Sadiyah, seorang gadis yatim piatu, terpaksa harus menerima perjodohan dengan cucu dari sahabat kakeknya. Demi mengabulkan permintaan terakhir sahabat kakeknya itu, Sadiyah harus rela mengorbankan masa depannya dengan menikahi pria yang belum pernah ia temui sama sekali.
Kagendra, pengusaha muda yang sukses, terpaksa harus menerima perjodohan dengan cucu dari sahabat kakeknya. Disaat ia sedang menanti kekasih hatinya kembali, dengan terpaksa ia menerima gadis pilihan kakeknya untuk dinikahi.
Setelah pernikahan itu terjadi, Natasha, cinta sejati dari Kagendra kembali untuk menawarkan dan mengembalikan hari-hari bahagia untuk Kagendra.
Apakah Sadiyah harus merelakan pernikahannya dan kembali mengejar cita-citanya yang tertunda? Akankan Kagendra dan Natasha mendapatkan cinta sejati mereka?
Siapa yang akan bersama-sama menemukan cinta sejati? Apakah Sadiyah dan Kagendra? Ataukah Natasha dan Kagendra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raira Megumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Meminta Izin
Ketika sampai di rumah, Kagendra melihat Sadiyah yang sedang duduk santai bercengkrama dengan kedua sepupunya.
“Sadiyah, ada hal penting yang harus saya bicarakan dengan kamu.” ujar Kagendra tegas.
“Iya, A.” sahut Sadiyah sambil beranjak dari duduknya mengikuti Kagendra yang berjalan menuju kamar Sadiyah.
“Duduk!” perintah Kagendra mengisyaratkan Sadiyah untuk duduk di kursi yang ada di depannya dengan menggunakan dagunya.
“Ya ampun, ni orang angkuhnya memang nomer satu. Dasar laki-laki nyebelin” batin Sadiyah menggerutu.
Kagendra dan Sadiyah duduk saling berhadapan.
“Ada beberapa hal penting yang harus saya sampaikan pada kamu.” ujar Kagendra membuka percakapan mereka.
“Saya juga. Ada hal penting banget yang harus saya sampaikan pada Aa.” balas Sadiyah tak mau kalah.
“Kamu duluan.” tawar Kagendra.
“Huh….?” Sadiyah terkejut dengan tawaran Kagendra.
“Cepat, kamu katakan apa yang mau kamu sampaikan.” buru Kagendra.
“Baik.” jawab Sadiyah.
Sadiyah menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan.
Kagendra mendengus melihat apa yang dilakukan oleh Sadiyah.
“Begini, A. saya kan punya usaha yang sedang saya rintis. Sekarang ini usaha saya ini sedang berkembang pesat. Kita kan tinggalnya di beda kota, jadi saya….”
“Apa maksud kamu. Karena kamu punya usaha sendiri dan kita tinggal di beda kota, kamu tidak mau mengikuti saya. Jangan jadi istri durhaka kamu.” cecar Kagendra.
“Bukan begitu maksudnya….” Sadiyah berusaha untuk menjelaskan.
“Bukan begitu maksudnya bagaimana. Jangan sombong kamu. Mentang-mentang kamu punya usaha sendiri, kamu tidak mau ikut sama suami kamu.”
“Sabar Iyah, sabar….” Sadiyah menarik dan membuang nafasnya perlahan mencoba menahan gejolak emosinya yang sudah menggelegak.
“Tugasnya istri itu mengikuti suami kemanapun suaminya itu pergi.” ujar Kagendra ketus.
“Saya juga paham, A. Kewajiban istri itu melayani suami dan mengikuti kemanapun suaminya pergi. Saya sangat paham dengan hal itu.” jelas Sadiyah.
“Kalau kamu paham, kenapa kamu tidak mau ikut dengan saya?” tanya Kagendra.
“Siapa yang bilang kalau saya tidak mau ikut dengan Aa?. Saya bilang kalau saya punya usaha yang sedang berkembang pesat. Belum juga saya selesaikan omongan saya, sudah main potong saja.” sahut Sadiyah kesal.
“Teruskan.” perintah Kagendra.
Sadiyah menghela nafasnya kasar.
“Dasar manusia bengis gak punya perasaan.” gerutu Sadiyah dalam hati.
“Cepat! Teruskan! Jangan jadinya melamun.” bantak Kagendra.
“Iya, iya sabar. Jadi orang kok tidak sabaran sekali sih.” ujar Sadiyah mencoba menekan emosinya.
“Cih.” dengus Kagendra.
“Saya mau minta sama Aa. Saya minta izin untuk merampungkan urusan perusahaan saya dulu. Saya akan mendelegasikan dan mempercayakan jalannya usaha saya ini sama orang kepercayaan saya. Hanya saja, saya butuh waktu untuk melakukannya. Saya minta izin sama Aa selama satu atau dua minggu untuk menyelesaikan urusan ini. Semoga masalah pendelegasian dan alih tugas ini sudah beres sebelum acara resepsi pernikahan kita. Bagaimana? Apakah Aa mengizinkan?” tanya Sadiyah harap-harap cemas.
“Ya.” jawab Kagendra singkat.
“Huh, ngomelnya panjang kali lebar tapi pas ngasih jawaban cuma iya saja. Dasar emang fix, ini orang paling menyebalkan di seluruh dunia.” gerutu Sadiyah dalam hati.
“Sekarang giliran Aa. Apa yang mau Aa sampaikan?” tanya Sadiyah.
“Sebagai suami dari kamu, saya ingin kamu mengikuti dimana saya tinggal.”
“Memang saya mau mengikuti dimana Aa tinggal.” ujar Sadiyah.
“Jangan dulu potong omongan saya.” bentak Kagendra.
Sadiyah menutup mulutnya rapat-rapat, ia tidak ingin mendapatkan bentakan lagi dari Kagendra.
“Saya tahu kamu mewarisi banyak tanah di sini. Mang Awan sudah memberitahu saya. Saya sudah berjanji pada Mang Awan untuk membantu kamu menjaga dan mengelola tanah warisan milik kamu. Saya tidak akan sepeser pun mengambil keuntungan dari pengelolaan tanah kamu karena harta saya pun sudah lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga saya. Dan harus kamu tahu karena hal ini juga yang membuat Bi Ita dan Mang Awan menerima lamaran dari Aki saya. Wali kamu tahu kalau saya tidak akan mengambil sepeser pun dari warisan kamu.” jelas Kagendra panjang lebar.
Sadiyah terdiam mendengarkan penjelasan dari Kagendra.
“Ngomong. Jangan diam saja!” bentak Kagendra karena menunggu lama respon dari Sadiyah.
“Saya harus ngomong apa?” Sadiyah bingung harus memberikan jawaban apa.
“Respon dong penjelasan saya. Kamu paham tidak dengan apa yang saya bicarakan?” ujar Kagendra ketus.
“Jangan marah-amarah atuh Aa. Saya kan jadi kagetan kalau dibentak terus sama Aa. Saya juga jadi bingung harus merespon bagaimana.” Sadiyah tidak sengaja menjawab Kagendra dengan nada manjanya.
“Bilang terima kasih kek sama saya karena saya sudah ada niat untuk membantu kamu mengelola warisan kamu.” ketus Kagendra.
Sadiyah terperanjat dengan ucapan Kagendra.
“Iya A. Terima kasih sudah mau jadi suami saya dan mau membantu saya.” ujar Sadiyah engan.
“Cih” dengus Kagendra.
“Iiiiiiiih dasar menyebalkan….” batin Sadiyah berteriak.
“Satu lagi.” ucap Kagendra.
“Apa A?” tanya Sadiyah.
“Kamu nanti tinggal bersama saya di apartemen saya. Saya tidak mau tinggal di rumah keluarga saya. Jadi kamu jangan mau kalau nanti ibu saya membujuk kamu untuk tinggal di rumah keluarga.”
“Baik A.” sahut Sadiyah.
“Boleh saya meminta sesuatu pada A?” tanya Sadiyah.
“Apa?” tanya Kagendra ketus.
“Saya juga meminta izin pada Aa agar saya bisa meneruskan dan mengembangkan usaha saya nanti di sana.” pinta Sadiyah meminta izin pada Kagendra untuk tetap bekerja.
“Nanti lagi kita bicarakan masalah itu.” tutup Kagendra sambil beranjak meninggalkan Sadiyah.
“Tunggu, A. Saya ingin kepastiannya sekarang supaya saya bisa mengambil langkah yang tepat untuk pendelegasian pada orang kepercayaan saya disini.” Sadiyah menarik tangan Kagendra yang hendak berdiri dari duduknya.
Kagendra duduk kembali dan membuang nafasnya dengan kasar.
“Apa kamu tidak bisa menunggu?”
“Tidak bisa, A. Saya mohon Aa mengabulkan permintaan saya. Boleh ya A. Ya…ya…ya boleh…” sekali lagi Sadiyah merayu agar mendapatkan izin dari suaminya itu dengan nada manjanya.
“Asal jangan mengganggu waktu dan melupakan kewajiban kamu sebagai seorang istri.” Kagendra memberi izin pada Sadiyah dengan memberikan syarat.
“Terima kasih A.” Sadiyah melonjak kegirangan. Jika saja ia tidak malu dan takut akan mendapatkan penolakan, ingin rasanya ia mencium kedua pipi suaminya itu.
********************
semangat