NovelToon NovelToon
Keluarga Untuk Safina

Keluarga Untuk Safina

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Menikah Karena Anak / Ibu Tiri / Istri ideal
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Windersone

Secara kebetulan aku bertemu dengan keluarga kecil itu, hadir sebagai seorang istri terutama ibu pengganti untuk anak pria itu yang berstatus duda saat menikahiku.

Sungguh berat ujiannya menghadapi mereka, bukan hanya satu, tapi empat. Namun, karena anak bungsunya yang paling menempel padaku, membuatku terpaksa bersabar. Mungkinkah aku akan mendapatkan cintanya mereka semua? Termasuk Ayah mereka?

Kami menikah tanpa cinta, hanya karena Delia, anak bungsu pria itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bersikap Tidak Sopan

🌻🌻🌻

Sejak aku kembali ke rumah Shani selalu diam, tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut gadis itu. Bu Sulis juga mengatakan Shani begitu sejak ditemukan semalam. Shani lebih menggunakan gerakan tangan dan menunjukkan ekspresi untuk berkomunikasi. Selain itu, ia juga sering murung dan menyendiri di kamarnya. Bisa aku mengerti mengapa semua itu terjadi, gadis itu trauma dengan kejadian semalam. 

“Ini menu kesukaan Shani. Biar Kakak ambilkan,” ucapku sambil beranjak mendekati Shani dari Delia yang tadi duduk di sampingku. 

Shani menoleh ke arahku dengan pandangan sinis. Bukannya tidak ikhlas, seperti bantuanku semalam tidak mampu membuatnya memahamiku. Semua orang memperhatikan kami, termasuk Brian yang membuatku jadi merasa tidak enak hati memperlihatkan situasi itu kepadanya, meskipun sudah mendengar cerita keharmonisanku bersama para anak tiriku itu. 

Untuk menetralisir situasi itu, volume senyuman aku tambah dan menyendokkan masakan kesukaan gadis itu ke piringnya. Bukan hanya Shani, aku juga melakukan hal yang sama kepada ketiga anak sambungku yang lainnya, di mana hanya Delia yang menunjukkan wajah bahagia dengan aksiku. Tidak masalah, aku harus bersabar lagi menghadapi mereka. 

“Bu Fina menang Ibu yang baik Pak Lintang, seperti tokoh Wonder Woman di film,” puji Brian yang membuatku merasa sedikit tidak nyaman. 

“Tidak juga. Kalian membantuku, terutama Pak Brian,” balasku sambil duduk di bangku yang aku tinggalkan sebelumnya. 

Suasana dapur hening, hanya kami yang berbicara, di mata semua orang hanya tersenyum, tetapi mata Shani memperhatikanku dan Brian bergantian dengan ekspresi tidak mengenakannya itu. Benar-benar tidak nyaman, aku sampai bingung cara menghadapi situasi itu. 

“Iya. Dia Ibu yang baik untuk anak-anak,” ucap Bu Sulis, aku sadari bersuara untuk menghancurkan situasi itu. 

Kami tersentak kaget ketika Shani tiba-tiba menepuk meja dengan keras. Gadis itu melirik tajam ke arahku dan meninggalkan dapur begitu saja. Mas Lintang mengikutinya, terlihat tidak suka dengan sikap Shani yang tidak ada sopan santunnya. 

“Mari makan!” Suasana berusaha aku menetralkan dengan mengajak Brian makan lebih dulu dan Bu Sulis membantuku, ikut menyuruh anak-anak untuk makan. 

Di tengah kami menikmati makan malam, sejenak aku ambil kesempatan untuk meninggalkan dapur dan berjalan menuju pintu kamar Shani. Dari luar aku mendengar pembicaraan gadis itu bersama Mas Lintang yang berusaha menghadapi keras kepala Shani. 

“Dia yang menjadi penyebab aku begini, Yah … aku dengar dari orang yang menjualku ke tempat itu, dia bilang kalau itu semua karena wanita itu.”

Sungguh mengagetkan. Rasanya peluang untuk mendapatkan kepercayaan dari gadis itu semakin kecil saja. Dan, aku jadinya penasaran, siapa orang yang sudah menculik dan menjual Shani? Mengapa mereka menyebutku? Suasana hati Shani saat ini tidak bisa diajak berbicara, malah akan menciptakan pertengkaran yang lebih parah. Jadi, aku akan mencari tahunya tanpa bertanya. 

Niat ingin mengunjungi Shani aku urungkan, kembali aku ke dapur, kembali menemani mereka yang masih makan. Baru beberapa detik duduk, Mas Lintang muncul dengan senyuman ringan dan duduk di bangkunya. Pria itu menatapku sejenak dan menundukkan pandangan, lalu menyendokkan nasi ke piringnya. 

***

Setelah makan malam, setelah berbincang sebentar di ruang tamu, Brian meninggalkan rumah dan aku mengantarkannya sampai di mobilnya yang terparkir di halaman rumah. Mataku sesekali melirik pintu rumah, melihat Mas Lintang berdiri tengah memperhatikan kami. 

“Kenapa?” 

Brian bertanya, mungkin sadar ada hal yang ingin aku bicarakan dengannya. Brian yang baru duduk di dalam mobil mengarahkan pandangan kepada Mas Lintang setelah melihatku melirik suamiku itu. 

“Hubungi aku. Minta nomorku kepada Bella,” ucap Brian. 

Kepala aku anggukkan. 

“Terima kasih,” ucapku dan tersenyum yang dibalasnya dengan senyuman pula. 

Setelah melepas kepergian Brian, aku kembali ke rumah, menghampiri Mas Lintang, dan kami berjalan beriringan menuju kamar setelah mengunci pintu rumah. Kami sama-sama duduk di tepi kasur, pria itu banyak minta maaf kepadaku sebelum akhirnya bertanya mengenai penculikan Shani. 

“Kamu mengenal penculik itu?” Dari caranya berbicara, tampaknya Mas Lintang sedikit takut melontarkan pertanyaan tersebut, takutnya aku tersinggung. 

“Mas tahu orangnya? Selama ini aku merasa tidak memiliki musuh.”

Sejenak Mas Lintang diam dan manggut-manggut sambil tersenyum. Pria itu mengajakku tidur sambil membaringkan tubuhnya, menarik selimut menutupi sebagian tubuhnya. Sebelum ikut berbaring, aku ke keluar dari kamar dan beranjak menuju kamar mandi yang ada di dapur. 

Setelah sampai di dapur, aku melihat Revan tengah memperhatikan jari telunjuknya yang meneteskan cairan merah ke lantai. 

“Revan …!” seruku sambil menghampiri bocah itu yang akhirnya menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuhnya. 

Kuraih tangan bocah itu, aku perhatikan sumber darah itu berasal dari luka yang menggoresi ujung jari telunjuknya. Kepala aku tolehkan ke arah meja makan, di mana ada pensil dan pisau cutter. Sekarang aku mengerti, tenyata bocah itu ingin meruncingkan pensilnya. 

“Jangan menangis,” ucapku setelah melihat kedua bola mata Revan berkaca-kaca. 

Anak itu aku ajak duduk. Kemudian, aku mengambil kotak P3K yang ada di lemari dapur dan membalut luka Revan dengan plester karena tidak terlalu parah, tidak butuh jahitan. 

“Kenapa pakai pisau? Memang alat meruncingnya tidak ada?” tanyaku dengan suara pelan. 

“Patah, diinjak teman,” jawabnya dengan kepala tertunduk, tampak gengsi menerima kebaikanku. 

Kubelai rambutnya dengan lembut sambil tersenyum. Kemudian, aku mengambil pisau dan pensil itu, meruncingnya sampai aku merasa sudah bagus untuk digunakan. Revan mengambilnya setelah aku sodorkan.

“Kak Zien memang tidak punya?” tanyaku, sedikit penasaran. 

“Si pelit itu,” ketus Revan dengan wajah kesal. 

Hmm … ternyata hubungan adik-kakak itu tidak sebaik yang aku kira. Mungkin mereka hanya baik ketika ingin memusuhiku saja. 

Revan meninggalkanku begitu saja di dapur saat aku tengah memikirkannya dan kakak-kakaknya, menyebalkan bukan? Kuikuti bocah itu sampai melihatnya memasuki kamarnya dan Zien, dari pintu kamar yang sedikit aku buka, aku melihat putra kedua Mas Lintang tengah main game dengan kedua telinga memakai headphone, sedangkan Revan duduk di bangku belakang memarahi Kakaknya itu, menyuruh Zien diam karena mulut remaja laki-laki itu tidak berhenti berceloteh. 

“Keluar kalau tidak mau berbisik!” balas Zien. 

Aku ketuk pintu kamar yang sudah sedikit aku buka itu. Revan menoleh ke arahku, sedangkan Zien sibuk dengan ponsel di tangannya sampai tidak sadar dengan keberadaanku. Kumainkan ibu jari, menyuruhnya keluar. Bocah laki-laki itu menuruti isyarat yang aku berikan, ia keluar bersama buku-bukunya. 

Kami duduk di ruang tamu, dengan Revan duduk di sampingku. Bocah ini memang nakal, tetapi sepertinya dia anak yang cerdas. 

“Selama Kakak tinggal di sini, baru kali ini Kakak melihat Revan mengerjakan PR,” ucapku dengan nada lembut yang normal, tidak ingin terkesan terlalu menariknya menyukaiku. 

“Jika PR ini tidak aku buat, Bu Guru akan memanggil Ayah ke sekolah dan Ayah pasti akan sedih dan marah nanti. Sekarang aku pusing, aku tidak pandai Matematika, hanya Kak Shani yang bisa membantuku karena dia cerdas Matematika.”

“Kakak bisa bantu,” ujarku dan mengambil buku di mana soal yang akan dikerjakan berada di sana. 

Jujur, aku lemah pelajaran Matematika sejak berada di bangku sekolah dasar. Karena ini hanya soal yang masih mudah, jadi masih bisa aku usahakan mencarinya. 

1
Mariyam Iyam
lanjut
Darni Jambi
bagus,mendidik
Ig: Mywindersone: Terima kasih.
🥰🥰
total 1 replies
LISA
ya nih penasaran jg..koq bisa yg menculik itu mengkambinghitamkan Fina..pdhl Fina yg sudah menolong Shani..
LISA
Moga dgn kejadian itu Shani sadar dan tidak memusuhi Fina lg jg mau menerima Fina sebagai Mamanya
Darni Jambi
upnya yg rutin kak,
Darni Jambi
kok ngak up2 to mbk ditungguin, bagus critanya
LISA
Ya nih Kak
LISA
Pasti ibunya anak²
LISA
Ya Kak..Fina bijak bgt..salut deh sama Fina..istri yg pengertian
LISA
Pasti ke rmhnya Delia
LISA
Aq mampir Kak
Rina Nurvitasari
semangat terus thor
Rina Nurvitasari
mampir dulu thor semoga ceritanya menarik dan bikin penasaran...

semangat terus rhor💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!