NovelToon NovelToon
Ketika Sakura Mekar Kembali

Ketika Sakura Mekar Kembali

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:464
Nilai: 5
Nama Author: Abdulpro

Shinamura Haruki, seorang siswa SMA kelas dua berusia 16 tahun, baru saja mengalami patah hati terburuk. Empat bulan lalu, cintanya ditolak saat malam Natal. Dalam kesedihan, ia memutuskan untuk membeli kopi sebelum pulang, tapi takdir berkata lain. Ia malah ditabrak oleh Aozora Rin, gadis teman satu sekolahnya. Bagaimana pertemuan tak terduga ini akan mengubah kisah cinta mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdulpro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kado Spesial

Mereka berjalan santai, mata mereka dimanjakan oleh barisan bunga warna-warni yang menghiasi jalan setapak. Kelopak-kelopak merah jambu, ungu, dan kuning serasa memancarkan kebahagiaan.

“Hana pasti suka melihat bunga-bunga ini,” gumam Rin, senyum kecil terukir di bibirnya.

Haruki mengangguk, ikut membayangkan wajah ceria Hana.

Mereka tiba di depan Bianglala, sebuah kincir raksasa yang menjulang megah, warnanya berpadu apik dengan langit sore yang cerah. Rin mendongak, matanya menjelajah setiap sangkar yang tergantung.

“Haruki, kenapa setiap sangkar bianglala ini berbeda?” tanyanya, heran.

Haruki ikut mengamati, membenarkan ucapan Rin. Ada sangkar berbentuk bintang, bulan sabit, bahkan hati berwarna merah.

"Katanya, setiap sangkar punya sensasi yang berbeda," jawab Haruki, suaranya terdengar misterius.

Rin tertawa kecil. "Memangnya ada hal semacam itu? Itu kan cuma mitos." Dia menatap sangkar berbentuk hati dengan pandangan penasaran.

"Ya, itu cuma mitos. Jangan dianggap serius." Haruki melirik ke arah yang sama, lalu tersenyum.

"Kalau begitu, kamu mau naik sangkar yang mana?"

“Aku… mau naik yang itu,” jawab Rin, menunjuk sangkar hati tanpa ragu.

Sebuah kilas balik melintas di benak Haruki. Ia teringat ucapan iseng Renji;

"Kalau kamu naik sangkar hati, cinta orang yang menaikinya akan menjadi kenyataan."

Haruki segera menepis pikiran itu, menganggapnya lelucon belaka.

"Ayo kita antre, semoga kita dapat," ajak Haruki, suaranya penuh harap.

Mereka bergegas menuju loket. Antrean panjang membuat Haruki khawatir. Ketika giliran mereka tinggal tiga orang lagi, sangkar hati sudah terisi penuh dan tersisa empat orang di antrean depan mereka.

"Waduh, kita nggak akan dapat sangkar hati itu," bisik Haruki, raut wajahnya berubah kecewa.

Rin melihat kekecewaan di mata Haruki. Meskipun ia juga sedikit berharap, ia tak ingin hal sepele itu merusak suasana.

"Tidak apa-apa, kok. Lagipula, semua sangkar kan sama saja," ujar Rin, suaranya lembut.

Perkataan Rin membuat hati Haruki tersentuh. Ia mengagumi betapa sederhana dan tidak menuntutnya gadis itu. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tetap ingin mewujudkan keinginan kecil Rin.

Tiba-tiba, seorang pria di depan mereka berbalik.

"Mas mau naik sangkar hati, ya? Sini, tukar saja antrean."

Haruki dan Rin terkejut, saling bertukar pandang tak percaya. “Benarkah, Mas? Apa tidak apa-apa?” tanya Haruki, ragu.

"Tidak apa-apa, kok. Kami sudah pernah naik sangkar ini," jawab pria itu sambil merangkul istrinya, senyum tulus terpancar dari wajah mereka.

"Terima kasih banyak," ucap Rin, matanya berbinar.

"Semoga langgeng ya," timpal istri pria itu.

Ucapan itu membuat pipi Rin dan Haruki merona. Mereka saling membuang pandangan, menahan malu yang terasa manis.

Saat giliran mereka tiba, Haruki membantu Rin masuk. Ia menggenggam tangan Rin dengan lembut, menuntunnya melangkah ke dalam sangkar, dan memastikan kepala Rin tidak terbentur. Sensasi sentuhan tangan Haruki membuat Rin menahan napas, dadanya berdegup kencang.

“Akhirnya kita dapat juga sangkar yang kamu inginkan,” kata Haruki, senyumnya mengembang.

“Iya, kita sangat berterima kasih kepada mereka,” sahut Rin, matanya berbinar.

Haruki melihat sekeliling sangkar, matanya tertuju pada sebuah tulisan kecil di dinding.

“Kayaknya setiap sangkar punya pesan tersendiri.”

Rin membaca tulisan itu dengan saksama:

"Selamat, kamu telah memasuki sangkar berbentuk hati ini. Bentuk ini melambangkan hubungan cinta yang semakin dekat dan akan berlangsung selamanya."

Rin terdiam, kata-kata itu seolah bergema di kepalanya. "Cinta berlangsung selamanya?" Ia menoleh ke arah Haruki, matanya dipenuhi kebingungan.

Haruki menatapnya, heran. "Kenapa, Rin? Kok melamun?"

Rin memandang Haruki, tatapan matanya lurus dan dalam.

“Mitos tentang sangkar ini... beneran ada?” tanyanya, mencoba menjaga suaranya tetap tenang.

“Namanya juga mitos. Aku juga baru tahu dari Renji,” jawab Haruki. "Tahu sendiri 'kan Renji suka bercanda."

Meski begitu, jauh di dalam hatinya, Haruki berharap mitos itu nyata, setidaknya untuk dirinya dan Rin.

Rin memberanikan diri. “Haruki, apa kamu pernah punya pacar?”

Pertanyaan itu membuat Haruki tertegun. Ia menghela napas, menjawab jujur. “Kalau pacar, belum. Tapi aku pernah suka sama seseorang. Sayangnya, dia lebih suka orang lain.” Ia mengingat kembali masa lalunya, kenangan pahit yang kini terasa jauh.

"Kalau kamu, Rin?" tanya Haruki balik.

“Aku… belum pernah pacaran dengan siapa pun,” jawab Rin lirih, matanya menerawang.

Sebelum bertemu Haruki, ia tak pernah memikirkan perasaan cinta. Namun, kini, hatinya mulai terbuka, merasakan emosi baru yang berbeda.

"Boleh tahu, ciri-ciri cewek yang kamu suka itu seperti apa?" tanya Rin, mengalihkan pandangannya dari Haruki, takut ketahuan bahwa ia sedang berharap.

Senyum di wajah Haruki memudar. “Aku nggak tahu pasti. Aku takut... kalau aku mencintai seseorang, dan perasaanku nggak terbalas, itu akan menyakitkan.” Ia tahu betul rasa ditolak, dan ia tak ingin orang lain merasakannya.

"Begitu ya..." Rin mengangguk mengerti, lalu mengusap punggung Haruki lembut. "Maaf, ya. Aku terlalu lancang."

"Santai saja. Aku sudah melupakannya," jawab Haruki, senyumnya kembali, meskipun bayangan masa lalu masih berkelebat.

"Ngomong-ngomong, cowok yang kamu suka itu seperti apa?"

Pipi Rin langsung merona. Matanya melebar, dan ia membuang muka.

“Sepertimu…” bisiknya, hampir tak terdengar.

Tepat pada saat itu, angin berembus kencang, membuat suara Rin hilang di udara.

“Eh, kamu bilang apa tadi? Aku nggak dengar,” tanya Haruki.

Rin tersenyum, menggelengkan kepalanya.

“Bukan apa-apa, kok. Hehe.” Ia merasa bangga pada dirinya, karena meski hanya sebatas bisikan, ia telah berani mengungkapkan perasaannya.

Namun, ia merasa terlalu awal untuk mengatakannya dengan lantang.

Putaran bianglala berakhir, dan mereka turun dengan langkah ringan.

“Ternyata naik bianglala seru juga, ya,” ucap Haruki.

“Iya. Kapan-kapan aku ajak Hana dan Aika ke sini juga, deh,” jawab Rin.

Waktu berlalu begitu cepat. Setelah mencoba berbagai wahana lain, mereka memutuskan untuk makan di sebuah kedai.

“Kita istirahat dulu, ya. Kamu mau makan apa, Rin?” tanya Haruki.

“Terserah kamu saja, aku bingung,” jawab Rin, menatap daftar menu.

Haruki tersenyum. Ia teringat percakapannya dengan ibunya Rin. “Kamu suka kare, kan? Kalau gitu, aku pesankan kare saja, ya.”

Rin terheran. “Kok kamu tahu? Aku bahkan belum pernah bilang ke siapa pun, termasuk Hana.”

Haruki hanya tersenyum misterius. “Ibumu yang bilang.”

Rin semakin penasaran apa saja yang Haruki bicarakan dengan ibunya, sampai Haruki tahu banyak tentang dirinya.

Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Rin makan dengan lahap, hingga tak ada sisa di piringnya. Setelah Haruki membayar, mereka berjalan menuju bangku taman.

“Kita duduk di sana dulu, ya, sebelum pulang,” ajak Haruki.

Rin mengangguk. “Kamu duluan saja. Aku mau beli oleh-oleh untuk ibu dan ayahku.”

Haruki menyetujuinya. Ia duduk di bangku taman, menunggu, lalu mengeluarkan sebuah kotak kado dari jok motornya.

Tak lama kemudian, Rin kembali. Ia duduk di samping Haruki, memandang gedung-gedung kota di kejauhan.

“Terima kasih sudah mengajakku jalan, Haruki. Hadiahmu sangat berarti bagiku.”

“Rin, lihat sini sebentar,” kata Haruki, menyerahkan kotak kado yang ia genggam.

“Selamat ulang tahun. Hadiahnya tidak seberapa, tapi kuharap kamu suka.”

Rin terkejut, matanya berkaca-kaca. Ia tak menyangka Haruki akan sepeduli ini.

"Haruki, kamu sudah mengajakku jalan saja sudah lebih dari cukup. Terima kasih banyak, ya."

Ia menerima kotak itu, lalu membukanya.

“Wah, jepit rambut! Aku suka sekali!” Rin memandangi jepit rambut itu dengan kagum.

Haruki mengambil jepit rambut itu dari tangan Rin. “Sini, aku pasangkan.”

Rin terdiam, tak bisa berkata-kata. Jantungnya berdebar, pipinya merona. Haruki menyibakkan rambut Rin ke samping, lalu dengan hati-hati memasangkan jepit rambut itu. Perasaannya campur aduk. Ada rasa malu, bahagia, dan haru.

“T-terima kasih,” bisik Rin.

“Haruki, ada yang ingin aku bicarakan,” lanjutnya.

Haruki mendekat, menatapnya. “Apa?”

“Sebenarnya… aku suka sama kamu.”

Haruki tersenyum, salah mengartikan ucapan Rin.

“Iya, aku juga suka kok dengan jepit rambut ini. cocok, untukmu.”

Dalam hati Rin berteriak, "Aduh! Kok malah begitu! Haruki, sadar dong!".

Rin memutuskan untuk mengakhiri pertemuan mereka. Teman-temannya akan datang ke rumah untuk merayakan ulang tahunnya. Ia berjalan menuju motor Haruki dengan wajah cemberut. Bukan karena marah, tapi karena Haruki tak peka.

Sepanjang perjalanan pulang, Rin tersenyum sendiri. Pikirannya melayang pada momen di taman.

"Kalau Haruki paham, apa dia akan menerimaku?".

Pertanyaan itu terus menghantui pikirannya hingga mereka tiba di rumah.

Mereka terkejut saat melihat teman-teman Rin sudah berkumpul.

“Dari mana saja, Haruki? Kok berduaan sama Rin?” goda Renji.

“Kalian! Katanya mau datang jam empat?” Haruki berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Kamu juga baru datang! Ibunya Rin bilang kalian lagi beli belanjaan,” ujar Renji.

Rin mengajak mereka masuk, lalu menyajikan kue ulang tahun buatan ibunya.

“Selamat ulang tahun, Rin! Semoga panjang umur!” sorak mereka. Suasana di dalam rumah menjadi hangat dan ramai.

“Wah, jepit rambutmu baru, ya? Pasti dari Haruki, kan?” celetuk Hana sambil mengoleskan whipped cream di pipi Rin.

“Hana, ih!” protes Rin, tapi ia tak bisa menahan tawa.

Mereka tertawa bersama. Rin membuka hadiah satu per satu, dari buku catatan, alat tulis, pelembap, botol minum, hingga bros bunga.

“Terima kasih semuanya! Aku senang sekali!”

(Bersambung…)

1
Felipa Bravo
Characternya bikin terikat! 😊
Abdul Jabbar: Nantikan terus bab selanjutnya, upload setiap hari Selasa dan jumat
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!