Kakak beradik, menikah?
Apakah bisa?
tentu bisa, hal ini terjadi dan menimpa dua saudara yang ternyata mereka sama sekali tak memiliki ikatan darah.
" Siapa yang melepas hijabku?" Gumam Dinda kebingungan setelah nyawanya terkumpul dari tidur lelapnya.
" Pasti ini ulahnya, Pasti. Tidak ada yang lain." Dinda mendengus yakin.
Dinda mendatangi Andra tersangka utama sambil bersungut-sungut menahan amarahnya. Hijabnya sudah kembali terpasang dengan rapi, tapi tidak dengan wajahnya yang kusut dan awut-awutan.
" Kak, bangun!" Dinda mengguncangkan tubuh Andra tanpa perasaan.
" Ada apa sih? masih malam juga. Argh....!" Andra menggeliat dan mengerang mengumpulkan kesadarannya.
" Kamu membuka hijabku kan?" Dinda memicing mencari kejujuran.
" Iya." Jawaban Andra sangat enteng tanpa beban dan dosa.
" Aku tidak suka ya Kakak membuka hijabku seperti itu. Kakak itu bukan suamiku, tidak boleh melihat auratku!!" Seru Dinda yang mulai meninggi nada bicaranya. Ketidak sukaannya benar-benar kentara.
" Ish, ish, ish!" Andra menggeleng dan terkekeh. Lucu saja baginya melihat Dinda mengamuk dengan hal sepele seperti itu.
" Ibu ustazah, Pagi-pagi sudah marah-marah. Dosa loh Bu." Andra terkekeh geli mengamati raut wajah Dinda yang kaku.
" Apa ibu lupa, jika bukan hanya suami yang bisa melihat aurat wanita? Mahram juga. Ayah, Kakak laki-laki, adik laki-laki, dan paman dari Ayah. Nah aku ini kakakmu Dinda! Apa kamu lupa?" Andra menggeleng-gelengkan kepalanya.
" Memangnya kamu pikir aku ini orang lain? Jangankan rambut, udelmu saja aku paham bagaimana bentuk dan juga tahi lalatnya. Dasar aneh!!"
" Sudah, Kakak mau ke masjid dulu." Andra berdiri dan mengusap pucuk kepala Dinda.
Dan Dinda?
Dinda hanya melongo merasa menjadi mahluk paling bodoh di muka bumi ini. Bagaimana dia bisa lupa jika Andra tidak pernah tau bahwa dia adalah anak pungut? Jelas saja Andra berpikiran jika tidak ada yang salah dalam tindakannya.
Apa yang bisa Dinda lakukan?
Tidak ada. Dinda hanya bisa mengalihkan topik pembicaraan dan berpura-pura bodoh di hadapan Andra.
" Hehehehe! maaf ya Kak, otak ku sedikit error'." Ucap Dinda yang mengekor di belakang Andra seolah bukan masalah besar yang baru saja terjadi.
Andai saja Dinda tau jika semalam Andra juga sempat mencium keningnya, Apakah yang akan terjadi??
Bisa jadi sekarang sudah terjadi baku hantam dengan Arumi yang berperan sebagai wasit.
" Makanya, jangan apa-apa langsung marah." Kata Andra menasehati.
Flashback off.
" Terimakasih ya Kak, sudah mau membantuku." Kata Dinda yang sekarang sudah siap untuk membesuk Mama pita.
Papa Dimas mengabari jika Mama pita sudah siuman. Dan merindukan cucunya. Andra dan Dinda tentu saja antusias menyambut kabar baik itu dan segera bersiap menuju ke rumah sakit.
🌷🌷🌷
" Wah, cucu nenek!" Sambut Mama pita bahagia melihat kedatangan Arumi.
" Iya Nek, nenek sudah sembuh ya?" Dinda menyahuti dengan suara yang di buat-buat seperti anak kecil.
" Aku senang Mama sudah siuman." Ucap Andra yang kemudian mencium kening Nama pita.
Papa Dimas melihatnya dan hanya bisa menghela nafasnya. Entah apa artian helaan nafasnya, tapi seolah ada sesuatu yang terpendam.
" Kamu tidak ingin mencium Mama Din?" Mama pita menunggu ciuman hangat dari putrinya.
" Apa boleh ma?" Tanya Dinda yang seakan menusuk hati Mama pita.
Jangankan mencium, dulunya Mama pita paling tidak suka jika Dinda mendekat dengannya. Selalu menjauhkannya dan mengacuhkannya. Dinda terbiasa bermanja-manja dengan Papa Dimas yang selalu merentangkan tangannya menunggu Dinda menghambur ke dalam pelukannya.
" Boleh Sayang, Mama juga sangat merindukanmu." Kata Mama pita dengan sendu dan penuh penyesalan akan kesalahannya di masa lalu.
" Cepat!" bisik Andra mendorong bahu Dinda untuk segera mencium kening Mamanya.
Bekal yang Dinda bawa kini mereka nikmati bersama. Hanya lauk sederhana tapi cukup membuat mereka banyak-banyak bersyukur atas kesehatan yang Mama pita dapatkan.
Tibalah waktu Andra mulai membahas tentang uang hasil penjualan rumah mereka. Papa Dimas setuju-setuju saja akan keputusan kedua anaknya.
sampai,
" Pa, Andra tadi pagi bertengkar dengan Mak lampir." Andra mengadu akan apa yang terjadi pagi tadi, berharap banyolannya akan membuat kedua orangtuanya bisa tertawa.
" Bertengkar masalah apa lagi kalian ini?" Lirih Mama pita masih dengan posisi bersandar di ranjang.
" Tadi, Pagi-pagi buta. Dinda terkena amnesia. Dia lupa jika aku ini kakak kandungnya. Dia memarahiku habis-habisan hanya karena aku melepas hijabnya sewaktu dia tertidur. Padahal aku hanya tidak mau tubuh adikku mengempis karena tertusuk jarum pentul." Ucap Andra berharap perkataannya bisa mengundang tawa.
Tapi justru sebaliknya, hawa dingin kian kental terasa terlontar dari tatapan mata ketiga orang selain Andra.
Andra terdiam membaca raut muka ketiganya yang seolah saling bicara dalam diamnya.
" Ada apa? apa aku salah bicara?" Raut muka Andra berubah menjadi tegang.
" Bisa kalian keluar dulu? Mama ingin bicara berdua dengan Papa." Lirih Mama pita dengan suaranya yang pelan.
Hanya menuruti, lantaran menolak pun sia-sia. Dinda sudah menarik tangan Andra sampai keluar ruangan.
" Ada apa?" Desis Andra yang benar-benar tidak tau menau.
Di dalam kamar rawat inap.
" Pa, ini saatnya. Kita harus membicarakan hal ini."
" Tapi Ma, keadaan Mama belum sepenuhnya pulih."
" Pa, mau sampai kapan kita menyimpan rahasia ini. Mama mendengar Andra bercerita seperti itu jadi takut. Bagiamana pun mereka tidak memiliki hubungan darah. Secara agama saja kita sudah salah karena menyembunyikan kebenaran ini."
" Tapi Ma, setelah pengorbanan Andra untuk keluarga kita, Papa tidak sanggup jika harus menyakitinya."
" Pa, sakit atau tidak kita harus mengungkapkan kenyataannya. Mama juga tidak tau sampai kapan Mama bisa bertahan. Mama rasa Mama sudah tidak akan lama lagi bisa berkumpul bersama kalian."
" Ma, Sayang. Jangan bilang seperti itu." Papa Dimas menitikan air matanya. Sedih bila sang belahan jiwa memiliki sisa usia yang tak lagi lama. Hancur remuk hatinya.
" Baiklah, jika itu maumu Ma. Tapi bagaimana bila Andra marah dan meninggalkan kita?"
Mama pita terdiam sesaat memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi.
" Apapun itu, Mama sudah siap. Panggilkan mereka Pa. Mama ingin bicara." Pinta Mama pita dengan sendu.
Papa Dimas mengiyakan kemauan Mama pita lalu memanggil keduanya untuk masuk.
" Ndra, Mama ingin bicara hal serius kepadamu Nak." Lirih Mama pita dengan tenaga yang semakin melemah.
" Ada apa ma?" Andra larut dalam suasana sedih yang tiba-tiba.
" Berjanji pada Mama, Apapun yang Mama katakan setelah ini, kamu akan tetap menjadi bagian keluarga ini. Mama hanya ingin menyaksikan keluarga ini rukun dan utuh."
" Ma, jika pertengkaran antara aku dan Dinda menjadikan beban di hati Mama, Andra minta maaf Ma. Andra berjanji akan menjaga keluarga ini sampai kapanpun." Ucap Andra dengan suara yang bergetar. Pikirannya bertumpu pada sumber masalah yang dia kira adalah pertengkaran antara dirinya dan Dinda.
" Kamu janji?"
" Iya Andra berjanji." Jawab Andra dengan menahan tangisannya.
" Mama minta kepadamu, Nikahilah Dinda." Mama Pita terbilang nekat untuk hal ini. Dia langsung memutuskan keinginannya sepihak tanpa berunding.
Papa Dimas sangat terkejut dan hanya bisa merangkul Dinda yang bingung mencerna keinginan Mamanya. Sementara Andra langsung berdiri dan melepaskan genggaman tangannya. Tatapannya kosong dan air matanya lolos begitu saja.
" Ma, aku dan Dinda itu saudara kandung! Pa, ada apa dengan Mama apa ini pengaruh obat?" Andra berseru menyalurkan emosinya.
"...." Papa Dimas menggeleng pelan tak berani menatap wajah Andra.
" Tidak Nak, Mamamu benar. Papa juga mendukung keinginannya." Papa Dimas melepaskan rangkulannya dan berlutut di hadapan Andra dengan air mata yang bercucuran dia meminta Maaf.
" Maafkanlah Papa Nak. Kami selama ini menutupi kebenaran ini darimu. Kamu sebenarnya bukan anak kandung kami." Papa Dimas berlutut.
" Maafkan Dinda juga Kak, Dinda juga sudah tau akan hal ini." Dinda ikut berlutut di hadapan Andra.
Tindakan Papa Dimas dan Dinda bukanya membuat Andra semakin luluh, tetapi Andra justru semakin menolak kebenaran ini. Dia merasa disakiti dan di khianati oleh orang-orang terdekatnya.
" Kalian semua bersekongkol menyembunyikan ini dariku? Tidak! Tidak!" Andra menggeleng.
" Kalian hanya bercanda kan? Ini bukan hari ulang tahunku. Ulang tahunku masih lama. Bangunlah Papa." Andra menggiring Papa Dimas untuk bangun dari posisinya.
" Dek, Dinda, jangan bikin lelucon seperti ini. Tidak lucu!" Andra juga meraih Dinda untuk bangun.
" A... aku anak kalian kan? kalian hanya mengerjaiku kan?" Tanya Andra sambil menangis tak kuasa menahan kenyataan yang menyakitkan.
Semuanya menggeleng dan tak berani menatap Andra.
Andra pergi dengan membawa kekecewaannya dan juga kekesalannya. Amarahnya membuncah mengisi setiap relung kalbunya. Dia berlari meninggalkan mereka semua. Entah kemana perginya tetapi tidak ada yang berani menyusulnya.
Bersamaan dengan itu.
Nit.....!
Nit.....!
Nit ...!
Suara pantauan ritme jantung terdengar berdeda. Kepanikan terjadi, Papa Dimas berlari mencari dokter.
" Ma, Mama.....!!!" Teriak Dinda terdengar histeris.
Apakah yang terjadi setelah ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimi lita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kakakku Suamiku Komentar