Sadiyah, seorang gadis yatim piatu, terpaksa harus menerima perjodohan dengan cucu dari sahabat kakeknya. Demi mengabulkan permintaan terakhir sahabat kakeknya itu, Sadiyah harus rela mengorbankan masa depannya dengan menikahi pria yang belum pernah ia temui sama sekali.
Kagendra, pengusaha muda yang sukses, terpaksa harus menerima perjodohan dengan cucu dari sahabat kakeknya. Disaat ia sedang menanti kekasih hatinya kembali, dengan terpaksa ia menerima gadis pilihan kakeknya untuk dinikahi.
Setelah pernikahan itu terjadi, Natasha, cinta sejati dari Kagendra kembali untuk menawarkan dan mengembalikan hari-hari bahagia untuk Kagendra.
Apakah Sadiyah harus merelakan pernikahannya dan kembali mengejar cita-citanya yang tertunda? Akankan Kagendra dan Natasha mendapatkan cinta sejati mereka?
Siapa yang akan bersama-sama menemukan cinta sejati? Apakah Sadiyah dan Kagendra? Ataukah Natasha dan Kagendra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raira Megumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Tinggal Bersama
Resepsi pernikahan telah dilaksanakan satu minggu yang lalu. Sadiyah telah membereskan masalah perusahaannya dan memberikan kepercayaan kepada sahabatnya, Gita dan Reza untuk mengelola usaha pangan dan kuliner yang telah dirintisnya satu minggu sebelum acara resepsi.
Hari ini pertama kalinya, Sadiyah berkunjung ke rumah keluarga suaminya. Sekarang ia sedang beristirahat di kamar yang biasanya ditempati Kagendra.
“Kita menginap di sini satu hari saja. Besok kita berkemas dan bersiap untuk tinggal di apartemen saya.” ujar Kagendra ketika memasuki kamarnya.
Sadiyah yang sedang berbaring di kasur terperanjat dan langsung bangun mendengar suara memerintah dari Kagendra.
“Iya, A.” sahut Sadiyah.
“Sekarang kita turun untuk makan siang bersama dengan Aki, Abah, Ibu dan adik saya.” Kagendra memberi perintah lagi.
“Baik, A” Sadiyah segera bangkit dari duduknya dan berjalan mengikuti Kagendra menuju ke ruang keluarga.
“Sudah cukup istirahatnya, Nak?” tanya Indriani lembut.
“Sudah, Bu.” jawab Sadiyah.
“Ayo, Neng. Kita makan siang bersama. Hidangannya sudah siap.” ajak Aki Musa.
Sadiyah mengangguk mendengar ajakan Aki Musa.
“Ayo Teh.” ajak Alena, adik perempuan Kagendra sambil merangkul bahu Sadiyah.
Mereka semua berjalan menuju ruang makan.
“Semua keluarganya sangat baik, sopan dan lembut. Tapi kenapa yah dia gak bisa baik, sopan dan lembut seperti keluarganya.” tanya Sadiyah di dalam hatinya.
*********************
Hari ini, Kagendra dan Sadiyah sudah berada di apartemen milik Kagendra. Sadiyah meletakkan 2 koper besar miliknya di ruang tengah.
“Kamu bisa masak kan?” tanya Kagendra.
“Insya Allah kalau masak yang simpel sih saya bisa.” jawab Sadiyah.
“Bagus. Saya sudah menyiapkan berbagai macam bahan untuk masak. Kamu lihat di kulkas dan masak apa saja yang bisa kamu masak. Saya harap kamu memasakkan sarapan, makan siang dan makan malam untuk saya dengan menu yang berbeda setiap waktu makannya. Kamu sanggup?” tanya Kagendra.
“Insya Allah, A.” sanggup Sadiyah.
“Sekarang kamu masak. Saya lapar.” perintah Kagendra.
“Boleh saya istirahat sebentar, A?” tanya Sadiyah.
“Terserah.” ucap Kagendra ketus sambil berlalu ke kamarnya.
“Huh, dasar tukang perintah.” sungut Sadiyah kesal.
“Eh, gak boleh mengeluh Iyah. Dosa kalau mengeluh karena disuruh oleh suami.” batin Sadiyah mengingatkan.
Dengan enggan Sadiyah beranjak menuju dapur. Ia membuka dan melihat kedalam kulkas. Ada banyak bahan masakan yang bisa digunakan oleh Sadiyah. Ia melihat ayam, daging sapi, udang, dan berbagai macam sayuran. Bumbu masak juga sudah tersedia dengan lengkap. Mbak Ikem, asisten rumah tangga di rumah Kagendra yang menyiapkannya.
Beruntung, Sadiyah bisa memasak. Walaupun di rumahnya sendiri jarang masak karena lebih sering makan di restoran atau memesan makanan dari restoran. Di rumah keluarga besarnya pun, ia jarang masak karena semuanya sudah disediakan oleh para asisten rumah tangga yang berjumlah tiga orang tapi Sadiyah mau belajar memasak dari Ita, bibinya ataupun Mak Isah, apalagi ketika ia tahu bahwa ia akan menikah, ia semakin rajin untuk belajar masak.
Sadiyah baru saja selesai memasak ayam teriyaki dan oseng capcay. Ia berharap suaminya akan suka dengan masakannya. Tak lupa, ia juga memasak nasi dengan menggunakan magic com. Setelah merasa nasi dan lauk pauknya sudah siap tersedia, Sadiyah beranjak menuju kamar Kagendra dan mengetuk pintunya.
Tok…tok…tok…
“A, makan siangnya sudah siap.” seru Sadiyah di depan pintu kamar Kagendra.
Tidak terdengar jawaban dari dalam. Sekali lagi, Sadiyah mengetuk pintu dengan agak keras.
“A, makan….” belum selesai Sadiyah menyelesaikan kalimatnya, pintu kamar terbuka lebar menampilkan sosok Kagendra dengan mata yang memerah.
“Ribut sekali. Kamu mengganggu tidur saya.” bentak Kagendra.
“Maaf, A. makan siangnya sudah siap. Jika Aa mau makan, saya….”
“Berisik.” bentak Kagendra memotong kalimat Sadiyah.
“Astaghfirulloh, sudah capek membuat masakan, masih saja dibentak-bentak.” batin Sadiyah protes.
Kagendra hendak menutup lagi pintu kamarnya ketika Sadiyah memegang handle pintunya.
“Mau kemana lagi? Sebentar lagi waktu dzuhur. Makan siang juga sudah tersedia.”
“Berisik.” bentak Kagendra lagi.
Sadiyah mengelus dadanya beristighfar. “Dasar suami durhaka. Astaghfirulloh, sabar Iyah.”
“Saya mau cuci muka dulu.” ujar Kagendra sambil berlalu dari hadapan Sadiyah.
“Ngeselin.” lirih Sadiyah.
“Kita sholat dzuhur dulu.” ajak Kagendra setelah ia membasuh wajahnya dan berwudhu di kamar mandi.
“Saya sedang berhalangan, A.” sahut Sadiyah.
Kagendra berbalik kembali menuju kamarnya untuk sholat dzuhur sendirian.
Setelah selesai sholat, Kagendra menuju meja bar untuk melihat masakan yang telah dibuat oleh istrinya.
“Saya mau makan.” ujar Kagendra.
“Baik A, akan saya siapkan.” sahut Sadiyah sambil mengambilkan piring dan nasi ke dalam piring.
Kagendra duduk di kursi bar yang ada di apartemennya. Sengaja Kagendra tidak menggunakan meja makan yang seperti biasanya karena ia tidak ingin ruangan di apartemennya menjadi terlihat sempit dan sumpek dengan perangkat meja makan.
“Segini cukup?” tanya Sadiyah menanyakan porsi nasi yang sedang diambilnya untuk Kagendra.
“Ya.” jawab Kagendra singkat.
“Lauk dan sayurnya mau saya ambilkan juga?” tanya Sadiyah.
“Terserah.”
“Huh, jawabannya irit sekali.” kesal Sadiyah dalam hatinya.
Kemudian Sadiyah mengambilkan juga ayam teriyaki dan capcay ke dalam piring Kagendra.
“Segini cukup?” tanya Sadiyah.
“Hmmm….” sahut Kagendra.
“Menyebalkan.” dumel Sadiyah lirih.
“Kamu mengumpat pada saya?” tanya Kagendra melihat bibir Sadiyah yang bergerak-gerak tapi tidak terdengar satu kata pun yang terdengar.
“Gak.” jawab Sadiyah kesal.
“Jangan mengumpat pada suami. Dosa. Kamu tahu kan apa itu dosa? Saya yakin kamu lebih tahu.” ujar Kagendra.
“Ya.” jawab Sadiyah
“Kalau jawab itu yang benar. Jangan asal menjawab. Jawab dengan kalimat yang lengkap.” jelas Kagendra.
“Baik.” jawaban Sadiyah membuat kesal Kagendra.
“Cih.” dengus Kagendra.
“Sendirinya juga kalau jawab seenaknya.” protes Sadiyah dalam hati. Sekarang ini, Sadiyah hanya berani memprotes kelakuan suaminya itu di dalam hati saja.
“Hmmm, lumayan enak juga masakannya.” puji Kagendra dalam hatinya.
Mereka makan dalam suasana hening, tidak ada obrolan diantara mereka selama mereka makan.
Setelah mereka selesai makan, Sadiyah beranjak untuk mencuci piring dan gelas kosong bekas mereka makan.
“Setelah kamu selesai cuci piring, saya tunggu kamu di ruang tengah. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.” Kagendra memberikan perintahnya lagi pada Sadiyah.
“Baik, A.” sahut Sadiyah.
Mereka duduk berhadapan di ruang tengah. Kagendra duduk di sofa sedangkan Sadiyah duduk di lantai. Sekarang ini mereka tidak tampak seperti sepasang suami istri yang baru menikah. Posisi duduk mereka seperti posisi majikan dan bawahan.
“Dengarkan baik-baik perkataan saya.” ujar Kagendra.
Sadiyah menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
“Selama di sini, kita akan tidur dalam satu kamar. Karena saya tidak mau jika nanti keluarga saya datang untuk mengecek keadaan, kita akan kerepotan untuk pindah kamar atau mencari alasan mengapa kita tidak tidur dalam satu kamar.” jelas Kagendra.
“Eh…” Sadiyah menatap wajah Kagendra seperti melihat seekor monster berkepala dua.
“Tidak usah kaget dan tidak usah takut. Saya tidak akan pernah menyentuh kamu karena saya tidak suka sama kamu. Jadi tenang saja, saya tidak akan meminta hak saya sebagai seorang suami, tapi saya akan berusaha untuk menunaikan kewajiban saya sebagai suami.”
“Saya mengerti.” ujar Sadiyah lirih. Ia merasa sakit hati karena merasa tidak dihargai sebagai seorang istri.
“Kamu wajib melayani saya di luar kamar tidur. Kamu mengerti?” tanya Kagendra
“Maksudnya?” Sadiyah balik bertanya.
*************
semangat