NovelToon NovelToon
Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Status: tamat
Genre:Tamat / Konflik etika / Anak Kembar / Masalah Pertumbuhan / Keluarga / Persahabatan / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rianti Marena

Konon tak ada ibu yang tega 'membuang' anaknya. Tapi untuk wanita seperti Ida, itu sah-sah saja.
Lalu tidak ada yang salah dengan jadi anak adopsi. Hanya, menjadi salah bagi orang tua angkat ketika menyembunyikan kenyataan itu. Masalah merumit ketika anak yang diadopsi tahu rahasia adopsinya dan sulit memaafkan ibu yang telah membuang dan menolaknya. Ketika maaf adalah sesuatu yang hilang dan terlambat didapatkan, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rianti Marena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Berani Mencoba

Pukul 10:35 hari Minggu, Yones berkendara dengan ayahnya. Deru mobil yang membawa mereka melesat di jalanan beraspal menjauhi pusat kota. Di sisi kanan dan kiri jalan tidak lagi nampak bangunan mewah. Malah lebih banyak kebun, pekarangan penuh tanaman, atau sawah. Sinar matahari cukup ramah, menyisakan terang yang menyeruak diantara rindang pohon-pohon di sepanjang jalan yang mereka lewati.

Di balik kemudi Yones tersenyum-senyum sendiri. Ingatannya melayang pada perempuan yang ditemuinya beberapa hari yang lalu.

'Ahh, manis amat dia? Kapan ya, aku bisa ketemu dia lagi? Terus lihat dia senyum. Eh, apa, sih? Kenapa jadi ingat senyumannya? Aduh Yon, fokus!'

Yunus, sang ayah mengenali perubahan sikap putranya. Sebab sedari pagi menuju siang, ada yang berbeda pada raut wajah Yones. Anak yang diperhatikan masih saja asyik terbuai lamunan. Melihat putranya, Yunus tersenyum sendiri.

"Nak? Yones? Hei! Nak!"

Yones kaget, tapi berusaha menyembunyikannya. "Hm? Eh, iya, Ayah?"

"Gimana, sih? Nyetir kok melamun? Hayo, mikirin apa?" goda Yunus.

"Ennnggak, nggak mikirin siapa-siapa, kok," elak sang anak.

Yunus tertawa. Jelas sekali baginya, anak laki-laki satu-satunya itu sedang salah tingkah. Ah, putraku sudah dewasa. Lagipula, memang sudah waktunya. Tentu saja ini tidak jauh-jauh dari yang namanya cinta. Mungkin putranya sedang mengalami yang namanya jatuh cinta. "Hiyaaa, ketahuan. Siapa yang sedang ada dalam pikiranmu, hayo?"

"Nggak ada, Ayah."

"Yakin, nggak ada? Beneran?"

"Yakin, Ayah. Beneran." Yones masih mengelak. Namun warna daun telinganya sudah mulai memerah. Dia malu dan sedang menyembunyikan perasaannya. Ah, ini sih sudah pasti, dugaanku mesti tidak salah, pikir Yunus.

"Ngaku saja. Cerita dong, sama Ayah, gadis mana yang mencuri hatimu?"

Dari balik kemudi Yones menunduk tersipu, mengaku. "Baru mencuri perhatian aja, Ayah. Belum sampai mencuri hati."

"Naah, berarti benar, 'kan, kamu sedang melamunkan gadis itu? Siapa namanya? Kapan kamu ajak dia untuk kenalan sama Ayah?"

Yones semakin tampak tersipu.

"Puji Tuhan! Ayah senang, lho, akhirnya kamu sekarang berani jatuh cinta," ujar Yunus lalu tertawa. "Biasanya gadis-gadis yang deketin kamu. Tapi mereka kamu cuekin. Baru kali ini kayaknya perhatianmu teralihkan. Jadi penasaran, nih, Ayah. Kayak apa, sih, orangnya? Cantik?"

"Aah, Ayah, jangan gitulah. Sukanya godain Anak. Ayah, tuh, yang nggak mau ngenalin calon ibu buatku. Sampai kapan Ayah betah melajang?"

"Walah, hahaha, malah ganti ayah yang digodain. Yah, kalo Ayah sih, tunggu kamu nikah dulu. Lagipula, masih banyak anak-anak asuhan Om Dion yang bisa Ayah limpahi dengan cinta. Jadi, daripada mencari calon ibu untukmu, lebih baik membantu Om Dion di panti."

Yones tertawa. "Huu, Ayah, tuh, pintar cari alasan." Dering panggilan masuk pada ponsel Yones menjeda obrolan. Nama 'Om Dion' muncul pada layar. "Eh, Om Dion, Yah!" Lewat penyuara jemala Yones menjawab panggilan itu. "Halo, siang, Om. .... Jadi, dong. Ini sama Ayah."

...*...

Ini kali pertama si bungsu Rani diajak ibunya ke panti asuhan. Biasanya Senja, kakaknya atau Bapak yang menemani ibunya kemari. Kali ini dalam rangka ulang tahun panti, ibu mengajaknya ikut. Bahkan, tidak sekadar ikut. Ibu membolehkannya masuk dapur dan ikut membantu memasak. Istimewa!

Mengapa istimewa? Tentu ada alasannya. Rani fobia api. Sejak lahir dia takut sekali melihat api. Belum pernah sekalipun ada pesta ulang tahun dengan lilin menyala diselenggarakan di rumah mereka. Setidaknya di depan mata Rani. Kalaupun terpaksa harus pakai api lilin, maka mata Rani wajib ditutupi agar tidak melihat api. Sekadar foto atau gambar, tidak masalah. Video pun masih aman, dengan catatan, Rani ada yang mendampingi.

Lalu, bagaimana dengan memasak? Bukankah dapur adalah tempat yang berisiko bagi Rani? Ohoho, keluarganya sudah mengatasi itu. Tidak ada yang namanya kompor gas atau kompor dengan api yang menyala. Semua serba kompor listrik atau induksi.

Namun, tetap saja Rani jarang ikut memasak. Bukan karena malas. Memasak bukanlah sesuatu yang dikuasai Rani. Berkali-kali Rani sukses mengiris kuku atau jarinya tanpa sengaja saat berniat belajar mengiris bawang. Memotong sayuran pun bentuknya cukup sulit didefinisikan. Bisa merebus air dan membuat mi instan adalah sebuah pencapaian yang patut diapresiasi dari si anak bontot.

Lantas apa yang terjadi hari ini? Entah dapat dorongan dari mana atau inspirasi dari siapa, Rani memberanikan diri, tepatnya memohon kepada ibunya agar dibolehkan membantu memasak. Begitu mendengar cerita ibunya bahwa hari ini sang ibu hendak masak besar untuk acara panti, Rani mengajukan proposal 'ikut bantu ibu masak'. Jadi, sebagai persiapan, Ibunya membawa kompor induksi yang besar dari rumah. Semata demi meluluskan proposal si bungsu untuk ikut memasak di dapur panti.

Bagi sebagian orang tindakan semacam itu tampak merepotkan. Namun, bagi ibu dan bapak, kerepotan itu bukan masalah. Justru membawa kebahagiaan bagi seluruh anggota keluarga. Sebab artinya Rani mulai berani mengatasi fobianya. Berani mencari jalur lain yang baik untuk menangani ketakutannya.

"Bu, garamnya segini cukup, nggak, untuk satu panci?" Di tangan Rani ada sendok makan dengan garam halus memunjung.

Di hadapan Rani memang ada sebuah panci berukuran sangat besar. Di dalamnya aneka sayuran potong dan beberapa bahan lain bercampur dalam kuah kaldu. Aromanya gurih, menguar di hidung Rani.

"Yo kurang, dong, Nduk! Pancinya saja sebesar itu kok garamnya satu sendok makan? Ditambah! Ayo!" Pinta sang ibu.

"Ya 'kan aku nggak tahu, Bu. Makanya nanya. Ntar kalo keasinan gimana?"

Ibunya tersenyum lalu berjalan mendekati Rani. "Sini, perhatikan!" Rani pun memperhatikan bagaimana ibunya menyendokkan garam. Kini toples wadah garam berpindah dari tangannya ke tangan ibunya. "Nih, hm, hm, nah, segini! Lalu dicampur sampai rata. Terus dicicipi lagi pakai sendok ini. Kalau masih kurang asin, ya tambah." Rani mengangguk, mencoba memahami arahan sang ibu.

"Lah kalo masih kurang asin? Ditambah terus? Ntar keasinan, Bu?"

"Hiih, ya kamu harus belajar. Ditambahkan seberapa, dikira-kira sendiri. Sudah lo ya, Ibu tinggal menyisik ikan di belakang. Kalau kelamaan nanti ikannya rusak, nggak segar lagi. Pokoknya sesekali diaduk. Ya?"

Rani menurut saja. Ibunda ratu 'kan emang master chef, jago banget kalau soal masak-memasak, pikir Rani. Maka, Rani merasa dirinya wajib mematuhi arahan sang ibu kalau memang dirinya benar-benar ingin bisa memasak sesuatu dengan benar dan sukses. "Iya, deh, Bu. Tapi Ibu siap ditelepon, ya, kalau aku butuh bantuan?"

"Iyaaa. Dah, Ibu tinggal!" Ibunya lalu menghilang dari pintu lain dapur, menuju pekarangan belakang panti. Kini dia kembali sendirian, berjuang menghadapi sepanci besar sup ayam, sosis, sayuran, dan bakso daging sapi yang akan entah bagaimana rasanya nanti di tangannya. Paling tidak beberapa sendok garam tadi bisa dianggap sebagai serbuk ajaib sentuhan ibunya, mimi peri bidang perdapuran dunia.

"Hhh. Ibu nih, main tinggal aja. Ntar kalo aku bikin kesalahan pas Ibu nggak ada, Ibu juga yang malu. Terus, pasti aku diomelin panjang lebar. Ahhh. Eh iya, ini matangnya kapan? Rasanya udah pas belum, ya?"

Tak lama, ada orang lain menyapanya. "Eeh, nona manis ini sendirian rupanya?" Ternyata Pak Dion, pemilik sekaligus pengelola panti.

"Eh, halo, Bapak," sapa Rani ramah. "Iya nih, Pak, dipasrahi Ibu masak sayur. Kalau nanti rasanya kurang enak, jangan marah, ya Pak," pinta Rani serius. Tapi Pak Dion malah tertawa. "Serius, lho, Pak. Aku soalnya nggak pintar masak. Ini aja baru pertama kali nambah garam sendiri."

Pak Dion mengambil beberapa serbet bersih dari dalam salah satu lemari dapur lalu tersenyum ramah kepada Rani. Katanya, "Yo nggak apa-apa. Tapi usahakan agar sayurnya tetap bisa dimakan, lo!"

"Yah, Pak Dion kok malah bilang gitu? Tambah nggak pede nih masaknyaaa," kata Rani.

Melihat raut ciut Rani, Pak Dion tertawa lepas. Kata Beliau kemudian, "Bapak bercanda. Kamu tenang saja. Sayur masakanmu pasti dimakan. Apapun rasanya nanti. Tetap semangat dan hepi bikin sayurnya, ya! Saya tinggal ke depan, ya!"

"Okelah, Pak. Wish me luck dengan sayur ini ya, Pak!"

"Siaaap!" Pak Dion melambaikan tangan kepadanya sambil berjalan menjauh. Rani tersenyum kecil. Mata beningnya kembali tertuju pada panci dan sayur sop di hadapannya.

"Tenang, Rani. Kamu pasti bisa. Semangat!"

...*...

1
Sabina Pristisari
yang bikin penasaran datang juga....
Rianti Marena: ya ampun.. makasih lo, udah ngikutin..
total 1 replies
Sabina Pristisari
Bagus... dibalik dinamika cerita yang alurnya maju mundur, kita juga bisa belajar nilai moral dari cerita nya.
Sabina Pristisari: sama-sama... terus menulis cerita yang dapat menjadi tuntunan tidak hanya hiburan ya kak...
Rianti Marena: makasih yaa..
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!