Lingga terpaksa menjadi pasangan pengantin saat ia sedang bersembunyi di salah satu ruangan yang di jadikan ruang make up pengantin.
Lalu bagaimana nasib Lingga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Humairah_bidadarisurga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Diko mengusap pipinya yang terasa perih itu dengan pelan dan menatap tajam ke arah Lingga.
"Mas ... Sadar Mas. Mas itu lagi mabuk," ucap Lingga dengan cepaat mengambil kaos oblong milik Diko dan memakainya. Tapi saya, tangan Diko kalah cepat dan menarik kaos itu hingga terlepas kembali dari tubuh Lingga.
"Aku mencintai kamu," ucap Diko akhirnya bisa mengungkapkan rasa cintanya dengan suara lantang.
Lingga menggelengkan kepalanya denagn cepat, lalu menutup tubuhnya yang polos dengan kedua tangannya.
"Mas Diko!! Pergi!! Lingga takut Mas!! Mas Diko sadar dong," teriak Lingga yang terus mundur berusaha menghindari Diko yang terus maju. Diko tidak kejadian lama terulang lagi, ia menyukai Lingga, satu -satunya cara agar Lingga tak meninggalkannya adalah membuat Lingga hamil. Hanya itu yang ada di otaknya.
"Aku gak mabuk. Aku sadar Lingga. Aku hanya gak mau kehilangan kamu, Lingga. Aku tidak mau bodoh, menunda kebahagiaanku hanya untuk sebuah kesuksesan dan berakhir penyesalan," teriak Diko frustasi. Ia tidak mau lagi kehilangan cintanya.
"Gak. Lingga gak percaya, Mas itu mabuk. Jangan lakukan apapun di bawah alam sadar," ucap Lingga mulai emosi. Jujur, Lingga takut sekali.
"Mas gak mabuk, Lingga. Mas hanya ingin kamu, pernikahan kita terselamatkan, kontrak kita batalkan," ucap Diko kemudian.
"Hah? Tuan sudah gila? Tuan sendiri yang meminta Lingga untuk tidak terbawa perasaan saat kita bersama. Tolong, Lingga mau masak. Tolong lepaskan Lingga," ucap Lingga kemudian.
"Cukup!! Jangan panggil aku dengan sebutan Tuan!! Aku ini suami kamu, Lingga!!" etriak Diko kesal. Harus bagaimana lagi ia menjelaskan pada Lingga. Kalau ia benar -benar jatuh hati sungguhan pada Lingga.
Tepat disaat yang sama, suara petir dan kilatan cahaya jelas nampak di pantulan kaca jendela besar di kamar Diko yang sudah tertutup dengan hordeng. Suara petir kencang sekali dan bertubi -tubi tak henti di iringi hujan yang sangat lebat dan mati lampu.
Sontak Lingga berteriak keras dan memeluk tubuh Diko erat. Ia sudah lupa kalau tubuhnya polos tanpa memakai sehelai benang pun. Suara petir itu membuat ia mengingat masa lalunya yang buruk. Traumanya saat ia masih kecil, ia melihat Ayahnya meninggal saat sedang membenarkan genting yang bocor karena terkena petir.
"Arghhh ... Aku takut, Mas," ucap Lingga memeluk Diko sangat erat. Suara petir itu terus menerus berbunyi keras bahkan memekakkan telinga Lingga yang kembali histeris.
"Ada Mas. Jangan takut. Kita tiduran saja, biar kamu lebih tenang dan nyaman. Maafin Mas, kalau sudah membuatmu takut," bisik Diko pada Lingga tepat di telinga gadis itu.
Kamar itu menjaadi sangat gelap sekali. Dengan cepat, Diko mengangkat tubuh Lingga dan di rebahkan di atas kasur lalu di tutupi oleh selimut tebal. Tubuh Lingga masih polos, niatnya Diko ingin mencarikan pakaian miliknya untuk Lingga, namun Lingga yang ketakutan masih memegang erat tanagn Diko.
"Mas mau kemana? Jangan tinggalin Lingga. Lingga takut sama petir," ucap Lingga lirih.
Diko pun mengurungkan niatnya untuk mengambil pakaian dan duduk di samping Lingga.
"Mas gak pergi. Mas akan temani kamu di sini," ucap Diko pada Lingga.
Lingga terus menggenggam tanagn Diko hingga tangannya terasa sangat dingin sekali.
"Kamu kenapa takut petir," tanya Diko pelan.
"Lingga teringat Ayah, saat itu meninggal karena terkena petir," jawab Lingga terbata.
Sontak jawaban Lingga membuat hati Diko sesak sekali. Ia juga teringat sosok Ibunya yang begitu baik dan lembut harus meninggal tertabrak mobil saat akan menjemput Diko ke sekolah. Diko melihat jelas, Ibunya dalam keadaan sakratul maut dan akhirnya meninggal di tempat. Ini yang membuat Diko tak berani membuka hati pada perempuan dan setia pada perempuan. Tapi, kesetiaanya dulu untuk Anggie berakhir kekecewaan yang kedua kali. Kini bersama Lingga, ia merasakan kasih sayang seperti Ibunya dulu menyayanginya. Menyiapkan makan, kadang menyuapi dan melayani kebutuhan Diko semuanya dengan baik. Ini yang membuat Diko sayang dan jatuh hati pada Lingga dan tak mau melepaskannya.
Diko memeluk Lingga dan membawa kepala Lingga dalam dekapan di dadanya. Diko ikut merebahkan tubuhnya di samping Lingga dan ememluk gadsi itu sangat erat. Sesekali ia mencium pucuk kepala Lingga dengan lembut dan penuh kasih sayang.