Shinamura Haruki, seorang siswa SMA kelas dua berusia 16 tahun, baru saja mengalami patah hati terburuk. Empat bulan lalu, cintanya ditolak saat malam Natal. Dalam kesedihan, ia memutuskan untuk membeli kopi sebelum pulang, tapi takdir berkata lain. Ia malah ditabrak oleh Aozora Rin, gadis teman satu sekolahnya. Bagaimana pertemuan tak terduga ini akan mengubah kisah cinta mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdulpro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makna Tersembunyi
Seketika, hening menyelimuti mereka. Kalimat Haruki yang meluncur begitu saja, "Bulannya indah, ya," menggantung di udara.
Pikiran Rin berputar, mencoba memahami apa yang telah Haruki ucapkan itu.
“Haruki lagi ngomongin apa sih?” gumamnya dalam hati.
“Apa maksudnya? Aku tidak mengerti!” Kekalutan membelenggu benaknya.
“Rin,” suara Haruki memecah keheningan, memanggilnya pelan.
Rin tersentak, gagap menjawab, “I-iya… kamu benar,” ia memaksakan senyum.
“Bulannya memang indah.” Ia buru-buru menundukkan pandangannya.
Namun, rasa penasaran terlalu kuat.
“Tadi… kamu bilang bulannya indah. Apa… ada maksud lain?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
"Aku… tidak paham."
Haruki tersentak. Ia tahu betul makna tersembunyi di balik kalimat itu—ungkapan perasaan yang tulus. Wajahnya langsung memerah karena malu, panik mencoba mengelak.
“Tentu saja tidak! Maksudku, bulannya benar-benar indah. Lihat, cahayanya begitu terang dan langitnya penuh bintang.”
Meskipun Haruki mencoba mengelak, Rin masih tetap merasakan ketulusan dalam ucapannya. Senyum tipis terukir di wajahnya.
"Oh, begitu ya? Kamu benar! Andai saja bulan bisa ku datangi, mungkin aku akan mengajakmu ke sana.” sambil melambaikan tangannya seolah olah meraihnya.
Perlahan, Rin mendekat. Ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan Haruki, menyalurkan kehangatan. Lalu, ia menyandarkan kepalanya di bahu Haruki.
“Rin? Ada apa? Nanti kalau ada orang lihat-”
Haruki menelan ludah, wajahnya semakin memerah.
Rin hanya tersenyum menatapnya. Udara malam yang tadinya dingin kini terasa hangat berkat kedekatan mereka.
“Sudah Enggak apa-apa. Aku cuma sedikit kedinginan. Boleh begini sebentar?” bisiknya lembut.
Haruki tak mampu menolak, hanya bisa menerima keadaan yang canggung namun mendebarkan ini.
Mereka duduk berdampingan, menatap langit malam yang disinari jutaan bintang dan cahaya bulan yang begitu terang.
“Aku harap hal seperti ini bisa bertahan sedikit lebih lama,” gumam Haruki dalam hati.
Perasaan nyaman yang sebelumnya ia tolak kini membalutnya. Ia mulai mendekat, menggeser tangannya hingga merapat dengan tangan Rin, lalu menggenggamnya erat.
Perlahan, kelopak mata Rin mulai memberat, seolah ada garam yang sedang ditabur dari atas, membuatnya mengantuk dan menguap.
“Rin, apakah kamu ingin suasana seperti ini lebih lama? Jujur saja aku tidak ingin menjauh darimu.”
Mata Rin mulai menyipit, pandangannya mengabur.
Didera hawa dingin dan rasa kantuk yang menumpuk, ia tak lagi mendengar ucapan Haruki dengan jelas.
Ia hanya menjawab dengan gumaman pelan, “Iya… aku ingin… bersamamu.”
Tubuhnya perlahan merosot, menyandarkan kepalanya ke pangkuan Haruki. Rin langsung terlelap, lelah dan puas setelah seharian bermain.
Haruki menatap wajah Rin di pangkuannya, hatinya berdebar tak karuan.
“Seharusnya kamu bilang dari tadi kalau mengantuk,” bisik Haruki lembut.
"Aku jadi tidak enak ingin membangunkanmu.”
Keheningan malam diselimuti suara jangkrik, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Haruki menatap wajah damai Rin.
Perlahan ia menarik tangannya, namun Rin menggenggamnya lebih erat, seolah tak ingin melepaskannya. Haruki tersenyum kecil.
"Dasar kamu ini.”
Angin malam mengurai beberapa helai rambut Rin, membuat wajahnya terlihat jelas.
“Kamu… begitu cantik,” bisik Haruki, suaranya tercekat.
"Aku… tak tahan untuk menyentuh wajahmu. Boleh aku… mengusapnya?”
Rin tidak menjawab, hanya suara dengkuran halus yang terdengar. Haruki mengangkat tangannya perlahan.
Cahaya rembulan jatuh ke wajah Rin, membuatnya tampak seperti patung pualam yang lembut.
Di bawah langit yang dipenuhi jutaan bintang, mereka seolah berada di antara mimpi dan kenyataan
. Haruki mulai mengusap wajah Rin, merasakan pipi kulitnya yang halus namun dingin.
Tangannya merambat ke kepala, mengusapnya lembut berulang kali.
Lelah dan kantuk mulai menghampiri Haruki. Perlahan, ia pun tertidur dalam posisi duduk, wajahnya menunduk mendekati wajah Rin yang ada di pangkuannya. Kehangatan dan rasa nyaman menyelimuti mereka berdua.
Lentera yang menyala di dekat mereka mulai kehabisan minyak, cahayanya meredup hingga padam.
Sementara itu, di dalam vila, teman-teman mereka sudah terlelap. Tak ada yang menyadari kepergian Haruki dan Rin, kecuali Hana.
Hana yakin melihat mereka berdua berjalan keluar dan belum kembali.
Rasa cemas merayapi hatinya. Mengabaikan rasa iri yang sekilas muncul, Hana mengambil ponselnya, menyalakan senter, dan menyusuri koridor vila yang gelap.
"Astaga, mereka ke mana sih?" gumamnya, langkahnya tergesa.
"Sudah malam begini belum kembali. Aku tahu kalian mau berduaan, tapi ya ingat waktu dong! Bikin orang khawatir saja!"
Tiba-tiba, sorot senternya menangkap dua sosok di ujung ruangan belakang. Hana bergegas mendekat.
“Ya ampun!” bisiknya, terkejut namun gemas.
“Enak banget ya kamu, Rin, tidur berdua sama Haruki, tapi… aku jadi tidak tega membangunkannya.”
Ia melihat Rin berbaring dengan kepala di pangkuan Haruki, lengannya melingkar di pinggang Haruki.
Haruki sendiri tertidur dalam posisi duduk, wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajah Rin.
“Apa boleh buat kalau sudah begini,” gumam Hana.
“Aku tulis pesan saja, deh.”
Hana mengambil secarik kertas dan pena dari sebuah pasak di dekat situ. Ia menuliskan pesan singkat:
"Tolong, kalau kalian sudah bangun (palingan Haruki), bawa Rin ke kamarnya. Tempat tidurnya di ujung, dekat denganku.”
Ia menyisipkan kertas itu di sela-sela jari Haruki.
“Selamat tidur, kalian. Semoga ini jadi malam yang menyenangkan.”
Setelah itu, Hana berbalik, meninggalkan mereka berdua. Ia kembali ke kamarnya, tidak mengunci pintu, dan langsung terlelap karena rasa lelah.
Waktu terus berjalan, malam semakin larut. Beberapa jam kemudian, mereka terbangun.
Haruki membuka matanya perlahan dan terkejut melihat Rin masih tertidur lelap di pangkuannya. Malam telah berlalu, hanya menyisakan cahaya rembulan yang redup.
"Hah? Aku ketiduran di luar?" Haruki mencoba mengingat kejadian semalam. "Ah, iya, aku ingat kami mengobrol, tapi setelah itu… aku tidak ingat apa-apa.”
Saat hendak meregangkan tubuh, selembar kertas terjatuh dari tangannya.
“Kertas apa ini?”
Haruki memungutnya dan membaca pesan itu di bawah sinar rembulan yang minim.
"Kenapa nggak dibangunin sekalian?!" gumamnya kesal.
"Dasar iseng banget.”
Haruki menghela napas, lalu membuang kertas itu. Dengan perlahan, ia menopang kepala Rin agar gadis itu tidak terbangun dan menggendongnya hati-hati. Ia melingkarkan tangan Rin ke lehernya, memastikan kepala Rin bersandar nyaman di bahunya.
Tanpa sengaja, tangan Haruki menyentuh dada Rin. Wajahnya langsung panik, namun Rin hanya mengerutkan dahi, tidak terbangun.
“Maaf, Rin, aku benar-benar tidak sengaja,” bisiknya.
Haruki melangkah pelan, melewati lorong yang gelap dan lembap. Ia melihat ke atas dan tersenyum pada bintang-bintang yang berkelap-kelip, seolah mereka adalah saksi bisu dari adegan romantis ini.
Di depan pintu kamar, Haruki kesulitan membukanya. Ia harus melepaskan satu tangan dari Rin.
Rin sedikit menggeliat, membuat Haruki menahan napas khawatir gadis itu akan bangun. Setelah pintu terbuka, ia masuk dan menutupnya dengan hati-hati.
Haruki membawa Rin ke tempat tidurnya, meletakkannya dengan sangat perlahan, lalu menarik selimut untuk menyelimutinya.
Ia tak bisa menahan diri untuk tidak memandang wajah Rin yang polos dan damai dalam tidurnya. Senyum kecil terukir di wajah Haruki, seolah Rin sedang bermimpi indah.
Ia menyeka rambut yang menutupi wajah Rin dengan lembut, merasakan kehangatan yang menjalari hatinya.
Setelah beberapa saat, ia bangkit dari sisi ranjang. Namun, sebelum ia melangkah pergi, Rin menarik tangan Haruki dan mengucapkan sesuatu dalam tidurnya. “Haruki, jangan pergi… Aku mencintaimu.”
Haruki membeku. Ia tersenyum tipis, matanya menatap wajah Rin. Perlahan, ia berjongkok, mendekati telinga Rin, dan berbisik sangat lirih,
“Aku juga mencintaimu.”
Rin tersenyum dalam tidurnya, seolah mendengar ucapan itu. Haruki berdiri, meninggalkan kamar, dan menutup pintu dengan pelan.
Malam itu, Haruki tidur dengan sangat nyenyak, memimpikan semua yang telah terjadi.
Pagi tiba, cahaya matahari menembus tirai jendela, membangunkan Haruki. Samar-samar ia mendengar suara Renji,
"Haruki! Hey, bangun. Sarapan sudah siap,” panggilnya.
Haruki membuka matanya perlahan.
"Renji? Tumben sudah bangun pagi?" gumamnya saat melihat Renji sudah di samping tempat tidurnya.
Tanpa basa-basi, Renji menyipratkan segelas air ke wajah Haruki.
"Ih, apaan sih! Kan jadi basah semua," keluh Haruki sambil mengusap wajahnya.
Renji, Naomi, dan Souta yang sudah berada di dekatnya tertawa melihat reaksi kesal Haruki.
Meskipun begitu, ia tetap bangkit dan berjalan menuju ruang makan. Di meja makan, Yui memperhatikan Haruki yang tampak lesu.
“Kamu kelihatan capek banget, Haruki. Begadang semalam?” tanya Yui khawatir.
Haruki menggaruk tengkuknya. “Entahlah, aku tidak begitu ingat. Semalam aku terlalu lelah habis… eh, maksudku, habis duduk di belakang vila,” jawabnya, berusaha menyembunyikan senyum. Yui percaya dengan ucapannya.
Haruki menatap makanannya, menoleh ke kanan dan ke kiri, hingga tatapannya bertemu dengan Rin.
Dalam batinnya, ia merasa ada yang janggal tentang semalam. Ia tidak ingat detailnya.
Sementara itu, Rin, yang teringat gumaman terakhir Haruki di kamarnya, bertanya-tanya dalam hati, “Ucapan Haruki semalam beneran atau enggak ya?”
Beberapa saat kemudian, Aika dan Hana menyajikan makanan. Setelah berdoa, mereka makan bersama. Hana yang duduk di sebelah Rin menyikutnya sambil melirik jahil.
“Congratulations, Rin,” bisiknya. “Kamu sudah berani, hihihi.”
Rin bingung dengan maksud Hana, namun ia yakin Hana sedang mengusilinya.
(Bersambung….)