"Di Bawah Langit yang Sama" adalah kisah tentang dua jiwa yang berbagi ruang dan waktu, namun terpisah oleh keberanian untuk berbicara. Novel ini merangkai benang-benang takdir antara Elara yang skeptis namun romantis, dengan pengagum rahasianya yang misterius dan puitis. Saat Elara mulai mencari tahu identitas "Seseorang" melalui petunjuk-petunjuk tersembunyi, ia tak hanya menemukan rahasia yang menggetarkan hati, tetapi juga menemukan kembali gairah dan tujuan hidupnya yang sempat hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wisnu ichwan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tarian Dengan Prosa
Pagi merangkak masuk melalui tirai jendela kamar Elara, membawa serta janji kesibukan kota yang tak pernah tidur. Namun, hari ini bukan tentang mencari pekerjaan; hari ini adalah tentang mencari petunjuk. Di atas meja belajarnya, dua lembar surat dan satu catatan kecil tergeletak, membentuk sebuah mosaik misteri yang jauh lebih menarik daripada halaman-halaman majalah yang pernah ia impikan untuk diisi.
Elara mengenakan kemeja katun berwarna biru muda dan celana panjang hitam, memilih pakaian yang terasa netral—tidak terlalu menonjol, tidak terlalu tersembunyi. Ia ingin menjadi bagian dari latar belakang, pengamat, bukan yang diamati, meskipun ia tahu bahwa perannya dalam "tarian" ini adalah menjadi target utama.
Kedai Kopi 'Katalis' terletak di sebuah area tua kota, dekat Jembatan Merah yang legendaris, dikenal karena arsitekturnya yang dipenuhi sejarah dan jalanan sempit yang menyimpan nostalgia. Tempat itu adalah surga bagi para pekerja lepas dan seniman, dengan interior bergaya industrial-vintage yang berisik namun hangat.
Sekitar pukul sebelas siang, Elara tiba di Katalis. Aroma kopi yang baru diseduh, butter yang dipanggang, dan sedikit bau buku lama menyambutnya. Ia mendongak, mencari tangga.
Lantai dua lebih sepi. Matanya langsung tertuju pada deretan jendela kaca yang menghadap ke jalanan. Dan ya, di salah satu meja kayu kecil yang strategis, sebuah kursi tampak kosong, membelakangi ruangan. Itu adalah kursi yang persis dideskripsikan: menghadap ke jendela, seolah menunggu seseorang untuk duduk dan menyaksikan drama jalanan di bawah.
Langkah Elara terasa ringan namun penuh ketegangan saat ia mendekati meja itu. Di atas meja, memang ada sebuah cangkir keramik putih yang kosong. Tidak ada latte art atau sisa buih kopi; cangkir itu bersih dan kering.
Ia duduk perlahan, meletakkan tasnya. Jantungnya berdebar, ia merasa seperti berada di tengah adegan puncak sebuah film spionase. Dengan ujung jari, ia menyentuh cangkir itu. Dingin.
Lalu, ia melihat ke dalam.
Bukan petunjuk tertulis, bukan kata-kata puitis. Di dasar cangkir itu, teronggok sebuah kunci. Kunci kuningan kecil dengan ukiran rumit pada gagangnya, yang terasa dingin dan berat saat ia mengambilnya.
Bersama kunci itu, terselip selembar kertas kalkir transparan yang sangat tipis, hampir tak terlihat, seukuran lingkaran dasar cangkir. Tulisannya kali ini jauh lebih singkat, ditulis dengan tinta yang sama rapihnya:
Kunci menuju Babak Berikutnya.
Perpustakaan Umum Kota, Bagian Sastra Dunia.
Buku dengan nomor katalog 821.5—Penulis C.P.
Elara menyandarkan punggungnya di kursi, menarik napas lega bercampur euforia yang aneh. Permainan ini semakin menarik. 'Seseorang' ini tidak hanya puitis, tetapi juga metodis dan terstruktur. Ia pasti menghabiskan waktu yang cukup lama untuk merencanakan semua ini.
Ia mengeluarkan ponselnya dan dengan cepat mencari tahu lokasi perpustakaan umum kota. Cukup jauh, tapi masih terjangkau dengan bus. Sambil menunggu taksi daring yang ia pesan, Elara menatap ke jendela. Ia memindai setiap wajah di lantai bawah, di seberang jalan, bahkan di meja-meja sekitarnya.
Apakah "Seseorang" sedang meminum kopinya di sudut sana, tertawa dalam hati melihat ia menemukan kunci itu? Apakah ia sedang mengamatinya dari lantai tiga gedung di seberang?
Satu hal yang pasti: ia tidak ingin membuat orang ini menunggu.
Perpustakaan Umum Kota adalah bangunan megah bergaya kolonial, sunyi dan sejuk. Aroma kertas tua dan lembar buku yang terpelihara memenuhi udara. Elara berjalan dengan langkah yang hati-hati, membawa kunci kuningan itu di saku celananya, terasa seperti jimat.
Ia menemukan bagian Sastra Dunia: sebuah lorong panjang yang diapit rak-rak kayu jati gelap setinggi langit-langit. Jantungnya mulai berdebar kencang lagi. Ini adalah perburuan harta karun sastra.
Setelah beberapa saat mencari, ia menemukan rak dengan label "821.5". Ini adalah kategori untuk Sastra Inggris Modern. Ia mulai menyusuri barisan buku, mencari penulis dengan inisial C.P.
Di tengah rak, akhirnya ia menemukannya: buku bersampul kain biru tua yang sudah usang, berjudul The Collected Poems karya Charles P. Baudelaire.
Elara menarik buku itu. Halamannya terasa rapuh. Ini bukan sekadar buku, ini pasti petunjuknya. Ia membolak-balik halamannya, mencari penanda, lipatan, atau mungkin surat lain.
Awalnya tidak ada apa-apa. Hanya puisi-puisi tentang kota, kesepian, dan keindahan yang tersembunyi.