Ayu Lestari, seorang wanita yang harus rela pergi dari rumahnya saat warga mengetahui kehamilannya. Menghabiskan satu Malam dengan pria yang tidak di kenalnya, membawa petaka dan kemalangan pada Ayu, seorang wanita yang harus rela masa depannya terenggut.
Akankah Ayu menemukan siapa ayah bayi yang di kandungnya? bagaimana reaksinya saat mengetahui bahwa pria yang menghamilinya adalah seorang pria yang di kenal culun?
Penasaran kan? yuk ikuti terus kisahnya sampai akhir ya, jangan lupa tambahkan subscribe, like, coment dan vote nya. 🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Hinaan.
Satu minggu telah berlalu. Ayu bisa melihat perubahan Raja yang semakin hari terlihat semakin bahagia bersama Gibran. Meski pria itu terlihat perhatian, baik, juga bertanggung jawab.
Akan tetapi, ada satu sisi yang tidak disukai oleh Ayu dari Gibran, yaitu tingkahnya yang terlihat seperti anak kecil.
Di usia Gibran yang seharusnya terlihat cool, berwibawa, tegas, juga penuh keberanian. Dia malah terlihat seperti anak yang berlindung di belakang ketiak sang ibu, kalah dengan Raja yang jauh lebih dewasa dari sang ayah.
Ayu tidak bisa berkata apa-apa lagi, mungkin kekurangan Gibran memang ada di situ. Dia terlalu culun untuk diakui sebagai pria, tetapi tekadnya untuk membahagiakan mereka sangatlah besar.
“Aku akui, Gibran memang tidak seperti pria pada umumnya. Cuma entah mengapa sifatnya yang polos dan lugu itu membuat mataku melihat sisi spesial dari pria ini. Namun satu yang aku pikirkan, jika memang dia terbukti sebagai ayah kandung Raja, apakah aku bisa menerima segala kekurangannya sebagai kelebihanku? Apalagi kalau dia jadi suamiku, ap … hyaakk!”
Ayu refleks menangkis semua pikiran-pikiran itu dari isi kepalanya. Mungkin bibir bisa berkata lain, tetapi tidak dengan mata hati yang selalu melihat kenyataan betapa baiknya Gibran pada mereka, sehingga wanita tersebut mulai terhipnotis sama perhatian yang diberikan oleh sang pria.
Keesokan paginya tepat jam 10. Gibran dan Wiratma pergi ke rumah sakit untuk mengambil hasil tes tersebut dengan beberapa pengawalan yang ketat.
Mereka tidak ingin bermain-main dengan hasil tes tersebut yang sangat berarti bagi kebahagian mereka semua.
Jantung Ayu semakin berdetak kencang. Dia terlihat tidak tenang untuk melihat hasil tes sang anak. Entah bagaimana hasilnya dia hanya berharap semoga Raja dan dirinya bisa menerima keadaan ini.
“Tenang, Yu. Duduklah, saya yakin hasil tes itu akan membuktikan kebenaran mutlak jika mereka adalah anak dan ayah kandung. Kalaupun tidak, kami tetap akan memperlakukan kalian dengan baik,” Ucap Widya. Dia duduk dengan santai karena hatinya selalu yakin jika Raja mengandung darah keturunan mereka.
“Ibu jangan khawatir, Raja akan selalu bersama Ibu.” Ucap Raja seakan tahu keresahan hati Ibunya.
Senyuman Raja mampu mengalihkan kecemasan Ayu. Dia duduk di samping sang anak, lalu memeluk sesekali mencium pucuk kepalanya. Widya hanya tersenyum manis melihat pemandangan indah di hadapannya.
Setelah sekian lama mereka menunggu tepat pukul 11.45 WIB. Gibran dan sang ayah kembali ke rumah bertepatan dengan Ghina-adik Wiratma yang baru saja datang. Ghina merupakan adik satu-satunya Wiratma, dia sudah menikah dan memiliki anak, tetapi dia tinggal bersama suaminya yang jaraknya lumayan jauh dari kediaman Wiratma. Ghina mendapat kabar dari Ganesha yang keceplosan dengan memberitahukan adanya Raja di Mansion, dia mencecar Ganesha sampai akhirnya dia mengetahui bahwa Gibran sudah menghamili seorang perempuan.
“Gimana hasilnya?” tanya Widya berdiri saking penasaran dengan hasilnya.
“Kita duduk dulu, biar Gibran dan Ayu yang membukanya. Mereka yang berhak atas surat ini!” Tegas Wiratma.
Semuanya duduk termasuk Ghina yang ikut penasaran dengan hasil tersebut. Namun dia sangat yakin tidak mungkin seorang Gibran bisa menghamili orang miskin seperti mereka. Siapa tahu saja ini adalah akal-akalan Ayu yang ingin menjebak mereka demi menguasai hartanya. Siapa yang tidak tahu Wiratma, seorang pengusaha besar dengan harta berlimpah tidak akan habis tujuh turunan itu.
Raja hanya terdiam melihat semua orang, meskipun dia tidak tahu apa yang orang dewasa khawatirkan. Cuma pria kecil ini bisa merasakan jika kehadirannya menjadi perebutan banyak orang.
“Kalian bacalah surat ini bersama-sama, setelah itu umumkan di depan kami bagaimana hasilnya.”
Gibran dan Ayu mengangguk bersama, lalu mereka membuka amplop putih besar yang masih tersegel label rumah sakit.
Ayu mengeluarkan kertas yang masih dilipat dengan rapi, kemudian membukanya bersama Gibran sambil membaca hasil tes DNA milik Raja.
Di kertas tersebut tertulis dengan jelas, bahwa hasil tes DNA Raja dan Gibran 99,99 persen cocok. Itu berarti mereka benar-benar ada ikatan resmi antara ayah dan anak yang tidak bisa dipisahkan.
Di dalam darah Raja mengalir deras darah keturunan dari Gibran, sehingga Ayu tidak bisa mengelak jika sang anak memang darah daging pria yang saat ini menatapnya.
Ayu dan Gibran saling menatap lekat dengan tatapan mata syok. Jika sang pria terlihat bahagia dengan mata berbinar, berbeda dengan sang wanita yang tidak percaya kalau di dalam darah sang anak mengalir darah dari keluarga kaya raya.
“Gimana hasilnya? Raja benar-benar cucu kandungku, ‘kan? Dia pasti anak Gibran, ‘kan? Ayo, jawab pertanyaanku. Jawab!”
Widya begitu antusias karena melihat ekspresi wajah Ayu dan Gibran. Begitu juga Wiratma yang terlihat tenang dan tanpa memperlihatkan apa yang ada di dalma hati dan pikirannya, tetapi dia juga tak bisa berbohong kalau hatinya berbunga-bunga memiliki cucu seperti Raja. Terlebih lagi dia sangat mengharapkan kehadiran cucu laki-laki, yang akan dia jadikan sebagai penerus keluarganya.
Gibran beralih menatap kedua orang tuanya terutama Widya, “Ma-mama … Ra-raja … Raja anak kandungku, Ma. Dia anak yang aku tanam di rahim Ayu!”
Seketika suasana menegangkan itu langsung pecah dengan air mata kebahagiaan dari Widya dan Gibran. Mereka begitu bahagia, bahkan hampir membuat Wiratma mengeluarkan air mata jika tidak segera menghapusnya. Meskipun Gibran polos, setidaknya ada pemikiran dewasa di dalam benaknya dan menerima kehadiran Raja.
Wiratma tidak ingin menunjukkan kelemahannya di depan siapa pun. Itu bukan sifatnya karena selama ini seseorang melihatnya selalu penuh dengan tegas, wibawa, juga kehormatan yang tinggi.
Akan tetapi, berbeda dengan Ghina yang terlihat syok atas hasil dari tes tersebut. Dia langsung berdiri membantah semua orang.
“Tidak! Ini semua bohong! Anak itu bukan anak Gibran, pasti pihak wanita sudah merekayasa hasilnya supaya bisa menguasai harta keluarga Wiratma. Jadi aku mohon sama kalian, jangan pernah percaya sama pelacur itu!”
Ghina menekankan setiap kata yang diucapkan dengan lantang. Terlihat sekali dia tidak terima sama hasil mutlak dari tes tersebut.
Perkataan Ghina berhasil memancing keributan di tengah-tengah kebahagiaan mereka. Ayu saja sampai syok tak bisa berkata apa-apa. Satu sisi dia masih tidak menyangka jika Raja keturunan dari orang terkaya di Negaranya yang memiliki kekuasaan. Namun sisi lain wanita itu juga syok atas perkataan dari adik Wiratma yang menghina harga dirinya.
“Tunggu, Tante! Apa maksud Tante berkata seperti itu pada saya? Kalau Tante tidak tahu tentang masalahku dengan Gibran jangan asal berbicara. Di sini ada Raja, jangan sampai dia berpikir jelek tentang saya!” Tegas Ayu berdiri menatap lekat wanita itu.
“Biarkan saja, biar anakmu itu tahu kalau ibumu bekerja sebagai pemuas n*fsu para pria sampai menghasilkan anak haram yaitu, dia!” Tunjuk Ghina kepada Raja. Di mana anak itu terlihat syok.
Widya yang tak terima atas perkataan Ghina langsung berpindah tempat untuk memeluk Raja sambil menutup telinganya.
“Jangan dengerin orang gila berbicara ya, Sayang. Tenang, Nenek di sini buat Raja. Jangan takut, oke?”
Raja mengangguk dia memejamkan mata di dalam pelukan Widya sesuai dengan arahannya. Wiratma yang tidak ingin cucu kesayangannya itu terkontaminasi dengan pikiran buruk, meminta sang istri untuk membawanya pergi ke kamar.
Perdebatan antara Ayu dan Ghina semakin hebat. Hinaan demi hinaan yang dilontarkan oleh adik Wiratman itu berhasil memancing emosinya.
“Hentikan omong kosongmu itu, Ghina!” pekik Wiratma dengan suara beratnya membuat perdebatan mereka terhenti.
“Tidak, Kak. Aku tidak akan berhenti karena wanita pelacur ini ingin menguasai harta kita dengan memalsukan tes tersebut. Kaka buka mata Kakak, buka! Dia bukan wanita baik, Kak. Bukan! Dia hanya seorang pel*c*r yang bisa aja anaknya itu anak dari pria lain, bukan anak Gibran. Jadi aku mohon sama Kakak usir wanita ini dan anak haram itu keluar dari rumah ini!”
Ketegasan Ghina yang terus menantang Wiratma dengan menjatuhkan harga diri Ayu serta menjelekkan Raja berhasil memancing jiwa malaikat berubah iblis di hati Gibran.
Pria itu berdiri tegak, lalu menampar keras Ghina hingga membuat syok Ayu yang ada di sampingnya.
“Gibran! Berani sekali kamu menampar Tan—”
Ghina menghentikan perkataannya ketika melihat tatapan tajam Gibran yang berbeda dari biasanya, bahkan lebih menyeramkan dari Wiratma ketika marah.
Inilah sisi orang baik yang tidak bisa diragukan. Marahnya orang pendiam jauh lebih kejam, daripada marahnya orang arogan.
“Jangan pernah sekali lagi kau melontarkan kalimat menjijikan itu pada anak kandungku dan juga Ayu-Ibunya. Jika sampai mulut kotormu itu kembali mengatakan hal buruk pada mereka, tidak segan-segan aku akan membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri!”
“Tidak ada satu orang pun yang berani menjatuhkan harga diri Ayu maupun anakku. Jika Kau menjatuhkan saya terserah, tapi saya akan pasang badan untuk membela hak Raja dan Ayu. Tidak peduli jika aku harus melawan kalian semua, aku siap! Asalkan aku bisa melindungi Ayu dan anakku dari orang tak bermoral sepertimu, Ghina!”
“Sekalipun Aku harus membunuh ayah kandungku sendiri demi membela harga diri Ayu, pasti akan ku lakukan. Bagiku Ayu dan Raja adalah harta yang tidak bisa saya jelaskan berapa nilai nominalnya. Jadi, kalau Kau masih ingin hidup minta maaflah pada Ayu atau pergi dari sini!”
Sungguh luar bisa. Baru kali ini Wiratma merasa bangga memiliki anak seperti Gibran. Pria itu rela pasang badan demi membela martabat Ayu dan anaknya.
Wiratma bukannya marah mendengar perkataan Gibran. Dia malah terlihat bahagia karena apa yang dilakukan Ghina memang sudah kelewat batas.
Jikalau pun Wiratman berada di posisi sang anak pasti akan melakukan hal yang sama atau bisa jadi jauh lebih kasar dari Gibran. Baginya keluarga adalah nomor satu dan kebenaran akan selalu ditegakkan, tak memandang apa pun jika memang salah ya, tetap salah tanpa harus dibela.
Ghina yang tidak terima atas penghinaan dari sang ponakan langsung menatap Wiratma yang masih setia duduk santai di kursinya.
“Kak, lihatlah anak tidak tahu diri itu. Bisa-bisanya dia menamparku bahkan mengancam nyawaku! Kakak kasih dia pelajaran supaya—”
“Apa yang harus aku berikan pada putraku sendiri, hem? Apa yang dilakukannya aku sangat mendukung, jika perlu aku yang akan memberikan senapan untuk menembakkan peluru langsung ke kepalamu. Jadi, kalau kamu tidak terima cepat keluar dari rumah ini atau aku tidak segan-segan untuk mencoretmu dari daftar adik kandungku dan semua saham atas namamu aku cabut semuanya! Kau hanya tahu kesimpulannya tanpa melihat apa proses di dalamnya, jadi lebih baik tutup mulutmu!"
Mata Ghina terbuka lebar-lebar. Dia benar-benar syok menyaksikan sang kakak sedikit pun tidak membelanya. Pria itu malah membantu sang anak untuk bersekongkol melenyapkan dirinya.
“Dasar keluarga gila arrrghhhh ….”
Ghina pergi dari rumah itu dalam keadaan berteriak frustasi. Hatinya benar-benar marah bahkan menyimpan dendam yang sangat dalam untuk Ayu.
Semua masalah ini terjadi karena kehadiran Ayu dan Raja, sehingga semua orang menantang keras Ghina bahkan mengusirnya secara tidak terhormat. Sedari kecil Ghina selalu di manjakan dan membuat wanita itu angkuh, penampilan Ayu membuat Ghina beropini jika Ayu hanya memanfaatkan kepolosan Gibran. Di keluarganya sangat menentang adanya hamil di luar nikah, tetapi apa daya jika semua itu terjadi di luar kendali. Ghina mungkin lupa kalau Wiratma pula pernah melakukannya pada Widya dulu, sampai Widya stress hingga kehilangan bayinya, dan Wiratma pun melakukannya secara sadar bukan jebakan semata.