Nanda Afrilya adalah seorang gadis yang berusia 21 tahun yang dibesarkan di sebuah panti asuhan. Ia terpaksa menikah dengan seorang pria yang tak dikenalnya sebagai bayaran pada orang kaya yang telah memberikan hunian baru pada warga panti karena panti asuhan tempatnya dibesarkan telah digusur.
Ia pikir dengan menikah, ia akan meraih kebahagiaan, namun yang terjadi justru sebaliknya. Hidupnya yang sejak kecil sudah rumit, malah makin rumit sebab ternyata ia merupakan istri kedua dari laki-laki yang telah menikahinya tersebut.
Lalu bagaimanakah ia menjalani kehidupan rumah tangganya sedangkan ia hanyalah seorang istri yang tak diinginkan?
Mampukah ia bertahan?
Atau ia memilih melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch. 1 Nanda Afrilya
"Selamat siang kak, mau pesan apa?" tanya Nanda pada salah seorang pelanggan yang telah duduk manis di salah satu meja. Ia pun menyerahkan daftar menu kepada pelanggan cafe itu.
"Saya pesan french fries, cheesecake, sama manggo smoothies." ucap perempuan yang berpakaian formal. Sepertinya ia pegawai kantoran. "Kamu mau pesan apa, beb?" tanya perempuan itu pada lelaki di sampingnya. Lelaki itu tiba-tiba tersentak saat namanya disebut. Ia tadi sempat terpana pada kecantikan Nanda yang saat ini sedang menunggu pesanan mereka.
"Ah, aku samain aja sama pesanan kamu, yang!" ucapnya sambil tersenyum manis. Namun, matanya masih melirik ke arah Nanda yang masih terus tersenyum ramah. Bukan bermaksud mencari perhatian dari para pelanggan khususnya laki-laki. Tapi ia hanya sekedar menunjukkan attitude sebagai karyawan yang baik agar tidak memberikan kesan buruk bagi pelanggan cafe itu.
"Pesanannya samain aja mbak, jadi masing-masing 2 porsi ya!" ucap perempuan itu ramah.
"Baik, kak. Mohon ditunggu sebentar. Saya permisi dahulu." ucap Nanda lagi ramah sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
"Awww ..." lelaki yang menemani perempuan itu tiba-tiba meringis karena cubitan kekasihnya.
"Apaan sih, yang, cubit-cubit! Sakit tau!" lelaki itu mendelik tajam. Kesal karena tiba-tiba saja dicubit.
"Makanya punya mata itu jangan jelalatan." desis perempuan itu sambil mengacungkan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya ke arah mata sang lelaki.
"Nda, itu pesanan meja 12 tolong diantar ya!" pinta Ayu seraya menyerahkan nampan berisi pesanan pelanggan di meja nomor 12.
"Baik, kak." sahut Nanda sigap.
Lalu dengan gesit, ia pun mulai mengantarkan 1 per satu pesanan para pelanggan. Nanda bekerja dengan penuh semangat.
...***...
"Ukh, capeknya!" lenguh Nanda seraya merebahkan punggungnya di sandaran kursi yang didudukinya. Tangannya bergerak bergantian memijit punggungnya sendiri , kanan dan kiri.
"Yah wajar kamu kecapekan, Nda! Kamu hampir tiap hari ambil lembur." sahut Mila seraya menyerahkan sebotol jus jeruk kemasan kepada Nanda.
"Wuih, makasih, Mil! Kira-kira ini bayar apa gretong nih?" ujar Nanda seraya terkekeh.
"No gretongan." sahut Mila cepat.
"Lho, jadi ini bayar toh! Nih gue balikin aja lagi. Baru diminum separuh juga. Belum habis, jadi nggak bayar kan!" ucap Nanda dengan wajah polosnya membuat beberapa karyawan cafe yang tengah bersiap-siap untuk pulang terkekeh.
"Ini nih, akibat keseringan lembur, otaknya jadi ikutan lelah. Makanya jangan keseringan lembur, efeknya bukan hanya tubuh kamu yang lelah, tapi otak juga. Minuman yang udah dibuka segelnya aja tetap harus bayar, apalagi udah diminum. " cibir Mila seraya tersenyum geli.
"Kamu kan tau Mil, tanggungan aku tuh banyak. Adik-adik di panti kan butuh makan, jadi aku harus kerja lembur supaya perut mereka tetap bisa kenyang. Kami nggak bisa ngarepin donatur, tau sendiri zaman sekarang, orang-orang yang gemar bersedekah udah makin berkurang. Kalaupun ada, mereka lebih ke pencitraan biar dianggap orang paling dermawan." ungkap Nanda membuat Mila, Ayu, dan lainnya terdiam.
Ya, mereka sudah tau kalau Nanda besar di sebuah panti asuhan. Untuk membalas budi pada pihak panti yang sudah bersedia menampungnya dari kecil. Maka dari itu, ia harus bekerja keras untuk membantu keuangan demi meringankan beban bunda Rieke yang merupakan ibu panti di tempatnya dibesarkan.
"Mau ibu bayarin minumannya?" celetuk Lavina yang entah sejak kapan sudah berada di ruangan itu.
"Eh ibu, terima kasih Bu, nggak perlu. Nanda bisa bayar sendiri kok." ujar Nanda malu-malu sebab pasti atasannya itu telah mendengarkan keluh-kesahnya barusan dengan Mila.
"Kalau kamu butuh duit, jangan sungkan ngomong sama ibu, Nda. Dengan senang hati akan ibu pinjamkan." tawar Lavina ramah .
"Ah, nggak usah Bu. Terima kasih atas tawarannya. Entar Nanda nggak bisa bayarnya, jadi repot. " tolak Nanda halus. Sesulit-sulit dirinya, ia sangat mengupayakan tidak berhutang kepada orang lain. Ia termasuk orang yang selalu memikirkan risiko dari setiap tindakan yang ia ambil. Ia tidak mau sampai terlilit hutang dan mengakibatkan dirinya kesusahan sendiri. Cukuplah hidupnya susah jangan dibuat makin susah pikirnya.
"Kalau takut nggak bisa bayar, nikah aja sama anak ibu, entar hutang kamu nggak perlu dibayar. Langsung ibu anggap lunas." goda Lavina membuat Nanda tersedak ludahnya sendiri. Sedangkan Mila dan Ayu terperangah dengan candaan atasannya itu.
"Wah, Nda, ide bagus tu!" goda Mila.
"Cie ... cie ... Nanda." goda Ayu. "Bu, kalau Nanda nggak mau, Ayu mau, Bu jadi menantu ibu. Ayu nggak perlu berhutang kok, cuma mau jadi menantu ibu aja, boleh nggak?" canda Ayu sambil terkekeh.
"Nggak boleh." sergah Lavina. "Penawaran ini hanya berlaku untuk Nanda." imbuhnya lagi sambil mengerlingkan sebelah matanya kepada Nanda membuat semua orang di sana makin terperangah tak percaya dengan apa yang Lavina ucapkan.
...***...
Hari sudah menunjukkan pukul 10 malam, sudah waktunya cafe Starla tempat Nanda tutup. Nanda pulang ke panti dengan mengendarai sepeda. Tak peduli dingin yang menguar dan angin yang berhembus menembus pori, Nanda tetap mengayuh sepedanya dengan penuh semangat.
Tiba-tiba hujan rintik turun mengguyur bumi, tetapi Nanda tetap mengayuh sepedanya. Namun, makin lama hujan makin deras membuat tubuh Nanda yang hanya dibalut kemeja tipis mulai menggigil kedinginan. Ia pun segera mencari tempat untuk berteduh. Tapi akibat hujan yang makin deras membuat jarak pandangnya menjadi terbatas. Nanda pun kesulitan mencari tempat berteduh. Jalanan itu juga sudah sangat sepi. Tiada pohon rindang yang bisa dijadikannya tempat berteduh, sedangkan jarak ke panti masih cukup jauh. Sebenarnya ia bisa saja naik taksi online, tapi ia harus berhemat demi mencukupi kebutuhan di panti.
Tak lama kemudian, Nanda melihat sebuah halte. Ia menggumamkan rasa syukurnya, akhirnya ia bisa berteduh sejenak. Ia berharap, hujan segera reda agar ia bisa segera tiba di rumah.
Satu jam kemudian, hujan pun mulai reda. Nanda pun kembali mengayuh sepeda tuanya untuk pulang.
Jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam, akhirnya Nanda telah tiba di panti tempatnya dibesarkan. Karena tubuhnya yang basah, Nanda masuk melalui pintu belakang. Tetapi, baru saja ia masuk, ia menangkap suara tangis dari kamar bunda Rieke. Nanda panik, tapi ia tidak mungkin langsung berjalan menuju kamar bunda Rieke. Ia pun segera membersihkan diri dan menggunakan handuk yang memang selalu tersedia di kamar mandi. Setelah itu ia bergegas berganti pakaian. Tak sabar rasanya ia ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi sebab tak biasanya bundanya tersebut menangis apalagi ini sudah tengah malam.
Selesai berganti pakaian, Nanda segera menuju kamar bunda Rieke. Ia mengetuk pintu terlebih dahulu. Bunda Rieke yang sadar pasti Nanda-lah yang mengetuk pintu kamarnya, segera mengusap air matanya hingga tak bersisa. Lalu ia pun membuka pintu kamar seraya tersenyum lebar. Namun, bagaimana pun bunda Rieke mencoba menutupi kesedihannya, Nanda tetap menyadarinya. Apalagi terlihat jelas dari mata bunda Rieke yang terlihat sembab.
"Bunda kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa bunda nangis tengah malam gini?" cecar Nanda panik. "Jangan bilang bunda nggak papa sebab bunda pasti tau, Nanda nggak akan percaya itu." imbuhnya lagi membuat mata bunda Rieke berkaca-kaca lalu kembali menangis.
Nanda segera memeluk tubuh tua bunda Rieke dan mengusap punggungnya, mencoba memberikan ketenangan.
Lalu Nanda memapah tubuh tua Bunda Rieke menuju ke tempat tidurnya. Setelah duduk, Nanda kembali menanyakan apa yang terjadi.
"Sekarang bunda udah bisa cerita ada apa? Bunda nggak perlu khawatir, Nanda pasti akan bantu cari jalan keluarnya." tutur Nanda lembut.
"Nda, tadi siang anak mendiang pemilik lahan tempat berdirinya panti ini datang. Dia bilang, dia telah menjual tanah ini jadi kita harus bersiap-siap bila pembelinya datang kemari dan meminta kita pindah." lirih bunda Rieke dengan wajah tertunduk lesu.
"Apa? Kok bisa begitu, Bun? Kan tanah ini sudah diwakafkan orang tuanya untuk pendirian panti, kenapa malah dia jual?" Nanda geram bukan main.. Bagaimana bisa mereka menjualnya begitu saja tanpa memikirkan nasib anak-anak panti yang ada di sini. Apalagi setaunya, tanah ini sudah sekian lama diwakafkan oleh mendiang pak Wiro untuk dijadikan panti asuhan.
"Bunda juga bingung, Nda. Bunda bingung harus bagaimana. Bunda khawatir bila orang yang beli tanah ini datang dan tiba-tiba mengusir kita, kita harus pindah kemana, Nda. Ya Allah, bunda benar-benar bingung." lirih Bunda Rieke yang sudah terisak.
Tanpa sadar, Nanda pun menitikkan air matanya. Ia juga bingung harus bagaimana. Tapi bila ia turut bersedih, lalu siapa yang akan menguatkan bunda Rieke dan adik-adiknya. Nanda segera menyeka air matanya dan memeluk bunda Rieke.
"Udah ya Bun, nanti kita cari jalan keluarnya. Kita terus berdoa aja ya Bun, semoga pemiliknya berbaik hati dan mau memberikan waktu untuk kita mencari tempat yang baru." ujar Nanda menenangkan.
"Tapi Nda, nggak semudah itu. Kalaupun mau cari tempat baru, itu sudah pasti menyewa, sedangkan keuangan panti saja sudah sangat pas-pasan. Itupun kau harus kerja keras siang malam hingga lembur untuk mencarinya, lalu bagaimana kita bisa menyewa rumah yang cukup besar untuk menampung adik-adikmu. " lirih Bunda Rieke lagi. Ia benar-benar bingung sekarang.
"Bun, ingat, tak ada yang tak mungkin bila Allah berkehendak. Kalau Allah sudah bilang Kun Fa Ya Kun, maka apapun bisa terjadi. Kita banyakin berdoa aja yang Bun, semoga nanti Allah memberikan kita kemudahan." pungkas Nanda mencoba menenangkan. Walaupun hatinya sebenarnya sedang berkecamuk memikirkan jalan keluar dari masalah ini, tapi ia harus selalu berusaha untuk tegar dan berpikir positif. Seperti katanya tadi, tak ada yang ada yang tidak mungkin di dunia ini bila Allah sudah berkehendak.
Bunda Rieke pun tersenyum. Ia bangga pada sifat welas asih Nanda. Biarpun ia dibesarkan dalam keadaan kekurangan, tapi itu tidak membuatnya jadi manusia yang lemah dan mudah berputus asa. Nanda justru terlihat tegar dalam setiap masalah apapun. Ia juga gadis yang bertanggung jawab. Di saat saudara-saudara sepantinya banyak yang keluar dan ada juga yang diadopsi tanpa peduli lagi dengan keadaan panti, tapi ia tetap setia bahkan rela banting tulang demi mencukupi kebutuhan warga panti terutama adik-adiknya.
'Apa yang Bu Bos katakan tadi serius, ya? Apa aku harus pinjam duit dengan Bu bos? Tapi kalau Beliau beneran nyuruh aku nikah sama anaknya gimana? Tapi kalau itu memang bisa membuat bunda dan adik-adik tidak terlantar, aku tak mengapa. Aku ikhlas.' lirih Nanda dalam hati.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...