NovelToon NovelToon
Sunday 22.22

Sunday 22.22

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Balas Dendam / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: sun. flower. fav

Di tengah keindahan Jogja, proyek seni yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi teka-teki penuh bahaya. Bersama teman-temanku, aku terjebak dalam misteri yang melibatkan Roats, sosok misterius, dan gadis bergaun indah yang tiba- tiba muncul meminta tolong.
Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia, menguji keberanian dan persahabatan kami. Saat ketegangan memuncak dan pesan-pesan tak terjawab, kami harus menemukan jalan keluar dari labirin emosi dan ketegangan yang mengancam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sun. flower. fav, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kejutan

Aku melangkah ke teater Balerina dengan hati yang penuh antusiasme. Seperti biasa, dengan pakaian santaiku, kaos oversize coklat mudah lengan panjang dan celana kaos hitam selutut. Walau harus berdiam-diam pergi ke teater, aku akan janji pada diriku sendiri, tidak akan membuat khawatir siapapun.

Ketika aku memasuki teater yang megah, aroma harum bunga-bunga segar dan senyum ceria para penonton menyambut kedatanganku. Aku merasa gembira melihat keramaian dan kegembiraan yang memenuhi ruangan ini. Semua orang terlihat begitu bersemangat untuk menyambut acara istimewa ini.

Anindya sudah menunggu di dalam teater dengan senyum yang memancar kegembiraan. "Selamat datang!" sapanya sambil menghampiriku. "Aku senang ternyata kamu datang."

"Terima kasih sudah mengundangku," ujarku sambil tersenyum. Setelah itu aku menyodorkan tas kecil padanya. “Semoga suka.”

Anindya tersenyum lebar. "Terimakasih. Ayo, duduklah di tempat dudukmu. Pertunjukan akan segera dimulai!"

Aku mengangguk lantas pergi mencari kursiku, sedangkan Anindya berlari cepat menuju belakang panggung dan menyiapkan segalanya.

Saat lampu teater mulai redup dan musik balet mengalun, aku merasa hatiku berdebar kencang. Pertunjukan akan segera dimulai, dan aku siap untuk terhanyut dalam keindahan dan magisnya balet. Tapi aneh, aku melihat dengan teliti. Disaat penari lainnya tersenyum, kenapa Anindya malah sebaliknya. Padahal baru saja dia nampak baik-baik saja saat menyambutku.

Setelah penampilan yang memukau dari para penari balet, ruangan teater dipenuhi dengan tepukan gemuruh dan sorak sorai penonton yang terkesan. Cahaya panggung berkedip-kedip, menyoroti panggung yang kosong, menandakan bahwa penampilan berikutnya akan segera dimulai.

Ketika layar besar menampilkan foto Anindya yang anggun sedang menari balet, suasana semakin memanas. Wajahnya yang memesona dan gerakannya yang elegan menangkap perhatian semua orang di ruangan itu. Terlihat jelas bahwa Anindya akan menjadi sorotan utama di panggung dalam penampilannya yang solo di hari ulang tahunnya yang istimewa ini.

Sementara gambar Anindya terus ditampilkan di layar, suasana di dalam teater semakin meriah. Semua orang bersorak dan bertepuk tangan dengan antusias, menunjukkan dukungan dan penghargaan mereka untuk Anindya. Aku melihat ke sekeliling dengan bangga, menyadari betapa dihormatinya Anindya dan betapa dinantikannya penampilannya.

Sesekali mataku menyusuri gedung teater sebesar ini dan berhasil menangkap keberadaan Eja sekrang, dia mengenakan topi penyamaran seperti biasa. Melihatnya tersenyum seperti itu mengundang senyumku ikut terulas.

Saat lampu panggung mulai redup dan musik balet yang indah mengalun, aku merasa jantungku berdebar-debar dalam antisipasi. Tepat pada pukul 22.22, sorotan panggung beralih ke pintu panggung teater, di mana Anindya memasuki panggung dengan pesonanya yang memukau. Cahaya panggung yang lembut memperlihatkan kecantikan dan keanggunan gerakan tubuhnya saat dia berjalan menuju tengah panggung. Aku tak bisa mengalihkan pandangan dari keuletan Anindya saat dia mulai menampilkan tarian baletnya. Tapi anehnya, aku merasa ada sesuatu di balik senyumannya yang terlihat dibuat-buat.

Gerakannya begitu lembut dan mengalir seperti air, mengisi seluruh ruang teater dengan keanggunan yang tak tergantikan. Setiap gerakan yang dia lakukan terasa begitu dipenuhi dengan emosi, seakan-akan dia sedang bercerita melalui gerakannya.

Namun, di tengah keindahan penampilan Anindya, tiba-tiba lampu panggung mati, menyebabkan kegelapan menyelimuti teater. Para penonton menjadi kebingungan, termasuk aku. Tapi sebelum kepanikan bisa menyelinap, layar besar di panggung tiba-tiba menyala, menerangi seluruh ruangan.

Dengan napas yang terhenti, aku menyaksikan bagaimana Anindya tertidur dalam video yang diputar di layar besar. Terkejut dan terguncang, mataku terpaku pada layar saat vidio itu menunjukkan momen yang mengerikan: pelecehan yang dialami Anindya oleh seseorang. Aku merasa marah dan sedih melihat bagaimana Anindya, dalam keadaan tidak sadar, menjadi korban dari tindakan keji tersebut.

Semua penonton terdiam, terguncang oleh apa yang mereka saksikan. Aku merasa tak berdaya dan penuh dengan kemarahan yang tak terkendali. Ini bukan hanya serangan terhadap Anindya, tapi juga terhadap keadilan dan martabat manusia.

Aku melihat Anindya yang terduduk lemas di panggung, terjebak dalam konfrontasi yang mengerikan dengan vidio yang memperlihatkan dirinya. Tanganku mengepal dengan kegusaran, tapi aku segera mengatasi kebingunganku dan bergerak mendekatinya dengan langkah cepat.

Semua penonton di sekeliling kami semakin ricuh, namun suara gemuruh mereka tidak lebih penting dari keadaan Anindya yang rapuh di hadapanku. Tanpa ragu, aku menutupinya dengan jaket hitamku, mencoba memberinya sedikit kehangatan dan perlindungan dari kegelapan yang mengelilingi kami.

Dengan tangan kananku menggenggam erat tangannya yang gemetar, aku membawanya pergi dari teater, menjauh dari sorotan publik dan vidio yang menyakitkan itu. Air mata Anindya mengalir deras, menciptakan jejak-jejak kesedihan yang mengikuti langkah-langkah kita keluar.

Meskipun terluka dan terguncang, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan berdiri tegar di samping Anindya, memberinya dukungan yang dia butuhkan, dan memastikan bahwa keadilan akan terwujud bagi dirinya. Aku tidak akan pernah membiarkan dia berjuang sendirian melawan kegelapan yang menyergapnya.

Dengan hati yang masih berdegup kencang, aku membantu Anindya yang lemas masuk ke dalam mobil. Dia menarik tanganku, memohon agar aku ikut bersamanya. Namun, aku harus tetap memenuhi janjiku pada diri sendiri.

"Aku akan menyusul, janji," ujarku sambil melepaskan genggaman tangannya. Supir pribadi Anindya dengan hati-hati menutup pintu mobil setelah Anindya masuk.

"Jika sudah mengantar Anindya, boleh saya minta dijemput?" tanyaku pada supir pribadi Anindya dengan harapan agar aku bisa kembali dengan aman.

"Baik," jawab supir itu dengan ramah namun ikut tegang melihat keadaan Anindya.

Aku memastikan mobil itu benar-benar meninggalkan teater sebelum aku kembali masuk. Seluruh penonton sudah bergegas keluar, tapi aku tetap mencari Eja di antara kerumunan. Namun, tak ada jejaknya.

Kemudian, aku memutuskan untuk masuk melalui pintu samping menuju ruang ganti para penari. Di sana, mereka sedang sibuk membicarakan vidio yang menggemparkan itu. Tapi aku tidak terlalu peduli.

“Permisi, di mana meja rias Anindya?” tanyaku pada salah satu penari dan lansung diberi tahu arahnya dengan cepat, dan aku segera menuju ke sana. Di meja rias Anindya, aku mengambil tas merah muda kesayangannya dan juga paperbag pemberianku tadi.

Dengan perasaan tegang, aku membuka tas Anindya dan meraih handphonenya. Aku mencoba membuka kunci handphonenya berkali-kali, mencoba berbagai kombinasi. Saat aku mencoba mengetik angka 2222, tiba-tiba handphone langsung terbuka. Tanpa ragu, aku segera membuka pesan yang masuk.

Ada 12 pesan dari Roats. Isinya berupa ancaman yang membuat bulu kudukku merinding. Roats meminta Anindya untuk menemuinya sebelum pertunjukan dimulai, dengan ancaman bahwa jika tidak, dia akan nekat menyebarluaskan video yang sudah direkam. Namun, aku tidak melihat ada balasan dari Anindya.

Aku yakin Anindya tidak membalas karena takut itu akan merusak suasana hatinya menjelang pertunjukan terbesarnya di teater. Rasanya seperti ada beban besar yang ditanggungnya, dan dia mencoba bertahan sekuat tenaga agar tidak hancur sebelum performa pentingnya.

***

Dengan sopir pribadi Anindya sebagai pengantar, aku sampai di apartemen tempat Anindya tinggal. Beliau juga memberikan kartu kunci kamar yang dititipkan Anindya untukku, menunjukkan bahwa dia percaya aku akan segera menyusulnya. Tanpa ragu, aku segera menaiki lift menuju kamar Anindya.

Ketika pintu kamar terbuka, aku melihat Anindya terkapar di atas kasur, masih mengenakan kostum baletnya. Tatapan kosongnya mengisyaratkan kelelahan dan ketegangan yang mendalam. Aku mendekatinya dengan hati-hati, mencoba untuk tidak mengganggu ketenangannya, tapi juga tidak bisa membiarkannya sendiri dalam keadaan seperti itu.

Bergegas aku memeluknya erat, berharap bisa memberinya sedikit kehangatan dan kenyamanan dalam situasi yang sulit ini. Meskipun aku tahu itu tidak akan menghilangkan semua rasa sakitnya, tapi setidaknya aku ingin dia tahu bahwa aku di sini untuknya.

Setelah beberapa saat, aku memberinya segelas air, berharap itu bisa memberinya sedikit ketenangan. Dengan lembut, aku mendorongnya untuk minum, berharap itu bisa meredakan sedikit kecemasannya.

"Lakukan yang terbaik untuk tenang, Anindya," ucapku dengan lembut, "Sekarang coba tidur, biarkan pikiranmu beristirahat sejenak."

Dia menatapku dengan mata yang masih penuh dengan kesedihan, tapi setelah beberapa saat, aku melihatnya meredakan sedikit tegangannya. Sambil menutup matanya perlahan, dia akhirnya memilih untuk beristirahat, dan aku berjanji akan tetap berada di sampingnya sampai dia tertidur. “Itu alasan kenapa aku suka memakai busana putih. Aku taku kegelapan, karena setiap ada gelap aku selalu dihadang bencana. Aku suka memakai baju putih, karena warnanya mencolok, agar semua orang bisa mencariku dengan mudah saat aku sedang dalam bahaya,” ujarnya dengan suara terisak. Aku hanya meng-iyakan. Benar katanya, kalau tidak karena warna bajunya yang menyala, mungkin aku kesulitan mencarinya tadi.

Melihat Anindya tertidur tidak nyenyak di sampingku, aku terdiam, memandangi wajahnya yang penuh dengan kelelahan. handphoneku berdering berulang kali, pasti dari Ebra, Evan, dan Baskara yang juga khawatir dengan keadaan kami. Aku menahan diri untuk tidak membukanya saat itu, memilih untuk fokus pada Anindya yang butuh ketenangan.

Berita tentang kejadian di teater telah menyebar luas di media sosial. Aku bisa membayangkan betapa gemparnya berita itu dan bagaimana itu semua akan berdampak pada Anindya, yang sekarang sedang berjuang untuk menenangkan dirinya sendiri di tengah kekacauan ini.

***

Jam 2 pagi, aku terbangun dengan perasaan yang tidak nyaman. Saat kubuka mata, terkejutnya aku mendapati Anindya tidak lagi terbaring di kasur. Penuh kekhawatiran, aku langsung bergerak untuk mencarinya.

Saat aku membuka pintu kamar mandi, kecemasanku terbayar. Anindya terbaring di lantai, dikelilingi pecahan botol dan tumpahan darah. Hatiku berdegup kencang, tak bisa percaya dengan apa yang kulihat.

Tanpa berpikir panjang, aku segera memanggil supir pribadinya dan membawa Anindya dengan cepat ke rumah sakit terdekat.

Dalam perjalanan, pikiranku dipenuhi oleh rasa khawatir dan kebingungan, mencoba mencari tahu apa yang terjadi dan bagaimana bisa Anindya berada dalam keadaan seperti ini.

Dalam keadaan panik, aku segera menghubungi Evan, Baskara, dan Ebra, memberi tahu mereka tentang keadaan Anindya dan meminta mereka datang ke rumah sakit secepat mungkin. Tak lupa, aku juga memberitahu Eja, meskipun hatiku ragu untuk melibatkannya dalam situasi ini.

Sesampainya di rumah sakit, Anindya langsung diproses oleh dokter, aku hanya bisa terpaku di tempat dengan pandangan kosong. Aku merasa tak berdaya, tidak bisa melakukan apa pun selain menunggu dan berharap yang terbaik untuknya.

Dalam kepanikan dan kebingungan Eja terlebih dahulu tiba di rumah sakit. Dengan wajah frustasinya, langsung melihat keadaan Anindya melalui jendela pintu kamar. Tanpa memedulikan keberadaanku, dia memukul pintu dengan penuh penyesalan. Tak lama kemudian, Ebra, Evan, dan Baskara juga tiba, terlihat tak kalah panik.

"Kenapa gak angkat telpon?" bentak Ebra padaku. Aku tahu dia pasti sangat khawatir, karena tidak pernah terbiasa meninggalkanku pergi sendiri. Aku hanya terdiam, mataku kosong.

"Eliza, dengarkan aku. Sadar!" Evan mengguncang tubuhku dengan kasar, membuatku menatap matanya dan akhirnya dia menghela napas lega.

Tiba-tiba, Eja menarik tanganku dengan cengkeramannya yang kuat, matanya memerah dan penuh air. "Kenapa kamu membiarkan dia seperti ini? Kamu bilang sudah tugasmu menjaganya, tapi kenapa dia bisa seperti ini?" bentaknya tanpa bisa kusangkal. Kesedihannya pasti lebih dalam dari pada aku. Dia juga pasti terkejut setelah melihat video di teater tadi ditambah dengan keadaan Anindya sekarang.

"Kamu berjanji untuk menjaganya," teriak Eja lagi, terus mengguncang tubuhku. Aku hanya terdiam, tidak sanggup mengatakan apa pun. Dengan cepat, Baskara melepaskan cengkeraman Eja dari lenganku. "Kamu tidak boleh egois terhadap dirimu sendiri. Tugas menjaga Anindya ada di tanganmu, jadi berhenti menyalahkan orang lain!" tegas Baskara pada Eja, lalu membawa aku pergi dari rumah sakit.

***

1
Kustri
lucu jg takut ama tanah basah☹️
Kustri
awal yg unik
pausberkuda
semangattt🫶👏👏
Azzah Nabilah: weeehhhhh🥲
total 1 replies
ׅ꯱ƙׁׅᨮׁׅ֮ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅꭈׁׅɑׁׅ ηα
kerja bagus ija
Azzah Nabilah
jangan lupa ikuti kisan Eliza dan eja ya
Ohara Shinosuke
Semangat terus thor, aku yakin ceritamu akan menjadi luar biasa!
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
Min meow
Tidak ada yang kurang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!