NovelToon NovelToon
Feathers

Feathers

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Cinta Beda Dunia / Iblis / Dunia Lain
Popularitas:785
Nilai: 5
Nama Author: Mochapeppermint

Mereka bilang aku adalah benih malaikat. Asalkan benih di dalam tubuhku masih utuh, aku akan menjadi malaikat pelindung suatu hari nanti, setelah aku mati. Tapi yang tidak aku tahu adalah bahaya mengancam dari sisi manapun. Baik dunia bawah dan dunia atas sama-sama ingin membunuhku. Mempertahankan benih itu semakin lama membuatku mempertanyakan hati nuraniku.

Bisakah aku tetap mempertahankan benih itu? Atau aku akan membiarkan dia mengkontaminasiku, asal aku bisa menyentuhnya?

Peringatan Penting: Novel ini bisa disebut novel romansa gelap. Harap bijak dalam membaca.
Seluruh cerita di dalam novel ini hanya fiksi, sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung pihak manapun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mochapeppermint, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20 The Fallen

Ketegangan tidak meluruh sejak semalam. Tapi aku tidak punya pilihan lain selain membawa Amy kemari, ke gedung kami. Dengan tujuh pemburu, kami bisa lebih mengawasi punggung kami dengan baik. Walaupun Kruz menatap Amy seperti anjing kelaparan, Amy jauh lebih aman disini daripada di mana pun.

Kruz dan Ozzeus baru saja pergi meninggalkan tempat ini. Deyna tidak mau berbicara apapun dan tidak mau mendengar apapun. Kaliyah dan Astar tampak tertarik, sedangkan Sa’el hanya berada di mana kekasihnya berada.

“Kamu seharusnya tidak membawanya kemari.” Kata Sa’el untuk kesekian kalinya. Kedua matanya lekat mengawasi Kaliyah yang sedang mengusap lembut pergelangan tangan Amy dengan handuk dingin dengan hati-hati tanpa menyentuh kulit Amy sedikit pun, seolah Kaliyah lah yang dalam bahaya bukan sebaliknya.

Kedua pergelangan tangan dan kaki Amy memar dan luka. Bekas jarum suntik di tangannya pun mulai terbentuk sebuah memar. Hanya beberapa jam berlalu sejak aku melihatnya dari balik pagar, Amy sudah seperti ini. Aku tidak tahu mana yang harus aku salahkan. Aku datang kesana malam itu dan membuat Amy terkurung? Atau aku datang menyelamatkannya terlalu lama?

“Dia tidak memanggil namaku.” Ucapku lebih pada diriku sendiri.

Kaliyah mengerutkan dahinya. “Itu yang membuatku bertanya-tanya. Bagaimana dia bisa memanggilmu?”

Aku menggeleng tidak bisa menjelaskan apapun karena aku pun juga tidak tahu apa-apa. “Sudah dua kali ini aku mendengar suaranya.”

Saat itu aku hanya menatap kosong ke langit memikirkan berbagai macam cara untuk mengeluarkan Amy dari sana dan perasaan itu datang kembali. Saat itu aku berpikir apa aku sedang berkhayal, namun sama seperti yang sebelumnya, jantungku terasa berhenti berdetak lalu kembali berdetak dan berpacu cepat. Teriakkannya meminta tolong terdengar sangat jelas, seolah aku mendengar suaranya secara langsung. Saat itu aku tahu, tidak ada lagi perisai yang bisa menghalangiku.

“Aku tidak suka ini.” Celetuk Astar yang sedari tadi membungkam mulutnya. “Semakin lama dia disini, sama saja kita mengundang hal-hal yang tidak kita inginkan.”

Kaliyah mendongak menatapku. “Astar benar.”

Rahangku mengetat hingga rasanya menyakitkan. “Jadi kalian menyarankan aku mengembalikannya ke ruang bawah tanah, tempat mereka membiusnya terus menerus sampai dia mati perlahan?”

“Gadis itu tetap akan mati, Raz.”

Secepat kilat aku menyambar leher Sa’el dan mencengkramnya kuat. Kedua matanya membelalak kaget dan wajahnya mulai memerah. “Raziel!” Tegur Kaliyah keras, namun aku tidak bergerak sedikit pun.

“Gadis itu tidak akan kemana-mana selama aku masih bernafas dan itu berarti selamanya.” Ucapku dari sela-sela gigiku yang terkatup rapat. Rasa sakit mulai terbentuk dan tulangku berderak mengancam akan remuk.

Sa’el menatapku dengan amarah yang berkobar. Aku bisa meremukkan tenggorokannya dan dia tidak akan memperlihatkan ketakutkan sedikit pun. “Ga- Gadis itu ben-ih.” Ucapnya terbata, nafasnya perlahan habis. “Apa ya-ng kau harap-kan darinya sel-ain kemat-ian?” Bercak merah mulai menghiasi bagian putih matanya sebelum aku melepaskan lehernya. Tarikan nafas Sa’el terdengar mengerikan tapi yang lebih mengerikan bagiku adalah kata-katanya.

Kaliyah memeriksa Sa’el sejenak sebelum kembali pada Amy. Selama kami hidup di dunia, kami sering bertengkar dan sering juga terluka karena satu sama lain. Itu adalah hal yang sudah sangat biasa bagi kami, asal kami tidak mengkhianati satu sama lain.

“Sebenarnya ada apa denganmu?” Suara itu mampu membuat kepala kami semua mendongak menatap Deyna yang sedari tadi menyingkir. Wanita itu bersandar di ambang pintu, melipat kedua tangannya dan menatapku dengan kerutan di dahinya. “Kenapa kamu peduli dengan gadis itu?”

Aku menoleh kembali menatap Amy yang tertidur di ranjangku. Melihatnya tertidur di sana saja sudah membuatku gila karena rasanya tidak nyata. “Aku tidak tahu.” Aku menggeleng pelan.

“Tapi kamu membahayakan dirimu untuknya.” Ucapannya tajam, menuduhku.

Deyna benar. Aku memang berbuat kesalahan dan pantas mendapatkan tuduhan tajam. Kami memang ingin merasakan kekuatan kami yang dulu, tapi itu tidak sepadan dengan mengambil resiko menyeret tubuh kami kembali ke lubang kegelapan.

Aku tidak bisa menjawab apa-apa karena aku memang tidak tahu apa-apa. Yang aku tahu hanyalah membawa Amy ke tempat aman.

“Dan membahayakan kita semua?” Imbuhnya dan sekali lagi aku tidak bisa menyangkalnya. “Kamu harus mengembalikannya ke gereja itu.”

Aku sudah mendengar kalimat itu berkali-kali dan aku tetap tidak akan memikirkan pilihan itu. Aku sudah berpikir membawa Amy ke gereja lain, tapi tidak ada yang bisa menjamin Amy akan aman disana. Aku tidak mempercayai siapapun saat ini kecuali diriku sendiri dan teman-temanku, walaupun mereka mempertanyakan kewarasanku.

Kruz memang murka, seolah aku mengambil buruannya hanya untuk memuaskan diriku sendiri, namun aku tahu dia pasti akan kembali setelah Ozzeus bicara dengannya. Ozzeus tidak terlalu ambil pusing tentang Amy yang berada disini, aku hanya menyuruhnya untuk bicara dengan Kruz.

“Sssh! Gadis ini mulai sadar.” Ucapan Astar mengalihkan perhatian kami.

Kedua mata Amy bergetar sebelum perlahan terbuka. Aku bergerak mendekat dan dengan perlahan duduk di ujung kasur berhati-hati tidak menyentuhnya. Dahinya berkerut dan kedua matanya belum tampak fokus, Amy tampak sedang mengumpulkan kesadarannya sejenak. Perlahan gadis itu menatapku. “Kamu datang.” Suaranya serak mungkin karena berteriak-teriak di bawah tanah beberapa saat lalu, tapi itu mampu menarik senyum di bibirku.

Jantungku rasanya meledak dengan sesuatu yang hangat dan nyaman. Tuduhan apapun yang di tunjukkan padaku tadi rasanya seolah sepadan. Sial! Bahkan lebih dari sepadan untukku.

“Kamu memanggilku, tentu saja aku datang.”

Bibirnya bergetar dan kedua matanya mulai basah. “Ini bukan mimpi kan?”

Rasa hangat di dalam dadaku perlahan mendingin mendengar suara Amy yang terdengar takut namun penuh harap. Aku menumpukan satu tanganku ke atas kasur dan mendekat. “Tidak, Amy. Kamu aman disini.”

Bibirnya terbuka sedikit saat gadis itu menghela nafas panjang dan kembali memejamkan kedua matanya sejenak sebelum membukanya lagi lalu mengangkat tangannya. Amy tampak memperhatikan pergelangan tangannya yang lecet dan memar. Setelah tampaknya Amy yakin ini bukan mimpi, dia menurunkan tangannya dan melihat sekelilingnya, menatap temanku satu persatu dan dia berhenti sejenak pada Deyna sebelum berkata.

“Jadi benar, kalian punya sayap.” Ucapnya dan aku baru sadar kalau kami tidak menyembunyikan sayap kami. Kalau kami sedang ada di markas, kami memang tidak perlu menyembunyikan apapun.

“Kamu tidak takut?” Tanya Kaliyah penasaran.

Sayap kami bukan sekedar anggota tubuh yang berfungsi untuk terbang, tapi sayap kami pun memiliki kekuatan tersendiri. Kalau kami bukan malaikat jatuh, kedua sayap kami menguarkan aura kedamaian, kenyamanan dan hal-hal indah lainnya. Tapi karena kami adalah malaikat jatuh maka aura sebaliknya lah yang akan terasa, persis seperti di ruang bawah tanah beberapa saat lalu.

Amy bergerak untuk duduk, Kaliyah tampak ingin membantunya namun dia tetap menahan tangannya di pinggir kasur. “Aku lebih takut terikat di ruang tertutup dan terbius berkali-kali.” Ucapnya tegas namun dia tetap menelan ludahnya dengan susah payah. Kedua matanya lebih menampakkan rasa sakit. Tadi malam pasti cukup mengguncangnya sampai-sampai gadis itu tampak lebih santai bersama kami daripada dengan kaumnya.

Amy menyandarkan tubuhnya di kepala tempat tidur dan menyusurkan tangan kirinya ke atas tangan kanannya yang berbekas jarum suntik. “Jadi…” Amy mendongak dan menatapku dengan tatapan serius. “Apa yang terjadi tiap malam? Kenapa kamu memanggilku? Dan kenapa aku tidak ingat apapun?”

Untuk sejenak aku terhenyak meresapi kata-katanya sebelum aku berkata, “Kamu tidak ingat apapun?” Tanyaku terkejut mendengar kalimat terakhirnya dan Amy menggeleng.

“Tunggu, tunggu.” Sela Astar. “Jadi siapa yang memanggil siapa?” Aku tidak perlu menatap wajahnya untuk memastikan sebingung apa dia karena aku pun juga sama.

“Kalau kamu tidak ingat, kenapa kamu bisa memanggilku?” Tanyaku pada Amy, mengabaikan Astar. “Kamu bahkan tidak tahu namaku.”

Amy mengerutkan dahinya dan menggigit bibirnya sebelum berkata. “Aku juga tidak tahu. Aku… Aku hanya yakin kamu akan datang.” Katanya ragu lalu dia melanjutkan lebih tegas. “Tapi kamu memang datang kan?” Tanyanya seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri dan aku mengangguk. Amy menarik nafas dalam lalu melanjutkan. “Mereka berkata kalau aku terbangun saat malam dan aku selalu pergi ke gerbang.”

“Ya, dua hari ini aku kesana.” Ucapku mengkonfirmasinya. “Dan kamu selalu datang. Semalam aku bicara denganmu dan kamu tampak mendengarkan.”

“Tapi setelah itu aku selalu tidak sadarkan diri.” Imbuh Amy, kerutan di dahinya semakin mendalam. “Dan tidak ingat apa-apa.”

“Mereka membiusmu.”

Amy menggeleng. “Di malam pertama Pastor Xaverius tidak membiusku.” Katanya penuh keyakinan. Dia tampak mempercayai pria itu. “Aku melihat di CCTV, aku memang tampak sadar sepenuhnya, tapi aku tidak ingat apa-apa.” Gadis itu menggeleng.

“Jadi kamu datang ke gereja itu menemui Amy, lalu Amy keluar menemuimu?” Simpul Kaliyah menatapku dan Amy bolak balik seolah kami pun tahu jawabannya.

“Sebelum aku menemukan Gereja itu, aku sudah mendengarnya.” Amy menelengkan kepalanya mendengarku. “Malam setelah kamu di culik. Kamu meminta tolong.”

Kedua matanya melebar. “Benarkah?” Suaranya bergetar, kedua matanya berkilat dengan ketakutan. “Bagaimana bisa?” Semakin lama suaranya semakin menghilang.

Aku menggeleng. “Aku tidak tahu.”

Kedua bahu Amy tampak turun walau dia mengangguk. Kaliyah beranjak seraya mengatakan akan membawakan air untuk Amy. “Aku…” Kedua pipi Amy mulai bersemu. “Mmm… Apa ada toilet?” Tanya Amy takut-takut padahal tadi dia menanyakan soal sayap kami dengan santai.

“Kemarilah.” Ucapku. Saat Amy kesusahan dengan beranjak dari kasurnya aku harus benar-benar menahan diriku untuk tidak membantunya.

1
🌺Ana╰(^3^)╯🌺
cerita ini benar-benar bisa menenangkan hatiku setelah hari yang berat.
Yue Sid
Gak sabar nunggu kelanjutannya thor, semoga cepat update ya 😊
Mochapeppermint: Thank you 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!