NovelToon NovelToon
Sunday 22.22

Sunday 22.22

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Balas Dendam / Cinta Karena Taruhan
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: sun. flower. fav

Di tengah keindahan Jogja, proyek seni yang seharusnya menggembirakan berubah menjadi teka-teki penuh bahaya. Bersama teman-temanku, aku terjebak dalam misteri yang melibatkan Roats, sosok misterius, dan gadis bergaun indah yang tiba- tiba muncul meminta tolong.
Setiap sudut kota ini menyimpan rahasia, menguji keberanian dan persahabatan kami. Saat ketegangan memuncak dan pesan-pesan tak terjawab, kami harus menemukan jalan keluar dari labirin emosi dan ketegangan yang mengancam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sun. flower. fav, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

cinta sepihak

Aku mengambrukkan tubuhku ke atas kasur, perasaan dilema melanda setelah pertemuanku dengan Eja tadi. Pikiranku berputar-putar, memikirkan semua yang terjadi. Belum sempat aku memejamkan mata, handphoneku berbunyi, tanda pesan Instagram masuk. Ternyata dari Eja. Dia bilang bahwa tadi dia diam-diam memasukkan obat oles di tasku, katanya obat itu paling ampuh untuk luka lebam di pipiku.

“Apa maksudnya? Kalau dia benar-benar gak ingin mempermainkan aku, setidaknya tidak perlu memasang perhatian seprti itu.” Aku mengomel sendiri di kamar, mengajak bicara dinding dan atap yang mungkin mendengarku.

Aku mendesah berat. Tak lama kemudian, notifikasi Instagram terus berdatangan bertubi-tubi. Eja menyukai semua postinganku. Bukannya merasa senang, aku malah semakin frustasi. Eja memperlakukanku dengan semena-mena, seolah-olah dia bisa masuk dan keluar dari hidupku sesuka hati.

Aku cepat-cepat membuka tas dan mengambil obat oles yang Eja maksud. Setelah melihatnya sebentar, tanpa berpikir panjang, aku melemparnya jauh-jauh dari pandanganku. Obat itu meluncur melewati meja kecil di sudut kamar dan jatuh ke lantai, membuat bunyi gedebuk yang memecah keheningan.

Jujur, di satu sisi aku ingin sekali menghabiskan waktu lama setidaknya sekali seumur hidup setelah lama tidak bertemu Eja. Namun di sisi lain, sikapnya yang membingungkan membuatku marah dan merasa dipermainkan. Karena dari lubuk hatiku pun aku belum bisa menfsirkan perasaanku sendiri.

Tok tok tok

Ketukan di pintu kamar mengusik tidurku yang baru saja dimulai. Aku membuka mata dengan berat hati dan menyahut, "Siapa?"

Pintu terbuka pelan, menampakkan sosok Anindya yang mengenakan piyama, membawa tas merah muda kebanggaannya. Wajahnya tampak polos dan sedikit cemas.

“Hehe, aku tidak bisa tidur. Gak ada lagi orang yang bisa kutemui.”

Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri dari kejutan mendadak ini. "Lama-lama kamu sering datang seolah ini rumahmu sendiri," ujarku sambil duduk di atas kasur.

Anindya menggerak-gerakkan kakinya, sedikit malu. "Di dunia ini aku belum menemukan tempat ternyaman untuk mengeluarkan semua keluh kesahku."

Aku memandangnya sejenak, lalu menggeser sedikit posisiku di kasur, memberi isyarat agar dia duduk di sampingku.

Anindya duduk di sampingku, merapatkan tas merah mudanya ke dadanya. "Setidaknya tidurku mala mini nyenyak."

Aku mengisyaratkan agar Anindya segera tidur. Dia mengangguk pelan, lalu berbaring di sebelahku. Aku bangkit dari kasur, menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian. Air dingin yang menyentuh kulitku memberi sedikit kesegaran, membantu meredakan kecemasan yang menggelayuti pikiran.

Setelah mengganti pakaian, aku kembali ke kamar. Anindya sudah berbaring, matanya tertutup rapat namun kelopak matanya bergetar, menandakan bahwa pikirannya masih sibuk. Aku mendekatinya, merapikan selimut di atas tubuhnya, lalu kembali ke sisi kasurku.

Aku berbaring, mencoba menenangkan pikiran yang terus berputar. Suara napas Anindya yang pelan mulai mengisi keheningan malam.

”Kenapa suka sekali pakai busana hitam, biasanya cewek normal itu suka busana berwarna, tapi kenapa kamu milih busana hitam? Kaos hitam, hoodie hitam, levis hitam, kemaja hitam.”Anindya menghadapkan tubuhnya padaku.

“Maksudnya aku cewek gak normal?” tukasku cepat. Mataku terus menatap atap, enggan membalas tatapan dari Anindya.

Anindya tertawa tipis. “Bukan begitu, maksudnya aneh aja, kamu lebih suka berpenampilan gelap, kayak begal.”

Aku tersenyum tipis, lantas membalikkan tubuh menghadap Anindya. Kini mata kita saling bertatapan. Aku melihat banyak kecemasan dan ketidak tenangan dimatanya. “Kamu sendiri kenapa suka pakai busana putih, kayak setan.”

Anindya tertawa, merasa terhibur dengan balasanku barusan. “Kalau boleh aku ikut ke Semarang, aku ikut, karena Jogja sudah mulai membosankan.”

“Lalu kenapa nggak milih pergi dari dulu?” tanyaku mengerutkan alis.

“Ada milikku yang tidak bisa ditinggalkan.” Anindya memanyunkan bibirnya sambil berpikir, lalu mengembalikan tubuhnya ke posisi semula, mentap atap dengan menggerakkan jari-jarinya seolah sedang menggambar bayangan.

“Bawa saja dia kembali ke Semarang.” Aku ikut menatap atap.

Anindya kaget dengan ucapanku barusan. “Kembali ke Semarang? Kamu tahu milikku yang tadi aku maksud?” Dia bangkit menjadi duduk.

“Aku punya kekuatan bisa melihat pikiran orang,” kataku mengasal. Anindya hanya terheran kemudian kembali mengambrukkan tubuh. Seperih ini ternyata malam ini. Aku dipertemukan dua orang yang saling mencintai dengan lugasnya mengakui perasaan yang sama-sama tidak ingin saling kehilangan, tanpa meretas isi kepala dan hatiku.

“Semisal ada seseorang yang rela kehilangan nyawa demi nyelametin kamu, kira-kira apa yang kamu kasih buat jadi balasan?” tanyaku membuat Anindya tersenyum.

“Aku akan menghilangkan nyawaku sebelum dia menghilangkan nyawanya untukku, karena aku tidak punya apapun untuk membalasnya,” jawab Anindya menghela napas panjang. “Kisahku memang rumit, tragis, aku juga butuh bantuan orang lain, tapi tidak dengan empatinya sehingga dia rela kehilangan nyawanya karenaku,” lanjutnya sendu.

Aku menggangguk paham. Dengan hati yang berat, kami perlahan tenggelam dalam tidur, berharap besok pagi membawa kekuatan baru untuk menghadapi segala hal yang tidak ada dalam rencana.

***

Sinar matahari menyeruak masuk lewat sela korden, membangunkan tidur nyenyakku yang tidak terlalu lama. Tanganku meraba ke samping kanan, mencari kehangatan yang sebelumnya ada di sana. Anindya tidak lagi ada di sampingku. Spontan tubuhku langsung bangkit duduk, mataku mencari-cari sekeliling kamar dengan cemas.

Namun, saat melihat amplop merah muda di atas tempat dia tidur semalam, aku mendengus lega. Segera kubuka amplop itu dengan rasa penasaran. Di dalamnya, ternyata berisi tiket performa besar-besaran di teater balerina. Di balik tiket itu tertuliskan coretan pensil, "Ini performa besar perayaan hari ulang tahunku, anggap saja ini hadiah dariku karena tadi malam aku cukup tertidur nyenyak."

Kubaca lagi tiket itu, merenungkan maknanya. Big Theater, Sunday 22.22. Aku tersenyum tipis, lalu Melipat tiket itu dengan hati-hati dan menyimpannya di meja samping tempat tidur. Itu berarti dia mengundangku ke performa besar di teater ballerina dalam rangka perayaan hari kelahirannya.

Dengan senyum tipis yang masih tersisa di wajahku, aku bangkit dari tempat tidur meregangkan tubuh, menguap lebar, lalu berjalan pelan membuka pintu kamar. Aroma sop iga yang lezat langsung menyambutku, menusuk perutku yang kosong dan mengundang rasa lapar. Bergegas aku berlari mengikuti aroma yang menggoda itu, berharap mendapatkan sumbernya.

Di dapur, ternyata Baskara sudah sibuk menyiapkan sarapan. Dia berdiri di depan kompor, sibuk dengan panci dan berbagai bahan masakan. Wajahnya serius, namun ada senyum tipis di bibirnya saat melihatku datang.

"Selamat pagi, chef," sapaku sambil mendekat.

Baskara menoleh dan tertawa kecil. "Selamat pagi. Belum lama Anindya turun pamit pulang."

Aku mengangguk dengan senyum caramelku. "Aroma sop iga ini terlalu menggoda untuk dilewatkan," jawabku sambil melihat isi panci yang penuh dengan potongan daging iga dan sayuran segar. "Sejak kapan kamu jadi ahli masak pertulangan begini?"

Baskara mengangkat bahu. "Sejak aku sadar bahwa seseorang di rumah ini butuh sarapan yang layak," katanya sambil mengaduk-aduk panci. "Duduk saja dulu, sarapan sebentar lagi siap."

Aku menurut, duduk di meja dapur sambil mengamati Baskara yang dengan cekatan menyelesaikan masakannya. Ada sesuatu yang menenangkan dalam rutinitas sederhana ini, mengingatkan bahwa di tengah semua kekacauan, masih ada momen-momen kecil yang bisa dinikmati.

"Wihh, sedap bener," kataku dengan tulus saat dia mulai menuangkan sop iga ke dalam mangkuk besar dan meletakkannya di depan ku.

Baskara tersenyum hangat. "Buruan dimakan, mumpung anget."

Aku mengambil sendok dan mulai menyantap sop iga yang lezat. Rasa hangat dan gurihnya langsung mengisi perutku. Baskara hanya memandangiku makan dengan lahap. Matanya berbinar senang melihatku menikmati setiap suapan sop iga yang disiapkannya.

“Enak banget, nget. Kamu gak makan juga, mumupung masih anget.“ ujarku di sela-sela suapan.

Baskara tersenyum lebar, duduk di seberangku. "Lihat kamu makan begini, ikut kenyang."

Tidak lama kemudian Ebra datang dan tanpa basa-basi ikut menyantap sop iga buatan Baskara. Ia duduk di sebelahku, mengambil mangkuk dan sendok, lalu mulai makan dengan lahap.

"Hari ini aku mau keluar cari cat warna," ujarku tiba-tiba, mengejutkan Ebra sehingga dia tersedak.

“Kamu sudah mau melukis hasil potretanmu?” tanyanya setelah berhasil menelan makanannya.

Aku mengangguk santai sambil menyuap lagi sop iga ke mulutku. “Iya, sudah saatnya. Jadi, jangan ada yang berani masuk ke kamarku tanpa seizinku,” aku memberi peringatan, menatap tajam ke arah Ebra dan Baskara. Mataku menyusuri ruangan sekitar, dari tadi Evan sama sekali tidak terlihat.

Baskara tertawa kecil. “Mau diantar?” tanyanya dengan nada penuh perhatian. Jelas saja aku langsung mengangguk mau.

Ebra mengangguk sambil tersenyum. “Baiklah, kami akan menghormati zona kreatifmu. Tidak ada yang akan mengganggumu.”

“Oh, nanti malam aku mau lihat performa perayaan ultah Anindya. Aku mau ke sana sendir, kalian focus menyiapakan peralatan buat aku ngelukis saja,” Kataku sambil mengakhiri sarapan.

Sontak Ebra mengerutkan alis dan langsung meletakkan mangkuknya ke atas meja begitu saja. “Kalau yang itu gak bisa.”

Aku menghela napas panjang. “Nanti kalau ada apa-apa aku langsung kabari.” Aku berusa meyakinkan. Pasalnya wajah Ebra dan Baskara seketika berubah sinis.

“Kamu gak bisa dipercaya Eliza, di sini kamu jadi tanggung jawab kita,” ujar Ebra mengeraskan suaranya. Suasana yang semula hangat diiringi kuat sop iga yang panas tiba-tiba berubah sedingin kulkas.

“Lagi pula aku yakin Eja juga akan menonton performa itu meski diam-diam,” kataku mencoba meyakinkan Ebra.

“Eja yang milih memperhatikan Anindya yang terikat tanpa luka dibanding kamu yang sudah jelas-jelas babak belur? Kamu minta kita mempercayai orang seperti dia?” Bakara menyela membuat selaput hatiku tersinggung. Aku hanya terdiam merasa apa yang dikatakan Baskara benar.

Baskara segera bersiap-siap, mengenakan jaket kulitnya siap mengantarku mencari cat. “Ayo cari cat, nanti malam biar aku yang antar kamu ke teater.”

Aku mengikutinya dengan pasrah. Dan segera menyiapkan diri untuk keluar mencari cat warna.

***

1
Kustri
lucu jg takut ama tanah basah☹️
Kustri
awal yg unik
pausberkuda
semangattt🫶👏👏
Azzah Nabilah: weeehhhhh🥲
total 1 replies
ׅ꯱ƙׁׅᨮׁׅ֮ᥣׁׅ֪ꪱׁׁׁׅׅׅꭈׁׅɑׁׅ ηα
kerja bagus ija
Azzah Nabilah
jangan lupa ikuti kisan Eliza dan eja ya
Ohara Shinosuke
Semangat terus thor, aku yakin ceritamu akan menjadi luar biasa!
boing fortificado
Yang bikin author sebisanya aja ya, pengen lanjutin ceritanya.
Min meow
Tidak ada yang kurang.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!