Diana, gadis manis yang harus merasakan pahit manisnya kehidupan. Setelah ayahnya meninggal kehidupan Diana berubah 180 derajat, mampukah Diana bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aprilli_21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Andi
Tanpa mereka sadari Pak Ahmad mendengar semua pembicaraan putra-putrinya entah apa yang ada di dalam benak Pak Ahmad yang pasti Pak Ahmad tidak bisa berbuat apa-apa.
Pak Ahmad terlalu mencintai Bu Sari dan bisa dikatakan "Bucin" sehingga Pak Ahmad tidak pernah memarahi ataupun menegur Bu Sari dan untuk masalah anak Pak Ahmad menyerahkan semuanya kepada Bu Sari karena tugas beliau hanya mencari nafkah untuk keluarganya.
Pak Ahmad mencoba membicarakan masalah anak dari hati ke hati.
"Sayang apa aku boleh tanya ke kamu?"
Bu Sari yang semula memejamkan mata seketika membuka matanya dan menoleh kepada sang suami.
"Tanya apa Mas?"
Jawabnya dengan suara khas orang bangun tidur serta kelelahan akibat pergulatannya semalam.
"Apa kamu tahu kalau Andi sakit?"
Bu Sari yang mendengar pertanyaan tersebut mengangguk dan memejamkan matanya sambil merebahkan kepalanya di paha sang suami.
"Tahu Mas dan aku mau mereka belajar bertanggung jawab dengan diri mereka sendiri contohnya seperti itu semalam aku melihat Andi pulang dengan wajah bengkak dan sedikit memar aku biarkan mereka merawat sendiri luka mereka agar mereka bisa berhati-hati lagi agar tidak terluka kembali,"
Pak Ahmad menghela nafasnya berat dan mengelus lembut rambut Bu Sari.
"Tapi sayang apa kamu tidak keterlaluan, mereka masih kecil dan mereka tidak seharusnya diperlakukan seperti orang dewasa seperti itu memang kamu mengajarkan mereka untuk bertanggung jawab kepada dirinya sendiri tapi apa mereka bisa tahu keinginan kamu sedangkan kamu hanya melihatnya saja tanpa memberi arahan?"
Bu Sari memutar bola matanya lalu membelakangi Pak Ahmad.
"Aku dari kecil sudah biasa hidup keras dan aku ingin anakku merasakan apa yang dulu pernah aku rasakan kalau kamu tidak suka dengan caraku itu terserah kamu yang penting itu caraku mengajarkan mereka!"
Pak Ahmad memijat pelipisnya dan mencoba menenangkan dirinya agar tidak meluapkan emosinya kepada Bu Sari lalu Pak Ahmad keluar dari kamarnya untuk melihat Andi dari balik pintu kamarnya.
Wajah yang sedikit bengkak dan memar yang masih tercetak jelas di pipinya membuat wajah anak itu terlihat memilukan Pak Ahmad lalu masuk ke dalam kamar Andi.
"Nak bagaimana keadaan kamu?"
Terkejut saat ada suara berat menyapa indra pendengarannya Andi menoleh ke arah suara tersebut dan dilihatnya sang Ayah menatap lekat pipinya yang bengkak.
"Andi sudah tidak apa-apa Yah,"
Andi mencoba mengalihkan pandangannya karena tidak ingin bertatap muka dengan Ayahnya.
"Ya sudah kamu istirahat saja dulu Ayah mau pergi sebentar."
Pak Ahmad menepuk pundak Andi setelah itu keluar dari kamar Andi sedangkan Andi yang merasakan tepukan di pundaknya tidak kuasa menahan air matanya.
Andi termasuk anak yang pendiam dia tidak pernah mengeluh saat apa yang dia inginkan tidak tercapai ia termasuk anak yang tidak menuntut banyak kepada kedua orang tuanya walau tidak bisa dipungkiri ia merasa kasih sayang orang tuanya tidak merata antara dirinya dan sang Kakak apalagi saat ini ia memiliki adik sangat kecil kemungkinan orang tuanya melihat kearahnya.
"Aku laki-laki dan aku harus kuat kamu pasti bisa menjadi laki-laki hebat!"
Ucapnya meng sugesti dirinya bahwa dia kuat dan dia kelak bisa menjadi lelaki hebat.
Beberapa saat kemudian Pak Ahmad kembali masuk ke dalam kamar Andi dan membangunkan Andi untuk segera meminum obat yang telah Pak Ahmad beli di Apotik.
"Nak bangun dulu ayo minum obatnya,"
Andi yang semula terlelap akhirnya membuka matanya dan dilihatnya sang Ayah membawa satu strip obat Paracetamol.
"Ayah,"
Ucapnya lirih dan menahan tangisnya
"Ayo diminum dulu obatnya setelah itu istirahat lagi ya,"
Pak Ahmad membantu Andi memposisikan tubuhnya agar dalam posisi duduk lalu Pak Ahmad memberikan satu tablet obat dan segelas air setelah Andi meminum obatnya Pak Ahmad membantu Andi membaringkan tubuhnya.
"Terimakasih Ayah,"
Pak Ahmad mengelus lembut rambut Andi lalu menepuk pundaknya.
"Cepat sembuh Nak kasian Kakak kamu selalu menangis melihat kamu terbaring seperti ini,"
Andi menatap sang Ayah lalu menganggukkan kepalanya sebelum Pak Ahmad keluar dari kamarnya beliau memberi amanah kepada Andi.
"Nak apa Ayah bisa berbicara serius kepada kamu?"
Andi yang semula akan memejamkan matanya ia urungkan lalu menoleh kepada sang Ayah.
"Bicara saja Yah,"
Dengan banyaknya pertimbangan akhirnya Pak Ahmad memulai pembicaraan.
"Jika suatu saat nanti Ayah tidak ada disisi kalian lagi Ayah harap kamu bisa menjadi gada terdepan untuk Kakak dan Adik kamu,"
Pak Ahmad menatap sendu Andi yang sedang mengernyitkan dahinya karena tidak mengerti apa yang diucapkan sang Ayah.
"Apa maksud Ayah?"
Pak Ahmad yang menyadari bahwa ini bukan moment yang tepat akhirnya tidak melanjutkan ucapannya dan menyuruh Andi untuk istirahat lagi.
"Tidak usah kamu pikirkan Nak lebih baik kamu istirahat saja Ayah kerja dulu Pak Trisna sudah datang dari tadi beliau menunggu Ayah."
Andi hanya menganggukkan kepala lalu memejamkan matanya karena obatnya telah bereaksi.
Pak Ahmad menatap sendu Andi dari balik pintu yang tidak tertutup rapat beliau menghela nafas berat karena teringat kejadian lampau yang membuat Pak Ahmad merasa bersalah kepada Andi hingga saat ini.
Masa lalu yang sulit dilupakan Pak Ahmad yang membuatnya selalu merasa bersalah kepada anak laki-lakinya itu.
Beberapa tahun lalu saat Diana berumur 1 tahun lebih Bu Sari meninggalkan Pak Ahmad dan Diana karena Nenek Sita selalu ikut campur dalam rumah tangganya akhirnya Bu Sari memilih pergi dari rumah dan memilih pergi ke kota S tempat beliau bekerja sebelum menikah dengan Pak Ahmad.
Pak Ahmad mencari informasi tentang keberadaan Bu Sari melalui hal mistis pun beliau lakukan sehingga Pak Ahmad mengetahui dimana Bu Sari berada.
Saat Pak Ahmad menghampiri Bu Sari ke kota S ternyata Bu Sari telah hamil 6 bulan berbagai macam cara Pak Ahmad merayu Bu Sari agar kembali lagi kerumah.
"Sayang tolong kembali pulang kasihan Diana sayang, dia masih kecil dan Diana membutuhkan Ibunya saat ini juga karena Diana masuk rumah sakit sayang aku mohon ayo kembali pulang ya,"
Pak Ahmad bersimpuh di depan kaki Bu Sari dan meneteskan air matanya serta menggenggam tangannya sedangkan Bu Sari memalingkan wajah dan menahan air matanya.
'Maafkan Ibu Nak.'
Bu Sari merasa bersalah kepada Diana yang terkena imbas akibat keegoisannya meninggalkan anak dan suaminya akhirnya Bu Sari memberi keputusan kepada Pak Ahmad.
"Aku mau ikut kamu pulang asalkan kamu tidak selalu berpihak kepada Ibumu!"
Mendengar keputusan Bu Sari tersebut Pak Ahmad merasa senang dan dapat bernafas lega karena dapat berkumpul dengan istrinya lagi.
"Iya sayang Mas janji selalu mengutamakan kamu sayang."
Pak Ahmad yang semula tidak fokus kepada perut Bu Sari seketika itu terkejut melihat perut Bu Sari yang membuncit.
"Sayang kamu hamil lagi?"
Bu Sari menganggukkan kepalanya lalu menghela nafas berat
"Aku tidak tahu kalau aku hamil muda saat pergi meninggalkan rumah,"
Pak Ahmad merasa bersalah kepada Bu Sari karena tidak mengetahui jika Bu Sari hamil muda andai saat itu Pak Ahmad menyadari mungkin beliau tidak akan memberi celah kepada Bu Sari untuk pergi dari rumah.
Nasi sudah menjadi bubur mau menyesal seperti apapun tidak akan berarti sama sekali.
Keesokan harinya Pak Ahmad dan Bu Sari kembali ke kota B sesampainya di kota B mereka langsung menuju rumah sakit tempat Diana dirawat.
"Dasar Ibu tidak punya *tak, anak sekecil itu ditinggal kalau seperti ini bagaimana?"
Hardik Nenek Sita kepada Bu Sari.
"Bu sudah ini salah Ahmad Ibu jangan selalu menyalahkan Sari,"
Pak Ahmad mencoba menjadi penengah karena Pak Ahmad khawatir Bu Sari akan meninggalkannya lagi.
"Loh Ahmad Sari hamil lagi, sejak kapan dia hamil, dia udah beberapa bulan meninggalkan rumah kok bisa hamil lagi, apa jangan-jangan itu bukan darah daging kamu?"
Mendengar cercaan Nenek Sita membuat Bu Sari meradang.
"Ini yang membuat aku tidak betah dengan Ibumu Mas, selalu mencari celah untuk menyalahkan orang lain dan memfitnah orang lain!"
Pak Ahmad hanya memejamkan mata dan mencoba untuk meredam emosi yang menumpuk di dadanya.
"Bu tolong Ibu pulang kerumah saja biar Ahmad dan Sari yang menjaga Diana,"
Pak Ahmad memohon kepada Nenek Sita dengan raut wajah memelas nya akhirnya Nenek Sita memilih berlalu pergi dengan menatap tajam Bu Sari.
salam kenal
terus semangat
jangan lupa mampir ya