Cinta memang gila, bahkan aku berani menikahi seorang wanita yang dianggap sebagai malaikat maut bagi setiap lelaki yang menikahinya, aku tak peduli karena aku percaya jika maut ada di tangan Tuhan. Menurut kalian apa aku akan mati setelah menikahi Marni sama seperti suami Marni sebelumnya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. Kemarahan Warga
Seorang pria tampak komat kamit membaca mantera. Tangannya bergerak menaburkan dupa ke atas bara api.
"Wanita ini sangat sakti, susah kalau untuk menyingkirkannya. Aku tidak sanggup melawan parewangannya," ucap pria itu
"Terus bagaimana caranya aku bisa memisahkan dia dari putraku mbah?" ucap Surti
"Kalau itu kasih saja minuman ini ke putrane njenengan, di jamin cintanya bakal luntur sama istrinya itu dan bisa jadi dia akan menceritakannya," jawab sang dukun
Ia mengambil sebotol air mineral yang sudah diberikan jampi-jampi dan memberikan kepadanya.
"Tapi dijamin kan mbah?" Paijo memastikan
"Ya iya toh, semua warga desa sudah tahu siapa mbah Karto, urusan apa saja bisa saya selesaikan dengan cepat dan tepat!"
"Inggih mbah, semoga saja beneran Amar mau menceraikan Marni setelah minum air ini,"
Surti dan Paijo kemudian berpamitan.
Suami istri itu berboncengan meninggalkan pelataran rumah sang dukun. Sementara itu saat keduanya hendak meninggalkan gerbang desa tiba-tiba segerombolan pemuda menghadangnya.
Surti tampak ketakutan saat mereka menyuruhnya untuk turun.
"Turun!"
"Aduh pak, ada apa ini??" ucap Marni
"Gak tahu Bu, udah kita ikutin saja apa mau mereka," Paijo segera turun dari sepeda motornya
"Ada apa toh Mas?" tanyanya dengan wajah penasaran
"Sebaiknya Pak Dhe usir menantu mu itu sebelum warga bertindak!" ucap seorang warga dengan tatapan mata berapi-api
"Maksudnya apa toh, aku gak ngerti?" tanya Paijo
"Menantumu itu si Marni perempuan iblis yang sudah membunuh Pak Dhe Pardi, kami tidak mau lagi jatuh korban karena wanita iblis itu. Jadi usir dia dari kampung kita!"
Surti dan Paijo saling berpandangan mereka tak mengira jika kematian Pardi ada hubungannya dengan Marni.
"Ah gak mungkin, Marni itu anaknya lemah lembut, jangankan membunuh manusia, membunuh nyamuk saja tidak tega. Jadi gak mungkin toh sia membunuh mbah Pardi, lagipula dia juga gak kenal sama Mbah Pardi jadi gak mungkin, kalian ini ngada-ngada saja. Lagian apa buktinya kalau Mbah Pardi itu mati karena Marni!"
*Buughhhh!
Tubuh Paijo seketika limbung saat sebuah tinju melesat ke wajahnya.
"Pak, kamu gak papa pak?"
Surti terlihat panik dan ketakutan melihat suaminya dipukul.
Wanita itu langsung memeluk erat Pardi dan menghalanginya saat ia hendak membela diri.
"Sudah pak, sudah, kita iyain aja. Aku gak mau bapak kenapa-kenapa. Mereka itu banyak sedangkan bapak sendirian meskipun bapak bisa bela diri ya kata ulo marani gebuk, mati sia-sia!" celoteh Surti
"Betul yang diucapkan istrimu itu, sebaiknya cepat pulang dan usir Marni dari rumahmu atau kami akan bertindak anarkis untuk mengusir wanita iblis itu!" sahut seorang warga
Surti segera menarik Paijo untuk segera naik motornya. Lelaki itupun menurut dan bergegas pergi meninggalkan kerumunan warga yang menghadangnya.
Suara mesin motor tua Paijo membuat Amar keluar dari dalam rumah. Ia menghampiri keduanya yang memarkir motornya di depan rumah.
Melihat lebam di wajah sang ayah, Amar pun bertanya penyebabnya.
"Bapak kenapa toh Bu, kok wajahnya biru gitu?" tanya Amar
"Dia dipukuli warga!" celetuk Surti kemudian menggandeng suaminya masuk ke dalam rumah.
"Kok bisa, memangnya bapak ngapain sampai di pukuli warga!"
"Gara-gara bojomu!" seru Surti melirik sinis kearah Marni yang duduk di ruang tamu
"Kok Marni, memangnya apa hubungannya sama Marni?" tanya Amar penasaran
"Tanya saja sama istrimu, aku yakin dia sudah tahu kenapa!"
Tatapan mata tajam Marni begitu terlihat saat memandang menantunya. Kali ini ia seakan memberitahu wanita itu bagaimana kebenarannya. Berbeda dengan Marni yang hanya diam dengan tatapan polosnya. Seolah tak ada yang terjadi ia tetap duduk manis sambil menikmati secangkir teh manis di depannya.
Melihat istrinya terus menyalahkan sang menantu membuat Paijo tak enak hati. Ia masih ingat jelas pesan Sri untuk tidak membuat Marni kesal atau marah.
"Sudah toh Bu, jangan marah-marah begitu, lagipula kan belum tentu Marni yang melakukannya. Mana mungkin perempuan polos sepertinya bisa tega membunuh Mbah Pardi!"
*Deg!
Seketika Amar merasa lemas mendengar ucapan sang ayah. Kini ia tahu kenapa ayahnya di pukuli warga. Rupanya mereka sudah tahu jika Marni yang menyebabkan kematian Pardi.
Ia hampir saja limbung jika Marni tak menariknya dan menyuruhnya untuk duduk.
"Lalu mereka maunya apa Pak?"
Netra Paijo seketika melotot mendengar ucapan Marni.
Bagaimana ia bisa tahu, ucapnya dalam hati.
"Kamu pergi dari sini, mereka tidak mau ada korban lagi!" celetuk Surti yang keluar membawa es batu.
"Kalau aku harus pergi dari sini berarti Mas Amar ikut denganku kan?" ucap Marni menatap suaminya
Tatapan mata polosnya seketika membuat Amar iba padanya. Reflek Amar pun mengangguk mengiyakan permintaan istrinya itu.
"Kalau kamu pergi sama Marni, terus yang jagain mbokmu sopo le!" sahut Surti
"Bapakmu itu sudah sakit-sakitan, terus kamu mau lepas tangan gitu!" imbuhnya
"Sudah biarkan saja Bu, lagian memang sudah kewajiban Amar untuk melindungi istrinya," sahut Paijo
Mendengar pembelaan dari suaminya membuat Surti marah. Wanita itu dengan sengaja menekan lebih keras saat mengobati luka lebamnya membuat Paijo meringis kesakitan.
"Sakit toh Bu!" seru Paijo
"Lebih sakit mana sama kehilangan anak semata wayang mu!" ucap Surti mendengus kesal wanita itu pun segera pergi meninggalkan mereka saat merasa tak satupun yang mendukungnya.
"Kalau memang aku harus pergi ya tidak apa-apa, Marni bisa ngerti kok. Sudah biasa kalau tak ada yang bisa menerimaku. Bahkan keluargaku sendiri membuang ku karena aku dianggap pembawa sial, jadi wajar saja kalau para penduduk meminta aku pergi," jawab Marni
"Kalau begitu aku siap-siap dulu," imbuhnya
Marni pun beranjak dari duduknya, ia berjalan menuju ke kamarnya di susul oleh Amar.
"Kamu jangan marah ya dek, Mas tidak akan meninggalkan mu, aku janji akan selalu ada di samping mu dan menjagamu," ucap Amar menggenggam erat jemari sang istri
Marni tersenyum simpul mendengar ucapan sang suami. Wanita itu tak henti-hentinya memuji sang suami yang begitu mencintainya.
Setelah satu jam berkemas keduanya keluar kamar dan berpamitan dengan kedua orang tua mereka.
Paijo masih duduk di ruang tamu sambil menikmati camilan. Sementara Surti terlihat memotong sayuran sambil menonton televisi.
"Bu, Amar sama Marni mau pamit,"
Surti menoleh sinis mendengar ucapan putra semata wayangnya.
"Sebaiknya makan dulu sebelum pergi, gak baik pergi dalam keadaan perut kosong,"
Surti segera bangkit dan menuju meja makan diikuti oleh Marni. Sementara itu Amar masih diam termangu, karena ia sedang menjalani tirakat hari ke tiga jadi tidak mungkin ia ikut makan.
"Ayo Mar, jangan membuat ibumu marah lagi," ucap Paijo menepuk bahunya
Tak mau membuat ibunya marah-marah, Amar pun mengikuti saran sang ayah. Ia berjalan menuju meja makan dan duduk si samping Marni yang sudah menuangkan nasi untuknya.
Selesai menuangkan nasi dan lauk pauknya, Marni pun mengambil gelas untuk menuangkan air. Namun buru-buru Surti memberikan segelas air untuk putranya itu. Ia tahu benar jika Amar selalu minum sebelum makan dan ini adalah kesempatan untuk memberikan air dari sang dukun kepadanya.
Namun siapa sangka jika Marni sengaja menabrak sang mertua hingga air yang dibawanya tumpah tak bersisa.