembusan angin. Ia datang secara tiba-tiba dan dengan lancangnya menyelusup relung rasa. Bahkan terkadang tanpa disertai alasan yang bisa dimengerti....
...🌹🌹🌹...
"Nyai --" Ayu menginterupsi. Ia sengaja memotong cerita yang dituturkan oleh Nofiya karena tergelitik rasa penasaran.
"Apa, Mbokde?"
"Eng, aku pingin tau alasan yang membuat kamu mau menjadi pacar Bang Jae --"
"Kamu penasaran ya?"
"Huum, aku penasaran."
"Aku mau menjadi pacar Bang Jae karena aku salut dengan perjuangannya, Mbok. Bayangin aja, dia rela jauh-jauh datang ke desaku dan melewati jurang yang terkenal sangat angker demi membuktikan kesungguhannya," tutur Nofiya--menjawab rasa penasaran Ayu.
"Malam-malam lho, Mbok. Ditambah lagi hujan deres," imbuhnya.
"Iya juga sih. Lalu, bagaimana perasaanmu terhadap Bang Jae, Nyai? Apa kamu mencintainya?"
"Entahlah, Mbok. Aku nggak tau."
"Loh, kenapa kamu nggak tau?"
"Sebenarnya aku tipe orang yang sulit jatuh cinta, Mbok. Dan aku belum yakin perasaanku terhadap Bang Jae, beneran cinta atau hanya sekedar rasa salut dan kagum."
"Mungkin, kamu beneran cinta sama Bang Jae. Tapi karena suatu hal yang hanya kamu sendiri yang tahu jawabannya, membuat kamu tidak meyakini perasaanmu."
Nofiya mengendikkan bahu, lalu membuang nafas kasar. "Bisa jadi, Mbok."
Mungkin benar, menerima cinta seseorang dan menjadikannya sebagai kekasih terkadang tidak perlu disertai alasan yang detail. Cukup karena rasa salut atau rasa kagum.
"Ogeh, Nyai. Lanjutin ceritamu!"
"Baiklah, Mbok."
Nofiya pun mulai melanjutkan cerita, sementara ketiga sahabatnya kembali menyimak dengan hikmat.
Setiap cerita yang mengalir dari bibir Nofiya, terekam di ingatan Ayu dan kini menjadi kisah yang tertera di lembaran karya.
...🍁🍁🍁...
Nofiya dan Zaenal terperanjat mendengar suara bariton yang berasal dari dalam rumah. Mereka bisa menebak siapa pemilik suara itu. Terlebih Nofiya.
Sepersekian detik, keduanya saling berpandangan dan mematung.
Nge-freeze
"Fiya ...."
Sampai suara bariton itu terdengar lagi dan berhasil membuat mereka berdua tersadar.
"Fi, aku pulang sekarang ya," ucap Zaenal seiring usapan lembut yang ia labuhkan di pundak Nofiya.
Zaenal berusaha tetap tenang, meski rasa takut sudah mendominasi karena suara langkah kaki pemilik suara bariton itu terdengar kian mendekat.
"Iya, Zen. Hati-hati! Sampai di rumah, kabari aku!" Nofiya membalas ucapan Zaenal disertai tatapan lembut yang membuat pemuda itu kian terpesona.
Ah ... andai Nofiya mengijinkan, ingin rasanya Zaenal melabuhkan kecupan singkat di pipi atau di bibir ranum gadis yang kini berstatus sebagai kekasihnya.
Untuk saat ini Zaenal harus bersabar, tentu saja sampai mereka mendapat restu dari Ridwan dan berlabel halal.
Zaenal bergegas menggeber sepeda motor kesayangannya, sementara Nofiya bersegera masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
"Papa kok belum tidur?" Nofiya sekedar berbasa-basi. Ia lantas berjalan ke arah Ridwan yang kini tengah duduk di kursi tamu sambil memainkan gawai ditangannya.
"Siapa yang bertamu?" Ridwan balik bertanya, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Nofiya.
"Eng, Zen. Teman Fiya, Pa," jawab Nofiya ragu.
"Ada perlu apa dia datang malam-malam?"
"Dia --" Nofiya menggantung ucapannya.
Rasa takut yang saat ini memenuhi ruang pikir membuatnya ragu untuk berterus terang.
"Dia hanya ingin mengantar boneka dari Inul, Pa," jawab Nofiya--berdusta.
Maksud Fiya boneka dari Onal, Pa. Zaenal, ralatnya yang hanya tercetus di dalam hati.
"Kenapa bukan Inul sendiri yang mengantar bonekanya?"
Bak seorang terdakwa, Nofiya kembali dicecar pertanyaan.
"Fiya nggak tau, Pa. Mungkin, karena dia takut datang ke rumah kita. Maksud Fiya, dia takut karena perjalanan menuju rumah kita melewati jurang angker."
Nofiya memilin ujung bajunya dan sedikit menundukkan kepala. Ia teramat takut jika sang papa curiga dan tahu bahwa putrinya itu tengah berbohong, karena selama ini Nofiya tidak pernah berkata dusta. Terlebih pada papanya.
Maafin Fiya, Pa. Fiya terpaksa berbohong.
"Jika benar begitu, lain kali jangan datang malam-malam!" Ridwan berucap pelan. Namun penuh penekanan.
"Baik, Pa. Besok Fiya sampaikan ke Inul dan Zen."
"Ya sudah, segeralah tidur!"
"Iya, Pa. Papa juga segera tidur! Jaga kesehatan Papa."
"Hmm." Balasan singkat yang terdengar seperti dengungan seekor lebah.
Nofiya segera memutar tumit, lalu berjalan menaiki anak tangga menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua.
"Zen, semoga kamu nggak kenapa-napa di jalan," ucapnya lirih sambil memutar kenop pintu kamar.
Saat ini pikiran Nofiya dipenuhi oleh Zaenal. Ia teramat khawatir dan takut jika terjadi sesuatu terhadap pria itu.
Di tempat yang berbeda, Zaenal masih berjuang menerobos air langit yang turun kian deras.
Bulu kuduk Zaenal tiba-tiba berdiri saat kuda besinya melintas di jurang angker. Indera penglihatannya menangkap sesosok wanita bergaun putih tengah duduk di atas pohon sambil menatap sendu.
Wajah wanita itu terlihat muram, kentara sekali jika dia sedang bersedih.
Zaenal berpikir, wanita yang tengah duduk di pohon itu terlihat muram karena tidak ada satu pun makhluk yang peduli atau pun mau menemani kesendiriannya.
Mana ada makhluk yang mau menemani, apalagi manusia sejenis Zaenal?
Menatap wajahnya saja takut, terlebih melihat pakaian yang dikenakan. Sangat mirip dengan seragam dinas Mbak Kun di film horor.
Eh ....
"Jangan-jangan, wanita itu beneran Mbak Kun?" Zaenal bergidik ngeri. Ia bergegas menambah kecepatan kuda besinya, meninggalkan wanita bergaun putih yang tertawa melengking karena melihat Zaenal ketakutan.
"Sial! Kalau bukan demi Cintaku, aku nggak bakal nekat melewati jurang angker, apalagi di malam Jumat Kliwon."
Zaenal terus melajukan kuda besinya, tanpa memedulikan hawa dingin yang kian mendekap erat.
Di dalam kamar bernuansa biru, Nofiya masih terjaga. Matanya serasa enggan terpejam.
Berulang kali ia mengirim chat ke nomor Zaenal. Namun tidak satu pun yang dibalas oleh pemuda itu.
"Zen, kamu di mana? Sudah sampai rumah atau belum? Kenapa, kamu bikin aku khawatir?" monolognya diikuti helaan nafas panjang.
Ting ....
Bunyi pesan yang berasal dari gawai yang masih setia berada di genggaman.
Nofiya segera membaca nama pengirim pesan yang tertera di layar gawai.
'Zaenal Terconal-conal'
Ya, Nofiya menyimpan nomer Zaenal dengan nama yang terkesan unik, nyleneh, menggemaskan, dan lucu. Seperti karakter Zaenal. Meski sering kali Zaenal bermetamorfosa sebagai cowo' cool.
Fi, aku udah sampai rumah
Kedua sudut bibir Nofiya melengkung--membentuk senyuman saat membaca pesan balasan dari Zaenal.
Syukurlah. Kamu nggak kenapa-napa 'kan? ketiknya--membalas pesan.
Gawai Nofiya bergetar diiringi nada dering yang mengalun merdu.
Dengan tangan yang sedikit bergetar, Nofiya menggeser layar gawainya dan menerima vidio call dari Zaenal.
Terpampang wajah Zaenal memenuhi layar gawai dengan senyumnya yang teramat menawan.
Di mata Nofiya, saat ini ketampanan Zaenal bertambah sepuluh kali lipat dari biasanya karena terhias senyuman manis dan rambut yang tampak basah.
Hingga sepersekian detik, sepasang netra beningnya tak berkedip menyaksikan Maha Karya Illahi yang teramat indah.
"Hai, Fi."
Suara Zaenal memecah kaca lamun dan sukses membuat Nofiya tersadar.
"Ha-hai, Zen."
"Kamu belum tidur?"
"Seperti yang sedang kamu lihat. Aku belum tidur."
"Ehem, pasti kamu menunggu balasan pesan dariku. Iya 'kan?"
"PD amat."
Zaenal tertawa kecil, lalu menyandarkan punggungnya pada headbord.
"Kamu beneran nggak kenapa-napa 'kan, Zen?"
"Enggak. Cuma ketemu Mbak Kun yang lagi dinas aja di jurang angker. Kasihan banget nggak ada yang nemenin."
"Ih, beneran? Emang kamu nggak takut?"
"Enggak."
"Masa sih?
"Lagian, Mbak Kun nya nggak begitu nyeremin. Ada yang lebih nyeremin."
"Emang, siapa yang lebih nyeremin?"
"Yang lebih nyeremin, calon papa mertua."
"Sudah kuduga, kamu pasti bakal bilang begitu --"
"Meski terlihat nyeremin, tapi aku yakin beliau sangat baik dan seperti Hello Kity."
"He'em. Sebenernya papaku nggak nyeremin. Hanya saja, beliau itu tegas. Papaku posesif karena beliau sangat menyayangi anak-anaknya."
"Ya, aku juga berpikir seperti itu."
"Udah malam, Zen. Aku ngantuk."
"Aku juga ngantuk, Fi. Tapi aku kedinginan. Pingin dipeluk."
"Minta dipeluk mama-mu lah!"
"Nggak, aku 'kan udah gede. Maunya dipeluk sama Hello Kity-ku."
"Siapa?" Nofiya mengangkat satu alisnya ke atas.
"Kamu."
"Ishhh, emoh."
"Memelukmu di dalam mimpi, Fi. Kita berpeluk dan bercum-bu di bawah naungan sinar Sang Dewi Malam."
"Aish, sok sweet."
"Emang sweet."
"Dah ya, Zen. Buruan tidur."
"Iya, Yang. Sampai ketemu besok di kampus --"
Nofiya menggeser layar gawai dan mengakhiri vidio call, sebelum Zaenal sempat menyelesaikan ucapan.
"Selamat tidur, Zen," bisiknya lembut diiringi seutas senyum yang teramat manis.
Rasa bahagia memenuhi ruang kalbu kala ia teringat ucapan dan perlakuan Zaenal di malam ini.
Dengan senyuman yang masih membingkai wajah, Nofiya memejamkan sepasang netra indahnya dan mulai berlayar ke alam mimpi. Bersamaan dengan Zaenal. Namun di tempat yang berbeda. Kamar masing-masing.
Suara gemericik air langit yang jatuh dari langit dan hembusan sang bayu yang menebar hawa dingin, kian membuat mereka terbuai dan tenggelam di alam mimpi.
🍁🍁🍁
Bersambung ....
Belajar sama² ya Zen udah ada lampu hijau dari Papa Ridwan.
semoga
eh Authornya duluan.
Terus siapa yg bisa jawab nih
konidin mana...
mana konidin