Lingga terpaksa menjadi pasangan pengantin saat ia sedang bersembunyi di salah satu ruangan yang di jadikan ruang make up pengantin.
Lalu bagaimana nasib Lingga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Humairah_bidadarisurga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Hujan mulai reda, langit pun mulai berganti cerah dan terang kembali. Mobil Hendiko masih melaju cepat menuju supermarket yang tak jauh dari perumahan tempat tinggalnya. Mobil Diko sudah berhenti dan parkir di sudut area parkir yang masih kosong.
"Yuk turun. Ini supermarket langganan orang rumah. Lengkap, terus deket juga dari rumah, jadi kalau bawa makanan yang mudah cair kayak es krim gak terlalu khawatir, dari ke rumah cuma sepuluh menit aja," ucap Diko menjelaskan.
Lingga hanya mengangguk kecil dan melepas sabuk pengaman yang sedikit macet dan sulit untuk di tekan. Berulang kali, Lingga mencoba namun gagal hingga keringat dingin membasahi kening Lingga. Lingga termasuk gadis yang mudah panik dan gugup.
Diko yang sudah melepas sabuk pengaman pun melihat ke sisi ke arah Lingga yang masih kesulitan untuk meembuka sabuk pengamannya. Dengan cepat Diko membantu membuka sabuk pengaman itu hingga wajah keduany akemabli dekat.
Deg ...
Jantung Lingga lang berdegup keras sekali. Detakannya makin terasa kencang dan makin tak beraturan. Aroma wangi parfum Diko yang kini sudah biasa tercium di indera penciuman Lingga pun malah makin membuat Lingga kagum pada sosok Diko yang sebenarnya baik dan ramah itu.
"Kalau gak bisa, minta tolong jangan diam saja, panik kan?" ucap Diko kemudian seolah tahu apa yang sedang di rasakan oleh Lingga saat ini.
Lingga tak menjawa, ia memilih diam. Sering berdekatan seperti ini membuat kesehatan Lingga menjadi kurang baik, apalagi soal jantungnya yang terus terpacu.
"Makasih ya Mas," ucap Lingga lembut menatap Diko yang masih berjarak sangat dekat sekali.
Diko pun menatap Lingga lekat, tangannya seperti tersihir naik ke atas dan merapikan rambut Lingga ke belakang telinga Lingga. Kedua mata Diko tak berkedip dan terus menatap Lingga penuh damba dan memuja.
Tersadar atas perbuatan konyolnya, Lingga pun mencoba tersenyum dan angkat bicara.
"Kita jadi belanja kan, Mas?" tanya Lingga pelan sekali, hingga suaranya terdengar seperti mendesah. Diko malah semakin mendekatkan wajanya pada wajah Lingga, dan membuat Lingga memejamkan kedua matanya. Lingga tidak memundurkan tubuhnya, Tubuhnya seolah tak menolak bila Diko mendekatinya.
Cup ...
Diko mencium bibir Lingga. Bibir mungil namun sensual di bagian bawah serta manis dengan lip glos aroma strawberry.
Diko mulai candu pada bibir Lingga, ia mencium dengan pelan dan saling ******* satu sama lain. Tidak ada ajakan, tidak ada rencana, semua berjalan begitu saja seperti air yang mengalir di sungai.
"Eumhh ... Mas ... Kita mau belanja kan?" ucap Lingga cepat melepaskan pertautan bibir itu. Diko semakin ganas mencium Lingga. ******* itu semakin terasa sedikit kasar karena gemas, belum lagi lidahnya mulai senang bermain -main di dalam mulut Lingga. Diko nampak kecewa saat Lingga melepas ciuman itu lalu menarik anpas dalam. Diko tahu ini salah, tapi semakin ia melihat Lingga semakin ia kagum dan suka dengan gadis di depannya ini.
Diko tetap tenang dan kembali tegak lurus mengambil ponsel dan dompetnya lalu membuka pintu mobil dan keluar. Lingga pun hanya mendesis pelan. Bisa kebablasan kalau begini caranya. Pertahanannya bisa bobol. Apalagi ini hanya pernikahan dadakan karena tidak ada pengantin perempuannya.
Lingga memutar tubuhnya dan pintu mobilnya sudah terbuka. Diko sudah membukakan pintu mobil untuk Lingga.
"Mas Diko, gak perlu pakai bukain segala," ucap Lingga malu. Tangan Diko langsung menggenggam tangan Lingga denagn erat membawa gadis itu masuk ke dalam supermarket.
Satu troly yang besar di dorong oleh Diko, di mulai dari pinggir melipir ke arah sayuran segar yang menggoda mata Lingga. Gadis penyuka sayur dan buah itu paling tidak bisa melihat sayuran berwarna hijau yang masih fresh.
"Mas suka sayur kan? Sayur apa yang paling di suka? Terus sayur apa yang paling gak Mas suka," tanya Lingga pada Diko yang hanya menatap Lingga sedang memilih sayuran. Tangannya begitu terampil memilih dan memilah sayuran yang bagus.
"Semua suka, termasuk kamu," jawab Diko santai dan sengaja.
Lingga yang sedang sibuk memeilih beberapa sayuran pun tak mendengar kalimat terakhir yang di usapkan oleh Diko padanya.
Lingga meletakkan beberapa sayuran hijau itu ke keranjang trolynya. Selama beberapa hari ke depan, Lingga sudah menjadwalkan ingin memasak apa.
"Jadi semua sayur doyan kan? Kalau ikan atau daging? Ada yang di pantang? Takutnya ada alergi gitu, Mas?" tanya Lingga sedikit ragu. Takut tersinggung.
"gak ada. Pilih sesuka kamu, dan buatlah masakan yang enak. Pasti akan aku makan," ucap Diko pelan.
Diko mengambil satu kantong jengkol dan menunjukkan pada Lingga.
"Jengkol? Mas Diko suka? Kalau suka, biar Lingga buatin, jengkol spesial," ucap Lingga semangat. Lingga tidak suka jengkol, tapi masakan jengkolnya selalu nikmat dan enak. Banyak orang ketagihan dengan masakannya itu.
Sudah selesai memilih di bagian sayur, kini Lingga dan Diko memilih aneka daging dan ikan. Beberapa kilo ayam sudah ada di keranjang belanjaan. Begitu juga dengan daging sapi dan beberapa jenis ikan serta aneka seafood lainnya.
"Mau kepiting? Saya suka kepiting dan lobster," ucap Diko pelan.
"Oke ... Kepiting dan lobster, menu makan malam ini," ucap Lingga.
"Dikamar tidak di meja makan," pinta Diko.
"Oma Anna? Gak enak dong, di tinggal gitu aja," ucap Lingga pelan sambil mengambil beberapa bumbu masak dari rak.
"Aku suami kamu. Kamu mau nurut aku apa Oma?" gertak Diko pada Lingga.
"Hanya status Mas. Bukan yang sebenarnya," ucap Lingga mengingatkan. Lingga yang juga muali menyukai Diko pun terpaksa bicara seperti ini agar ia tidak lebih lagi terhanyut pada perasaannya. Kontrak pernikahan yang sudah di tanda tangani itu menjadi saksi bisu bahwa pernikahannya memang tidak di inginkan karena Lingga bukan wanita yang di cintai Diko. Lingga cukup sadar diri, sudah di bantu untuk menyelesaikan hutangnya rasanya cukup membuat Lingga lega.
Diko kecewa dengan ucapan Lingga. Ungkapan perasaannya sudah di curahkan lewat ciuman. Kenapa Lingga tidak paham? Sudah tahu, Diko tidak bisa mengungkapkan perasaanya lewat kata -kata tapi lewat tindakan.
Diko meninggalkan trolly itu dan memberikan sebuah kartu pada Lingga untuk membayar semua belanjaannya.
"Lho Mas? Mas Diko mau kemana?" tanya Lingga bingung saat menerima kartu ATM milik Diko.
"Pinnya 123123" ucap Diko yang pergi begitu saja.
Lingga menggenggam kartu ATM itu lalu melanjutkan emmebeli semua yang ia butuhkan. Lingga berpikir, apa yang salah tadi. Perasaan Lingga tidak salah bicara. Memang benar kan/ Status suami istrinya hanya selembar kertas bukan yang sebenarnya. Lagi pula kalau makan di kamar, Oma Anna akan makan sendiri di meja makan. Tidak mungkin membiarkan hal itu.
Tak lama ponselnya berbunyi. Diko meneleponnya.
"Iya Mas," jawab Lingga lembut.
"Hah? Naik taksi? Mas Diko mau kemana?" tanya Lingga pelan.
Diko tak menjawab dan ponsel itu di matikan secara sepihak oleh Diko mmebuat Lingga semakin merasa bersalah. Lingga mempercepat belanjanya dan membayar semua tagihan belanja lalu mencari taksi dan pulang ke rumah Diko.