Namanya Gadis. Namun sifat dan tingkah lakunya yang bar-bar dan urakan sangat jauh berbeda dengan namanya yang jauh lebih menyerupai laki-laki. Hobinya berkelahi, balapan, main bola dan segala kegiatan yang biasa dilakukan oleh pria. Para pria pun takut berhadapan dengannya. Bahkan penjara adalah rumah keduanya.
Kelakuannya membuat orang tuanya pusing. Berbagai cara dilakukan oleh sang ayah agar sang putri kembali ke kodratnya sebagai gadis feminim dan anggun. Namun tidak ada satupun cara yang mempan.
Lalu bagaimanakah saat cinta hadir dalam hidupnya?
Akankah cinta itu mampu mengubah perilaku Gadis sesuai dengan keinginan orang tuanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12- Kedatangan Tante
HAPPY READING
🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀
"Silahkan diminum dulu, Mar.” Najwa mempersilahkan Marina, adik sepupu Vanno untuk mencicipi jus yang baru saja dihidangkan oleh pelayan didepan mereka.
“Terima kasih, Kak.” sambil tersenyum puas, Marina meraih gelas jus itu lalu meneguknya.
“Jadi, Mar, kapan kamu kembali dari Australia?” tanya Bianca.
“Baru tiga hari yang lalu, Tante. Saat ini kedua putriku sedang libur sekolahnya, makanya kami kembali ke Indonesia, dalam rangka liburan. Oh ya, aku juga minta maaf ya sama Kak Vanno dan Kak Najwa, karena tidak bisa datang waktu anniversary kalian. Soalnya, waktu itu anak-anak lagi ujian.”
“Ya, tidak masalah. Kamu juga sudah mengirim kadonya kan?” ucap Vanno.
Meski dia tidak begitu paham kenapa adik sepupunya itu tidak bisa meninggalkan kedua putrinya sebentar saja, padahal mereka kan bukan anak kecil lagi. Kalau tidak salah, mereka sudah seumuran dengan kedua anaknya.
“Lalu, sekarang kedua putrimu bagaimana kabarnya? Baik-baik saja, kan?” tanya Najwa.
“Iya, Kak, mereka baik-baik saja, kok. Aku selalu mengurus dan mendidik mereka dengan sangat baik,” jawab Marina dengan sombongnya.
Najwa, Vanno dan Bianca hanya tersenyum geli menanggapi. Mereka memang tau kalau Marina memiliki sifat sombong dan selalu merasa hebat dalam segala hal.
“Oh ya, by the way, kedua anak kembar kalian itu, kemana? Kok tidak kelihatan dari tadi?” Marina tampak celingukan kesana kemari, mencari kedua keponakan kembarnya.
“Jam segini kan mereka masih sekolah, Mar,” jawab Bianca.
“Assalamualaikum.”
Mereka semua spontan menoleh kearah suara yang mengucapkan salam tersebut dan menjawab salamnya.
“Waalaikum salam. Eh, gantengnya mama sudah pulang.” Najwa tersenyum sumringah melihat putra semata wayangnya yang baru saja pulang dan berjalan menghampiri mereka yang sedang berkumpul diruang tamu.
“Galang, kamu masih ingatkan sama Tante Marina? Adik sepupu papamu,” tanya Najwa setelah Galang menyalami mereka satu persatu.
Galang menatap Marina dan berusaha mengingat wajahnya.
“Oh iya, aku ingat. Kalau tidak salah, dulu terakhir ketemu Tante, waktu… aku umur 10 tahun kan ya?” Galang yang berusaha mengingat, menunjuk wajah Marina yang mengangguk.
“Iya benar, sayang. Kamu baru pulang kuliah ya?” Marina tersenyum terkesan dengan keponakannya yang sopan.
Meskipun anak ini kelihatannya culun dan cupu dengan kacamata tebal, rambut yang disisir rapi serta pakaiannya yang juga rapi. Tidak ada sedikitpun aura macho dan maskulin dalam dirinya. Namun, bagi Marina anak ini jauh lebih baik daripada kebanyakan anak muda yang liar dan urakan.
“Iya, Tante. Sekarang sedang sibuk sekali mengejar KRS, jadi pulangnya agak sorean.”
“Wah, keponakan Tante ini rajin sekali. Tante yakin, pasti kamu selalu dapat juara kan?” Marina tersenyum puas.
“Iya, Mar, Alhamdulillah. Sejak SD hingga SMA, Galang ini selalu jadi juara. Bukan begitu, sayang,” jawab Vanno dengan bangganya yang kemudian melirik Galang yang mengangguk malu.
“Wah. Kak Vanno dan Kak Najwa, pasti bangga sekali ya punya putra yang berprestasi.” Marina ikut tersenyum bangga.
“Tentu saja. Siapa yang tidak bangga punya anak pintar?” jawab Bianca setuju.
“Lalu, bagaimana dengan kakak kembarnya? Siapa namanya? Ga… Gadis. Iya. Sekarang mereka sudah kuliah semester berapa? Dan, tentunya kakak adik ini sering dapat juara, kan?”
Pertanyaan Marina yang tiba-tiba menyinggung Gadis membuat Vanno, istri dan ibunya terdiam. Bingung harus menjawab apa.
Boro-boro Gadis dapat juara, kelas saja sudah tiga kali tidak naik. Bahkan, terkadang dia sampai sebulan bolos sekolah karena sibuk tawuran, balapan dan main bola.
“Mmm… kalau Gadis…” Najwa yang mencoba menjawab, melirik suami dan ibu mertuanya karena bingung harus menjawab apa. Namun, Vanno dan mamanya hanya diam saja.
“Kenapa, Kak? Kok ragu mau bicara saja?” tanya Marina heran. Najwa hanya bisa memasang wajah kikuk.
“Siang semuanya.”
Semuanya terkejut mendengar suara nyaring dan ceria tersebut.
“Lagi pada ngumpul nih.” Gadis berjalan menghampiri perkumpulan mereka.
Najwa bangkit mendekati putrinya.
“Sayang, kamu darimana saja? Kok berantakan begini? Ini juga, kok berdarah? Kamu habis tawuran lagi?” Najwa memindai tubuh Gadis dengan cemas melihat penampilannya yang berantakan. Terakhir dia menyentuh bagian sudut bibir Gadis yang terluka dan memar.
“Sebenarnya, bukan tawuran besar-besaran sih, Mah. Cuma bertarung aja sama genk resek yang suka malakin anak-anak disekolah,” jawab Gadis dengan santainya.
“Terus, kenapa kamu bisa sampai terluka? Kamu kalah?”
“Ya ampun, Mama. Jangan meremehkan aku dong. Memangnya pernah, ada cerita Gadis kalah? Luka beginian kecil, Mah buat aku,” ucap Gadis dengan sombongnya.
“Oh ya, ini siapa? Teman Mama?” Gadis melirik Marina yang memperhatikan penampilannya dengan geli.
Pakaian seragam SMA yang awut-awutan dan kotor, serta topi terbalik yang menutupi kepalanya. Penampilan keponakannya itu sangat jauh dari kata feminim. Malah lebih menyerupai preman.
Marina jadi berpikir, apakah kakak sepupunya tidak pernah mengajari putri mereka cara berpenampilan yang menarik?
“Kamu lupa ya? Ini Tante Marina, adik sepupu papamu,” jelas Najwa.
Gadis menatap wajah wanita paruh baya itu dengan intens.
“Oh iya, aku ingat. Tante apa kabar? Udah lama nggak ketemu.” dengan senyum ceria yang merekah diwajahnya, Gadis berjalan mendekati Marina, lalu mengangkat tangannya kedepan tantenya itu.
Dengan bingung dan kaku, Marina menepuk telapak tangan keponakannya itu. Gadis tersenyum puas dengan balasan tantenya itu.
“Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri, kok kuliah pakai seragam SMA?" ” tanya Marina heran.
“Karena aku masih SMA. Masih kelas tiga, makanya pakai seragam SMA. Kalau SMP ya pakai seragam SMP. Lagian kata siapa aku sudah kuliah?” jawab Gadis dengan santainya tanpa merasa malu sedikitpun, karena yang paling merasakan itu adalah Vanno.
Sejak Gadis datang, dia berusaha menahan malunya karena menyadari tatapan tidak suka Marina terhadap penampilan dan sikap putrinya.
“Maksudnya, kamu sudah sering nggak naik kelas?” tanya Marina memastikan.
“Nggak sering-sering banget sih, Tante. Baru tiga kali. Doain aja semoga nggak sampai empat kali.” Gadis cengengesan sambil menggaruk kepalanya. Kelakuannya benar-benar membuat Marina ilfil.
“Ya sudah aku kekamar dulu ya, mau mandi. Panas banget.” Gadis pun berlalu dari sana.
“Galang juga, kekamar ya,” ucap Galang yang kemudian menyusul sang kakak.
“Kak, itu benaran anak perempuan kalian? Kok, modelnya seperti itu? Yang laki-laki masih mending, biarpun agak lembek tapi… tidak terlalu malu-maluin. Tapi yang perempuan?” Marina memasang tampang ilfil dan tidak suka melihat karakter Gadis.
Karakter Galang pun sebenarnya tidak terlalu disukai karena tampak culun, tapi masih mending ketimbang kakaknya yang hancur-hancuran.
"Mau gimana lagi, Mar? Aku sudah berusaha mendidik Gadis supaya dia berubah. Tapi ini, tante sama kakak ipar kamu yang selalu membela dan memanjakannya. Makanya, dia jadi seperti itu.” Vanno menunjuk Najwa dan Bianca dengan tatapan sinis, membuat kedua wanita itu terbelalak.
“Kok, kamu jadi menyalahkan mama dan istrimu?” Bianca menatap Vanno tajam karena merasa tersinggung dan tidak terima disalahkan.
BERSAMBUNG