Delapan Pusaka : Amarah Harimau

Delapan Pusaka : Amarah Harimau

Prolog

Cerita ini hanya fiktif belaka.

Jika ada kesamaan nama tokoh,

tempat kejadian ataupun cerita,

itu adalah kebetulan semata dan

tidak ada  unsur kesengajaan.

 

 

 

 

 

 

Cahaya bulan mulai merayap malu-malu menimpa debur ombak menari-nari dan yang berbuih ditiup angin yang berhembus dari daratan. Udara dingin mengerat tulang berhembus dengan liarnya membuat siapa pun yang terkena olehnya menggigil kedinginan. Namun, dinginnya udara pantai malam itu tidak berarti apa-apa bagi orang-orang di tempat itu.

Mereka rombongan yang terdiri dari empat belas orang, empat diantaranya perempuan, dan sisanya adalah para lelaki. Mereka tetap berjalan lincah di antara pasir dan ombak yang bergulung-gulung. Nafas mereka terlihat memburu, sorot mata mereka penuh dengan kewaspadaan dan langkah-langkah mereka yang makin lama semakin cepat hingga mereka berlari di atas ombak dan pasir. Tujuan mereka adalah obor yang menyala-nyala ujung pantai dimana jaraknya hanya tinggal beberapa ratus meter lagi.

Pemimpin dari mereka adalah seorang perempuan yang terlihat berusia awal dua puluhan. Tubuhnya yang ramping dibalut pakaian lengan panjang hijau muda yang terbuat dari sutra. Tubuh perempuan itu paling mungil, namun gerakannya paling lincah serta paling memiliki kharisma di antara yang lain. Rambutnya panjang sebahu diikat menggunakan sisir dari kayu dengan motif awan. Kulitnya seputih pualam dengan wajah bulat dan mata sedikit sipit berwarna bening kehitaman. Kedua matanya memiliki sorot mata penuh kewaspadaan, sekaligus juga menyimpan kelembutan.

Perempuan itu memiliki bibir tipis berwarna jingga yang dihiasi hidung mungil serta alis melengkung yang indah hingga kecantikannya terlihat sempurna sekalipun pada saat berlari di tengah gelapnya malam. Saat ia mengambil nafas, deretan gigi putih yang tidak rata menghiasi bibir mungilnya.

Sedangkan delapan orang pengikutnya laki-laki dalam rombongan itu mengenakan *kawaca*, baju pelindung terbuat dari baja yang terdiri dari  pelindung bahu, pelindung lengan dan juga pelindung dada yang terjalin menjadi satu dengan pelindung punggung. Bahkan beberapa dari mereka juga mengenakan helm berbentuk kerucut. Mereka adalah ksatria*,kaum pendekar bersenjata yang mengabdi kepada junjungan mereka.

Selain itu, seorang orang laki-laki dan tiga orang perempuan mengenakan pakaian serba hitam dan memakai topeng berbentuk kepala binatang anjing, monyet dan burung gagak. Pelindung bahu, pelindung betis serta pelindung lengan mereka terbuat dari plat logam yang dijahit benang tembaga. Mereka adalah wiracaya. Wiracaya adalah sosok di balik bayangan yang bertugas sebagai pelindung atau melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan oleh junjungan mereka.

Berbeda dengan ksatria yang memegang teguh pertempuran dengan cara terhormat, wiracaya adalah pasukan telik sandi khusus yang bergerak diam-diam seperti bayangan dan akan melakukan apapun demi perintah atau imbalan. Dari membunuh musuh saat tidak waspada, menculik orang-orang terdekat musuh untuk dijadikan sandera,  hingga menggunakan racun, sihir atau bahkan tipu muslihat.

“Kita sudah sampai.” Seru pimpinan rombongan itu.

Yang lain mengangguk, namun salah satu diantara mereka kemudian menyadari terdapat keganjilan dari rencana mereka .

“Di mana yang lain?” Kata salah satu ksatria laki-laki.

“Harusnya mereka menunggu di tempat ini.” Kata seorang wiracaya dengan topeng berbentuk kepala burung gagak. Suaranya terdengar seperti seorang perempuan muda.

Saat kebingungan melanda rombongan itu, dalam jarak beberapa ratus meter dari mereka, terlihat puluhan suluh tiba-tiba menyala. Rupanya rombongan tersebut telah dikepung oleh sekitar dua ratus prajurit ksatria lengkap dengan zirah rantai baja, tombak dan pedang. Beberapa puluh prajurit berkuda bersenjatakan panah di tempatkan di daerah yang lebih tinggi dari permukaan pantai.

Para prajurit itu mengenakan penanda dengan bendera hitam berlambangkan rusa putih bertanduk emas, sementara ada pula yang membawa bendera berwarna hijau bergambar tujuh koin emas. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki yang mengendarai kuda jantan berwarna kecoklatan. Ia laki-laki jangkung dengan tinggi sekitar seratus delapan puluh lima sentimeter dengan rambut hitam serta kulit kecoklatan terbakar sinar matahari.

“Apakah Anda mencari pengikut yang menunggu di pantai ini?” Tanya laki-laki itu pada perempuan muda pimpinan rombongan.

Perempuan muda tidak menjawab pertanyaan laki-laki itu, Ia jutru menggeram lalu mencabut senjata miliknya berupa keris serta pedang berwarna keemasan. “Yasodana.” Desis  perempuan muda itu pada si laki-laki jangkung.

“Gusti Putri jangan menatapku dengan mata menakutkan seperti itu.” Yasodana tertawa. “Saat aku dan anak buahku tiba di sini, anak buah anda sudah tidak ada lagi di tempat ini.”

“Lalu apa tujuanmu kemari?” Tantang perempuan muda itu.

“Demi kedamaian Negera ini, para tetua Sapta Marga Bathara (Tujuh Klan Besar) yang mendukung Kerajaan serta atas nama Raja, saya di sini  diperintahkan untuk mengamankan anda Gusti.” Yasodana

menunjuk bendera dengan lambang tujuh koin emas pada salah satu prajurit anak

buahnya.

Lambang tujuh koin emas sendiri merupakan bendera tujuh klan besar yang menguasai seluruh kerajaan. Hanya atas restu dan perintah tujuh klan besar, para pasukan berbendera tujuh koin emas ini bergerak. Pasukan kerajaan

rupanya bekerja sama dengan pasukan dari tujuh klan besar untuk  berusaha menangkap perempuan dan yang lain.

“Jadi diriku sebagai perwakilan dari Sapta Marga Bathara yang dengan tulus berbagi beban dengan sang Raja, mengajukan diri untuk melenyapkan duri dalam daging yang ada di tubuh kerajaan kita dengan cara menggagalkan rencana para pengkhianatan.

“Jadi Raja ingin menangkapku?”

“Benar Gusti” Jawab Yasodana.

“Mustahil!?” Seru salah satu wiracaya tertua pengikut perempuan itu tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat mengetahui mereka semua akan melarikan diri melalui jalur laut. “Tidak ada satu pun di luar kelompok kita

yang mengetahui rencana ini.”

Yasodana tersenyum simpul kemudian berkata pada wiracaya tua tersebut. “Rupanya pengaruh usia membuat pikiranmu sungguh menjadi tumpul Camarditya.” Yasodana lalu bersiul panjang.

Dua orang pemuda bertubuh jangkung keluar dari balik bayangan malam ketika mendengar Yasodana bersiul. Pemuda pertama adalah seorang wiracaya yang mengenakan pakaian serba hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan pelindung bahu dan pelindung lengan terbuat dari baja berlapis perak. Wajahnya tersembunyi dari kegelapan malam, karena dirinya mengenakan topeng merah berbentuk wajah dwarapala¸ iraksasa penjaga dengan wajah menyeramkan dan bersenjatakan gada.

Tanpa bersuara sedikit pun, wiracaya bertopeng itu hanya berdiri menunggu perintah selanjutnya dari Yasodana. Kedua tangannya sama sekali tidak terlihat menggenggam senjata, tapi dari balik tubuhnya tersimpan belasan jenis senjata rahasia yang mematikan. Meski wiracaya itu tidak melakukan apapun, hawa membunuh serta nafsu haus darah seakan-akan menggelegak keluar dari balik topengnya.

Perempuan itu serta para pengawalnya itu mengenal orang ini sebagai sosok dimana kesetiaannya berbanding lurus dengan kemampuannya yang menakutkan kawan atau pun lawan. Ia adalah Ranendra Haridra, pemimpin dari keluarga Haridra yang mengabdi pada keluarga Yasodana.

Sedangkan pemuda kedua yang berada disamping wiracaya bertopeng dwarapala adalah sosok yang begitu dikenal oleh perempuan itu dan pengawalnya.  Pemuda itu  memiliki dua bola mata hijau terang yang menatap perempuan itu dan orang-orang yang melindunginya dengan tatapan setajam pedang. Hidungnya  besar mancung dan sedikit bengkok hingga berbentuk paruh burung elang bertengger di wajahnya yang dingin dan keras seperti batu karang di lautan.

Sepasang alis tebal yang tumbuh tidak beraturan semakin menegaskan kesan liar darinya. Kulitnya sepucat mayat serta rambut sebahu kecoklatan dibiarkan terurai. Pakaian pemuda bermata hijau itu berwarna hitam dengan ikat pinggang terbuat dari kulit serigala. Sepasang pelindung terbuat dari baja berlapis perak di mana masing-masing pelat pelindung itu memiliki berat sekitar tiga kilogram tergantung di pundak, lengan serta lututnya. Meski pemuda bermata hijau tersebut tidak banyak bicara, sosoknya menyimpan kebuasan seperti binatang buas yang bersembunyi dan siap menerkam mangsa.

Melihat dua orang itu keluar dari persembunyian setelah diberi tanda, Yasodana lalu menepuk-nepuk pundak  pemuda bermata hijau, lalu sambil tersenyum puas Ia berkata.

“Karena jasamu, mulai hari ini dirimu menjadi orang yang baru, dari seorang wiracaya menjadi seorang ksatria yang akan mengabdi pada junjunganmu, Panglima Mahijasatya Yasodana Yudhasira.” Yasodana mengambil keris berwarna hijau yang masih terbungkus nyaman dalam sarungnya lalu memberikannya pada pemuda itu. “Usai menangkap para pelarian ini, kita akan mengadakan upacara pengangkatanmu sebagai ksatria yang membawahi tiga puluh orang prajurit.”

Pemuda bermata hijau itu mengangguk pelan mendengar kata-kata Yasodana lalu melepaskan pelindung bahu, lengan serta lututnya satu persatu dan kemudian menerima keris berwarna hijau tersebut dengan penuh hormat. Pemuda itu kini menjadi seorang ksatria.

Perempuan itu terperangah untuk sesaat saat mengetahui pemuda bermata hijau yang awalnya seorang wiracaya itu diangkat menjadi seorang ksatria. Lalu, ekspresi perempuan itu dan para pengawalnya berubah dan suasana menjadi gaduh ketika mereka menyadari bahwa pemuda itu rupanya adalah orang yang memberitahukan rencana mereka pada Yasodana.

“Kau!” Camaraditya menghunuskan tombaknya dengan disapu perasaan amarah lalu mengacung-acungkan  pada pemuda bermata hijau itu.  Sumpah serapah kemudian dihamburkan dari mulut Camaraditya serta yang lainnya.

“Pengkhianat!”

“Iblis bermuka

pucat!”

“Terkutuklah semua keluargamu!”

“Anjing saja lebih setia darimu!”

Para pengawal perempuan itu menghamburkan kata-kata kutukan paling mengerikan yang dapat diingat mereka pada ksatria bermata hijau itu. Hanya perempuan itu saja yang tidak bereaksi terlalu keras pada apa yang dilakukan Yasodana dan pemuda bermata hijau tersebut.

Dengan wajah sedih Perempuan itu mencoba beradu mata dengan ksatria bermata hijau tersebut, tetapi ksatria bermata hijau itu bersikap seolah-olah perempuan itu dan pengawalnya tidak ada di sana. Ekspresi wajah ksatria bermata hijau itu memperlihatkan kekosongan, seolah-olah pikirannya berada di tempat lain.

“Mengapa?” Tanya perempuan itu.

Dari nada suara perempuan itu yang bergetar, terdengar kebingungan bercampur kesedihan saat melihat apa yang dilakukan ksatria bermata hijau tersebut.

“Mengapa katamu?” Yasodana balas bertanya dengan nada merendahkan. “Harusnya aku yang bertanya demikian, mengapa orang sehebat dan seberbakat ini hanya menjadi bagian dari bayang-bayang dari kalian.”

“Lalu kau apakan teman kami yang lain!?” Raung salah satu pengawal itu pada Yasodana.

“Entahlah, anak itu berkata akan membereskan semuanya.” Kata Yasodana melirik ksatria bermata hijau. Yasodana lalu mengangkat lengannya ke udara memberi aba-aba kepada pasukannya.

Suara desing yang berasal dari ratusan anak panah yang meluncur merobek udara malam terdengar setelah Yasodana memberikan aba-aba. Namun, pengawal perempuan itu dengan sigap berhasil menghalau panah-panah itu. Hanya satu orang dari pengawal perempuan itu yang terserempet mata panah di bagian pundak. Para pemanah Yasodana gagal membereskan perempuan itu dan para pengawalnya.  Melihat para pemanahnya gagal, Yasodana mengangkat lengannya di udara sekali lagi, tetapi dengan tangan terkepal.

“Kepung dan tangkap mereka,” Perintah Yasodana.

Hujan anak panah pun berhenti, para prajurit bersenjatakan tombak dan pedang segera mengepung perempuan itu dan para pengawalnya. Mereka berniat untuk menangkapnya hidup atau pun mati. Pertempuran tidak seimbang

antara tiga belas orang pelarian melawan ratusan prajurit bersenjata lengkap pun terjadi. Tetapi, tiga belas pengawal perempuan itu rupanya bukan orang sembarangan.

Beberapa dari mereka sudah mengangkat senjata serta turut dalam berbagai pertempuran sejak mereka memasuki upacara akil balig. Suara senjata beradu terdengar hingga beberapa kilometer jauhnya dari pantai. Sesekali salah satu wiracaya pengawal perempuan itu melemparkan uap beracun yang membuat musuh berpikir agar menjaga jarak dari mereka. Meski demikian, tiga belas orang tentu tidak sebanding dengan dua ratus orang prajurit. Sebuah tombak menembus lambung kiri ksatria muda, namanya Hripala, usianya baru lima belas tahun.

Perempuan itu kemudian berteriak murka saat tubuh Hripala jatuh bersimbah darah, tertelungkup di atas pasir dan ombak lalu tidak bergerak lagi. Meski diliputi perasaan marah dan sedih, perempuan itu berusaha mengendalikan diri dan tetap bertempur dengan kepala dingin. Sebab menurutnya, dalam situasi yang genting, amarah hanya akan membuat salah langkah dan membawa dirinya serta para pengawalnya pada situasi yang lebih buruk.

Dengan darah bercampur keringat, perempuan itu beserta pengawalnya pun mati-matian menerobos kepungan musuh sambil bergerak menuju tempat yang tidak jauh dari obor yang menjadi petunjuk mereka, yaitu bagian bibir pantai yang telah ditandai dengan beberapa pasak besi yang tersembunyi dengan baik.

Ketika perempuan itu dan pengawalnya telah menginjakkan kaki di tempat yang telah ditandai, salah satu wiracaya  yang mengenakan topeng berbentuk wajah monyet mengucapkan menarik sebuah selubung di pinggir pantai. Ia menarik dengan sekuat tenaga sambil membaca mantra  dengan penuh konsentrasi serta kekuatan magis, hingga tidak memperhatikan ketika sebuah anak panah melesat menyasar lehernya.

”Kalya!” Jerit wiracaya bertopeng kepala gagak pada saat sebuah anak panah menembus

leher wiracaya yang mengenakan topeng wajah monyet.

Lalu dengan susah payah, tanpa mempedulikan lukanya, Kalya tetap melanjutkan membaca mantra sambil menarik sebuah selubung berbentuk kain hingga selesai. Sebuah kapal terlihat samar-samar usai Kalysa merapal  mantranya. Rupanya dengan trik tertentu Kalya membuat sebuah kapal tidak terlihat oleh mata.  Usai kapal itu terlihat, Kalya pun tersungkur dan tidak bergerak lagi.

”Gusti Putri, Nira, Widyata naiklah ke kapal lebih dahulu !” Seru Camaraditya kepada perempuan itu dan wiracaya yang bertopeng kepala gagak dan kepala singa.

Perempuan itu kemudian dibantu dua orang wiracaya yang mengenakan topeng kepala gagak dan kepala singa berhasil naik ke atas kapal dengan susah payah. Mengetahui perempuan itu berhasil naik di atas kapal, anak buah Yasodana menjadi semakin kalap.

Mereka makin merangsek maju disertai teriakan yang menggelegar sambil menusukkan tombak serta mengayunkan pedang dengan beringas sambil bereriak-teriak murka. Melihat pasukan musuh semakin mendesak mereka, salah seorang wiracaya yang mengenakan topeng berwajah anjing segera bergerak maju menembus kepungan musuh dan terus melesat hingga menuju tepat di tengah-tengah  pasukan Yasodana.

”Demi kejayaan Marga Arkanagari!” Seru seorang wiracaya yang mengenakan topeng berwajah anjing sambil melompat setinggi mungkin. Suaranya wiracaya bertopeng wajah anjing itu terdengar seperti seorang laki-laki muda.

Saat berada di udara, wiracaya bertopeng anjing dengan cekatan menyalakan beberapa sumbu pada dinamit yang telah disembunyikannya di balik baju. Dan ketika mengingak tanah, dengan dipenuhi beberapa dinamit dengan sumbu menyala-nyala, Ia berada di tengah-tengah musuh dimana tebasan pedang dan tusukan tombak segera menyambutnya.

Bunyi daging dan tulang bertemu logam pedang diiringi gemeletuk derak tulang rusuk yang beradu dengan tombak terdengar sangat kencang hingga membuat siapapun yang mendengarnya terasa ngilu. Meski rasa sakit yang luar biasa hebat menghampiri wiracaya bertopeng wajah anjing itu, Ia tetap menahan tombak serta pedang menembus tubuh dengan beberapa dinamit menyala-nyala di pinggang dan perutnya.

”Kalian kalah.” Kata wiracaya bertopeng wajah anjing tertawa parau sambil menyemburkan darah dari mulutnya.

Sebuah ledakan memporak-porandakan tubuh salah satu wiracaya  yang mengorbankan diri serta membuat pasukan Yasodana dilanda kepanikan luar biasa. Ledakan itu begitu membuat kerusakan hebat pada pasukan Yasodana, sebab di dalam tubuh wiracaya bertopeng wajah anjing tersebut banyak tersimpan senjata rahasia berukuran kecil dan berjumlah sangat banyak.

Dari paku beracun, jarum, hingga lusinan keris beracun berukuran kecil. Sehingga, saat dinamit itu meledak, serpihan benda-benda itu menembus tubuh anak buah Yasodana. Banyak anak buah Yasodana yang tewas atau pun cidera cukup parah usai ledakan itu, mereka yang selamat pun harus berhenti untuk sementara untuk memulihkan diri. Sebab, selain menimbulkan luka pada tubuh pasukan, ledakan tersebut membuat  pendengaran dan penglihatan mereka terganggu.

Ditambah lagi dengan berbagai senjata rahasia miliki wiracaya yang meledakkan diri tersebut dilumuri racun yang sangat mematikan.  Tidak sedikit pula pasukan Yasodana yang keracunan parah hingga kejang-kejang dan tidak mampu lagi untuk melanjutkan pertempuran. Yasodana pun berteriak murka saat dua ratus orang pasukannya tercerai berai karena ledakan bom bunuh diri salah satu wiracaya yang nekat meledakkan diri melindungi perempuan itu.

”Dasar kawanan tidak berguna, hanya sebuah ledakan kecil kalian berhenti!?” Raung Yasodana pada anak buahnya yang tercerai-berai. ”Panah mereka, lebih cepat, lebih cepat!”  Perintah Yasodana pada para pemanahnya. ”Tidak peduli hidup atau mati, tembak, tembak!”

Hujan anak panah yang ditembakkan orang-orang Yasodana deras menerpa perempuan serta para pengawalnya

yang masih tersisa. Bahkan Yasodana yang murka merebut salah satu panah dari anak buahnya kemudian ikut memanah perempuan itu. Perempuan itu berhasil menghindari bidikan-bidikan panah yang dilepaskan Yasodana dan anak buahnya dengan cara melihat jalur panah yang melesat di udara lalu bergerak ke sampingatau menghalaunya dengan sabetan keris berwarna keemasan miliknya.

Namun, beberapa anak panah yang dilepaskan pasukan pemanah Yasodana berhasil bersarang di beberapa bagian tubuh pengawal perempuan itu. Bahkan tiga ksatria diantaranya harus gugur bersimbah darah, dengan lengan masih menggenggam tombak. Di tengah kekacauan itu, Camaraditya bersama dua orang ksatria yang lain berhasil memotong tali yang menambatkan kapal tersebut. Yasodana sendiri hanya membawa perbekalan seadanya, sehingga tidak butuh waktu lama bagi hujan panah yang ditembakkan orang-orangnya berhenti karena kehabisan anak panah.

Mengetahui keadaan aman dari hujan panah, wiracaya perempuan bertopeng gagak lalu bergerak dengan lincah mengembangkan layar kapal. Setelah layar kapal pun mengembang, Camaraditya dan ksatria rekan-rekannya kemudian mendorong kapal menjauhi pantai. Kapal itu pun bergerak perlahan-lahan menjauhi pantai dengan diikuti Camaraditya serta pengawal lainnya yang masih tersisa.

Hanya empat orang ksatria dan tiga orang wiracaya yang tersisa mengawal perempuan itu. Empat orang ksatria dan seorang wiracaya bernama Camaraditya berada persis di belakang kapal dengan air laut yang mencapai dada mereka. Sementara, perempuan itu dan dua orang wiracaya pengawalnya yang kesemuanya perempuan, sudah berada di atas kapal.

Orang-orang Yasodana yang bersenjatakan pedang dan tombak sudah kembali mengejar kapal mereka. Kali ini mereka dipimpin oleh sang ksatria bermata hijau, Yasodana memerintahkannya mengejar perempuan itu sambil membawa pasukan yang tersisa.

”Ayo Camaraditya.” Kata perempuan itu sambil menjulurkan lengan pada wiracaya itu dan beberapa ksatria yang

lain.

Alih-alih meraih lengan untuk naik ke atas kapal, Camaraditya dan beberapa ksatria yang tersisa hanya saling memandang lalu tersenyum sendu penuh arti. Satu dan dua orang ksatria bahkan tertawa lepas sambil menampakkan gigi mereka.

”Kalian bertiga hiduplah...” Kata Camaraditya sambil mendorong kapal itu sekuat tenaga bersama para ksatria rekan seperjuangannya. Kapal itu pun semakin menjauh dari pantai dan menuju lautan lepas tepat sebelum sebuah anak panah dari busur Yasodana menancap di  tubuh renta Camaraditya dan mengenai jantungnya. Empat ksatria yang tersisa kemudian meninggalkan kapal lalu menyambut pasukan musuh yang dipimpin sang ksatria bermata hijau dengan gagah berani.

Kapal itu pun berlayar, mengangkut perempuan itu dan dua orang wiracaya, diiringi kematian beberapa orang ksatria  yang bertarung hingga nafas terakhir . Panah, tombak dan sumpah serapah dilemparkan para pengikut Yasodana di udara, mengiringi pelarian mereka bertiga menuju laut lepas. Matahari menyingsing dari arah timur memberikan cahaya keemasannya pada pasir pantai yang memerah karena darah sisa-sisa pertempuran.

Air laut yang semula berwarna kehitaman karena ditelan pekatnya malam perlahan namun pasti menjadi biru dan merah bercampur darah dengan riak-riak yang mengantar kepergian perempuan itu serta dua orang wiracaya pengawalnya. Suara ombak membuncah menerjang kapal itu, menimbulkan riak dan debur yang membungkam tangis perempuan itu. Ia menangis meronta-ronta seakan-akan ingin menyusul Camaraditya. Kedua wiracaya pengawalnya pun berusaha menenangkan perempuan itu, namun apa yang dilakukan mereka tidak bisa berbuat banyak dalam meredakan kesedihannya kehilangan Camaraditya.

Camaraditya pengawal, guru, sekaligus pengasuhnya yang paling bijaksana dan paling mendekati sosok

orang tua bagi perempuan itu. Camaraditya juga salah orang yang merawat perempuan itu sejak kecil hingga dewasa.  Segala kenangan tentang Camaraditya pun mulai mengalir dalam benak perempuan itu. Sepanjang ingatannya, Camaraditya selalu ada untuknya. Mengajarkan perempuan membaca dan menulis, mengajarkan seni bela diri, panahan, berkuda hingga sastra.

Sejak kecil Camaraditya juga selalu menemaninya bermain permainan yang seharusnya dilakukan anak laki-laki seperti bermain layang-layang, gasing atau mencari ikan di sungai. Camaraditya-lah yang  memberikan nasehat pada saat perempuan itu tumbuh dewasa  dan juga selalu setia mendengarkan curahan perasaannya. Bagi perempuan itu, Camaraditya sudah seperti ayah yang mendidik dengan tulus serta menjaganya dengan taruhan nyawanya sendiri. Matahari di awal hari itu menjadi saksi kesedihan perempuan itu kehilangan salah satu orang yang cukup berarti baginya.

 

 

Keterangan :

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kawaca : Baju pelindung berbentuk seperti tabung panjang dan terbuat dari tembaga yang dicetak. Menurut

catatan kronik Tiongkok, kebanyakan tempur barisan Majapahit adalah  infantri ringan, namun catatan tersebut menyatakan bila barisan tempur  Majapahit pun ternyata menggunakan zirah tempur tergantung status

kepangkatan. Mulai dari pelindung dada (ches plate armor) sampai chain  mail dan berbagai bentuk zirah lain yang rumit. Untuk para perwira dan  kalangan bangsawan maka baju zirah akan semakin rumit sedangkan untuk

prajurit terendah akan bertelanjang dada. Dalam kakawin dan kidung, pakaian perang yang digunakan para prajurit di Jawa pada masa lalu, banyak teks di dalamnya. Pakaian perang tersebut  dibedakan dalam 3 jenis. Waju Rante ‘baju yang terdiri atas  rantai-rantai besi’, [Kidung: KR (7.31), (7.107)]. Kawaca ‘baju baja’,  [Kakawin: Ad (202), BhP (135), RY (3.42), AW (7.6), HW (32.8), BK  (3.11), KY (46.4), HWj (42.9), KD (15.7). Kidung: Mal (5.88), Ww

(2.54)]. Dan Karambalangan ‘lapis logam di depan dada’, [Kakawin: HWj  (5.64). Kidung: KR (11.97), Mal (6.90)].

Sumber :

https://narasinews.com/zirah-abad-pertengahan-di-jawa/

https://www.wikiwand.com/id/Majapahit

 

 

 

Dwarapala :  patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa dan Buddha, berbentuk manusia atau monster. Biasanya dwarapala diletakkan di luar candi, kuil atau bangunan lain untuk melindungi tempat suci atau tempat  keramat di dalamnya. Dwarapala biasanya digambarkan sebagai makhluk yang menyeramkan. Bergantung pada kemakmuran suatu kuil, jumlah arca  dwarapala dapat hanya sendirian, sepasang, atau berkelompok.

Dwarapala terbesar di Jawa terdapat di Singosari terbuat dari batu andesit utuh setinggi 3,7 meter. Di Pulau Jawa dan Bali arca dwarapala biasanya diukir dari batu andesit, berperawakan gemuk  dan digambarkan dalam posisi tubuh setengah berlutut, menggenggam  senjata gada. Sedangkan dwarapala di Kamboja dan Thailand memiliki perawakan tubuh lebih langsing dengan posisi tubuh tegak lurus memegang gada di tengah tepat di antara kedua kakinya. Patung dwarapala di Thailand dibuat dari tembikar tanah liat yang dilapisi glazur pucat  susu. Patung seperti ini dibuat pada masa Kerajaan Sukhothai dan Ayutthaya (abad ke-14 hingga ke-15) diproduksi oleh beberapa tempat pembakaran tembikar di Thailand utara.

Bangunan suci yang kecil biasanya memiliki hanya satu arca  Dwarapala. Sering kali dwarapala diletakkan berpasangan di antara  gerbang masuk. beberapa situs bangunan suci yang lebih besar memiliki  empat, delapan, bahkan dua belas arca dwarapala yang menjaga empat  penjuru mata angin sebagai Lokapala, dewa penjaga empat atau delapan penjuru mata angin. Dalam budaya Jawa, dwarapala dijadikan figur penjaga keraton, misalnya dapat ditemukan di gerbang masuk Keraton Yogyakarta dan gerbang Kamandungan Lor Keraton Surakarta.

 

 

 

 

Sumber :

https://id.wikipedia.org/wiki/Dwarapala

 

 

 

 

Terpopuler

Comments

VLav

VLav

waahh karya yang cakep, episode awal sudah padat dan penjabarannya detail
salam dari keluarga besar arsgaf

2022-12-20

1

Risfa

Risfa

Hadir ka

2022-12-19

0

Hanum Anindya

Hanum Anindya

wow ceritanya bangus banget kak. aku udah kasih bintang lima, vote, bunga, like, sukses selalu kak. semoga berkah dan bermanfaat.

jarang banget novel mengangkat dari kisah kisah sejarah. lanjutkan kak💪👍😊

2022-12-19

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 1. Delapan Pusaka
3 2. Ganti Rugi
4 3. Tendangan Melawan Tendangan
5 4. Celeng Geni
6 5. Anak Bupati
7 6. Murid Durhaka
8 7. Ranggaseta si Tombak Darah
9 8. Keris Tanpa Bilah
10 9. Kembang Api
11 10. Dendam Para Pengkhianat
12 11. Menggiring Cakiya
13 12. Lolos dari Belenggu
14 13. Cakiya Bertemu Baruna
15 14. Menirukan Jurus Lawan
16 15. Racun
17 16. Ksatria Bermata Zamrud
18 17. Junjungan yang Rendah Hati
19 18. Tombak Kyai Pralananta
20 19. Hukuman
21 20. Panggil Namaku
22 21. Akibat Perbuatan di Masa Lalu
23 22. Raung Ledakan
24 23. Perguruan Harimau Matahari
25 24. Amarah Dua Pendekar
26 25. Naga Sungai Melayang di Kolam Arwah
27 26. Tongkat yang Bernyanyi
28 27. Tangis Setelah Nyanyian
29 28. Para Harimau Terlelap.
30 29. Tujuan
31 30. Cara Bertahan Hidup
32 31. Senjata Misterius
33 32. Kutukan Kolam Darah
34 33. Wujud Asli
35 34. Hutan Pedang
36 35. Keris Garudayana
37 36. Pedang Garudayana
38 37. Ajian Ringin Rusa
39 38. Serangga Menghampiri Api
40 39. Langkah Sunyi Bangau Putih
41 40. Pohon Bodhi
42 41. Burung Hantu dan Ajian Lebur Saketi
43 42. Tenunan Jaring Laba-laba
44 43. Mata Harimau
45 44. Nafas Naga
46 45. Sengat Lebah
47 46. Kupu-Kupu Lincah
48 47. Bukan Singa atau Harimau
49 48. Serigala Angin
50 49. Kalah Karena Ikan.
51 50. Gajah dan Babi Hutan
52 51. Mulut Manis Kerbau Pemarah
53 52. Elang, Bangau, Gagak & Burung Hantu
54 53. Perang Dua Puluh Satu Hari
55 54. Satu-satunya yang Tersisa
56 55. Perisai Pelindung
57 56. Perdikan
58 57. Dua Senjata Pusaka Suci
59 58. Keputusan Nawaruni
60 59. Wadilaka
61 60. Obrolan Sebelum Tidur
62 61. Daun Tertiup Angin
63 62. Judi Sabung Ayam
64 63. Golongan Hitam dan Putih
65 64. Pemimpin Golongan Hitam
66 65. Juru Antar
67 66. Para Penunggang
68 67. Raden Tumenggung Aji Angsana
69 68. Lima Ratus Keping Emas
70 69. Ajian dan Pusaka
71 70. Debu dan Asap
72 71. Lari
73 72. Di Balik Batu
74 73. Tongkat Bulan Menggebuk Macan
75 74. Para Harimau Terperangkap Siasat
76 75. Nafas Bara Api Harimau Matahari
77 76. Keahlian Cakiya
78 77. Nafas Api Emas Harimau Matahari
79 78. Neraka dan Gunung Harimau
80 79. Harimau Memuntahkan Bola-Bola Api
81 80. Srigunting Putih Mematuk Harimau
82 81. Lima Matahari Emas
83 82. Menggebuk Delapan Harimau
84 83. Auman Harimau Mengoyak Bayangan
85 84. Auman Perang Harimau Matahari
86 85. Serigala Angin dan Harimau Matahari
87 86. Satu Wiracaya dan Tiga Pendekar
88 87. Akar Baja Mencambuk Harimau
89 88. Jejak Langkah
90 89. Kesepakatan dan Aroma Jiwa
91 90. Tapak Sisik Besi Ular Hitam
92 91. Pemburu yang Diburu
93 92. Langkah Seribu Para Harimau
94 93. Basikan
95 94. Ajian Setri Durbiksa
96 95. Baruna dan Nawaruni
97 96. Bangsawan Kota Raja di Basikan
98 97. Kunjungan Misterius
99 98. Sura Kenanga
100 99. Kaum Lentera Pengetahuan
101 100. Keadilan Bagi Hansa
102 101. Hansa Wismawa dan Sekar Lembayung
103 102. Dari Mata Si Hujan Berkat
104 103.Tuduhan Membuat Kekacauan
105 104. Para Saksi yang Meragukan
106 105. Menuju Penjara
107 106. Mencari Hansa
108 107. Bersama Kyai Langgamsurta dan Sekar Lembayung
109 108. Pesta
110 109. Menyiapkan Drama Persidangan
111 110. Sidang Kedua Hansa Wismawa
112 111. Mata Angsa yang Bercahaya
113 112.Keris Kyai Dasa Windraya
114 113. Trisula Kyai Arnawa
115 114. Pedang Ganda dan Tombak Putih
116 115. Naga Awan dan Tombak Biru Laut
117 116. Nawaruni Sokyawiya
118 117. Unggas Melawan Naga Laut
119 118. Pembangkangan Dyaraksa
120 119. Demi Keluarga
121 120. Badai Api
122 121. Mulut Penuh Tanah
123 122. Rapat Gelap
124 123. Air Mata Hansa Wismawa
125 124. Di Sekitar Gapura
126 125. Sembilan Orang
127 126. Gajah Awan Menusukkan Tombak
128 127. Karma Dilyawara
129 128. Dilarang untuk Mati.
130 129. Bayaran
131 130. Tiga Pemabuk
132 131. Burung Pemangsa
133 132. Mahisa Menunggu Perintah
134 133. Seekor Anjing Hitam
135 134. Wanita Penuh Bekas Luka
136 135. Kegelisahan Mahisa
137 136. Enam Harimau Merah
138 137. Enam Singgasana
139 138. Bayangan Bermahkota Duri
140 139. Cermin Berbingkai Emas
141 140. Serpihan Masa Lalu Mahisa
142 141. Dendam Seperti Racun
143 142. Amarah Semakin Pekat
144 143. Pengkhianatan Iblis Bermuka Pucat
145 144. Sore yang Kelam di Lamunarta
146 145. Baratadya dan Jaka Wisa
147 146. Kehebatan Nenek Nuryi dan Ki Atwani
148 147. Kematian Adiwardhana
149 148. Dua Ular Raksasa
150 149. Amarah Widyata
151 150. Menyelaraskan Jiwa
152 151. Keputusan Widyata
153 152. Api Unggun Biru
154 153. Tinju Berhias Api Biru
155 154. Melompat dan Menjatuhkan Diri
156 155. Beradu Jurus Pukulan Celeng Geni Menghantam Bara Api
157 156. Suku Raksasa Paruh Hitam
158 157. Zirah Sisik dan Pedang Batu
159 158. Si Tapak Kucing
160 159. Taring dan Cakar Suku Raksasa Paruh Hitam
161 160. Tumbal Marga Sokyawiya
162 161. Menghilangnya Cakiya
163 162. Sayap-Sayap Patah
164 163. Simbol Ular Perak
165 164. Anak Panah Misterius
166 165. Martir Pembawa Pesan
167 166. Jaganastra dan Alap-alap Biru
168 167. Cerita Enam Suku
169 168. Si Kembar dan Aji Angsana
170 169. Kematian Aji Angsana
171 170. Salyaraka dan Sedyaraka dari Perguruan Harimau Bulan
172 171. Ajian Kijang Apuran dan Senjata dari Embun Beku.
173 172. Darah Pendekar Haus Darah
174 173. Obrolan Dua Pendekar dari Dua Zaman
175 174. Perubahan Zaman yang Mengejutkan
176 175. Kemampuan Berbahaya Cakiya
177 176. Ajian Dawala Tiwikrama
178 177. Kekuatan Dua Raksasa Putih
179 178. Raksasa Putih Melawan Bocah Rambut Merah
180 179. Taktik Cakiya Melumpuhkan Sedyaraka
181 180. Akhir Pertarungan Melawan Si Kembar
182 181. Langit-langit Kayu
183 182. Ketua Suku Raksasa Sayap Hitam
184 183. Tandu Langit
185 184. Naga Bumi dan Anak Sulung
186 185. Harimau Bertemu Hiu dan Angsa.
187 186. Cerita Sedih Dyaraksa
188 187. Kejanggalan Kasus Dyaraksa
189 188. Surat-Surat
190 189. Harimau Tombak dan Harimau Pedang Kembar
191 190. Dendam Para Jawara pada Mahisa.
192 191.Busur Silang Tersembunyi.
193 192. Panah dan Amarah
194 193. Awan Karana
195 194. Perubahan Liar dan Harimau Matahari
196 195. Naga Bintang Melawan Harimau Matahari
197 196. Taktik Dyaraksa
198 197. Tukang Judi Sabung Ayam Jadi Pejabat
199 198. Mantra dan Bahan Peledak.
200 199. Jurus Rahasia Perguruan Harimau Matahari
201 200. Akhir Pertempuran di Gang Tikus
202 201. Perubahan Liar Senaraksa
203 202. Rumah Seorang Teman.
204 203. Pedagang Rempah-rempah
205 204. Saudara Seperguruan Kyai Langgamsurta
206 205. Tungku Bulus Anawa
207 206. Ayah yang Mencemaskan Anak
208 207. Pedati dan Tong Kayu
209 208. Arak dan Penjaga Gerbang Kota
210 209. Jangkrik Emas
211 210. Makam Raksasa
212 211. Rudra Arutala Sang Serigala
213 212. Aqni Samaja Sang Gajah
214 213. Pertarungan di Ruang Jiwa-Jiwa
215 214. Suara di Dalam Benak
216 215. Api Perak
217 216. Mimpi Buruk Cakiya.
218 217. Kisah Ksatria dan Si Anak Sulung
219 218. Pusaka Singa Kencana Arkananta
220 219. Pangeran dari Marga Simachandra
221 220. Bangsawan yang Pintar
222 221. Recamadya Anala.
223 222. Wanita dengan Mulut Berbisa.
224 223. Penguasa Harimau
225 224. Serangan Kilat Cakiya.
226 225. Harimau dan Tiga Perempuan
227 226. Wujud Sejati Pusaka Tira Cempaka
228 227. Kaum Jelata
229 228. Rusuk yang Tertusuk Ranting.
230 229. Wujud Sejati yang Terurai
231 230. Siasat Terakhir Tira Cempaka
232 Pengumuman
233 231. Busur Cincin Ungu
234 232. Baruna dan Recamadya Anala
235 233. Rahasia dari Recamadya Anala
236 234. Perubahan Liar Recamadya Anala
237 235. Pertarungan Dua Serigala
238 236. Dua Serigala Beradu Taring
239 237. Rahasia Bangsa Cakar Perak
240 238. Dua Serigala Mengamati Ayam Jantan
241 239. Keris Adwikara Simachandra
242 240. Menjejak Setengah Kekalahan
243 Pengumuman
244 241. Bayangan Membara dan Cincin Taring Putih.
245 242. Baruna, Sumber Kegelapan di Hati
246 243. Dua Harimau dan Ayam Berbulu Merah
247 244. Ujian Pewaris Pusaka
248 245. Lebih Seperti Budak dan Majikan
249 246. Menghalau Serangan dengan Satu Lengan
250 247. Ular dan Bangau Mematuk Dua Ekor Harimau
251 248. Telapak Ular Hitam Bersisik Api Perak.
252 249. Jurus Terlarang Harimau Bulan
253 250. Api Beku
254 251. Matinya Pewaris Adwikara Simachandra
255 252. Hembusan Obat dan Rempah
256 253. Kegelisahan dari Orang Asing
257 254. Taring Beku Pusaka Simachandra
Episodes

Updated 257 Episodes

1
Prolog
2
1. Delapan Pusaka
3
2. Ganti Rugi
4
3. Tendangan Melawan Tendangan
5
4. Celeng Geni
6
5. Anak Bupati
7
6. Murid Durhaka
8
7. Ranggaseta si Tombak Darah
9
8. Keris Tanpa Bilah
10
9. Kembang Api
11
10. Dendam Para Pengkhianat
12
11. Menggiring Cakiya
13
12. Lolos dari Belenggu
14
13. Cakiya Bertemu Baruna
15
14. Menirukan Jurus Lawan
16
15. Racun
17
16. Ksatria Bermata Zamrud
18
17. Junjungan yang Rendah Hati
19
18. Tombak Kyai Pralananta
20
19. Hukuman
21
20. Panggil Namaku
22
21. Akibat Perbuatan di Masa Lalu
23
22. Raung Ledakan
24
23. Perguruan Harimau Matahari
25
24. Amarah Dua Pendekar
26
25. Naga Sungai Melayang di Kolam Arwah
27
26. Tongkat yang Bernyanyi
28
27. Tangis Setelah Nyanyian
29
28. Para Harimau Terlelap.
30
29. Tujuan
31
30. Cara Bertahan Hidup
32
31. Senjata Misterius
33
32. Kutukan Kolam Darah
34
33. Wujud Asli
35
34. Hutan Pedang
36
35. Keris Garudayana
37
36. Pedang Garudayana
38
37. Ajian Ringin Rusa
39
38. Serangga Menghampiri Api
40
39. Langkah Sunyi Bangau Putih
41
40. Pohon Bodhi
42
41. Burung Hantu dan Ajian Lebur Saketi
43
42. Tenunan Jaring Laba-laba
44
43. Mata Harimau
45
44. Nafas Naga
46
45. Sengat Lebah
47
46. Kupu-Kupu Lincah
48
47. Bukan Singa atau Harimau
49
48. Serigala Angin
50
49. Kalah Karena Ikan.
51
50. Gajah dan Babi Hutan
52
51. Mulut Manis Kerbau Pemarah
53
52. Elang, Bangau, Gagak & Burung Hantu
54
53. Perang Dua Puluh Satu Hari
55
54. Satu-satunya yang Tersisa
56
55. Perisai Pelindung
57
56. Perdikan
58
57. Dua Senjata Pusaka Suci
59
58. Keputusan Nawaruni
60
59. Wadilaka
61
60. Obrolan Sebelum Tidur
62
61. Daun Tertiup Angin
63
62. Judi Sabung Ayam
64
63. Golongan Hitam dan Putih
65
64. Pemimpin Golongan Hitam
66
65. Juru Antar
67
66. Para Penunggang
68
67. Raden Tumenggung Aji Angsana
69
68. Lima Ratus Keping Emas
70
69. Ajian dan Pusaka
71
70. Debu dan Asap
72
71. Lari
73
72. Di Balik Batu
74
73. Tongkat Bulan Menggebuk Macan
75
74. Para Harimau Terperangkap Siasat
76
75. Nafas Bara Api Harimau Matahari
77
76. Keahlian Cakiya
78
77. Nafas Api Emas Harimau Matahari
79
78. Neraka dan Gunung Harimau
80
79. Harimau Memuntahkan Bola-Bola Api
81
80. Srigunting Putih Mematuk Harimau
82
81. Lima Matahari Emas
83
82. Menggebuk Delapan Harimau
84
83. Auman Harimau Mengoyak Bayangan
85
84. Auman Perang Harimau Matahari
86
85. Serigala Angin dan Harimau Matahari
87
86. Satu Wiracaya dan Tiga Pendekar
88
87. Akar Baja Mencambuk Harimau
89
88. Jejak Langkah
90
89. Kesepakatan dan Aroma Jiwa
91
90. Tapak Sisik Besi Ular Hitam
92
91. Pemburu yang Diburu
93
92. Langkah Seribu Para Harimau
94
93. Basikan
95
94. Ajian Setri Durbiksa
96
95. Baruna dan Nawaruni
97
96. Bangsawan Kota Raja di Basikan
98
97. Kunjungan Misterius
99
98. Sura Kenanga
100
99. Kaum Lentera Pengetahuan
101
100. Keadilan Bagi Hansa
102
101. Hansa Wismawa dan Sekar Lembayung
103
102. Dari Mata Si Hujan Berkat
104
103.Tuduhan Membuat Kekacauan
105
104. Para Saksi yang Meragukan
106
105. Menuju Penjara
107
106. Mencari Hansa
108
107. Bersama Kyai Langgamsurta dan Sekar Lembayung
109
108. Pesta
110
109. Menyiapkan Drama Persidangan
111
110. Sidang Kedua Hansa Wismawa
112
111. Mata Angsa yang Bercahaya
113
112.Keris Kyai Dasa Windraya
114
113. Trisula Kyai Arnawa
115
114. Pedang Ganda dan Tombak Putih
116
115. Naga Awan dan Tombak Biru Laut
117
116. Nawaruni Sokyawiya
118
117. Unggas Melawan Naga Laut
119
118. Pembangkangan Dyaraksa
120
119. Demi Keluarga
121
120. Badai Api
122
121. Mulut Penuh Tanah
123
122. Rapat Gelap
124
123. Air Mata Hansa Wismawa
125
124. Di Sekitar Gapura
126
125. Sembilan Orang
127
126. Gajah Awan Menusukkan Tombak
128
127. Karma Dilyawara
129
128. Dilarang untuk Mati.
130
129. Bayaran
131
130. Tiga Pemabuk
132
131. Burung Pemangsa
133
132. Mahisa Menunggu Perintah
134
133. Seekor Anjing Hitam
135
134. Wanita Penuh Bekas Luka
136
135. Kegelisahan Mahisa
137
136. Enam Harimau Merah
138
137. Enam Singgasana
139
138. Bayangan Bermahkota Duri
140
139. Cermin Berbingkai Emas
141
140. Serpihan Masa Lalu Mahisa
142
141. Dendam Seperti Racun
143
142. Amarah Semakin Pekat
144
143. Pengkhianatan Iblis Bermuka Pucat
145
144. Sore yang Kelam di Lamunarta
146
145. Baratadya dan Jaka Wisa
147
146. Kehebatan Nenek Nuryi dan Ki Atwani
148
147. Kematian Adiwardhana
149
148. Dua Ular Raksasa
150
149. Amarah Widyata
151
150. Menyelaraskan Jiwa
152
151. Keputusan Widyata
153
152. Api Unggun Biru
154
153. Tinju Berhias Api Biru
155
154. Melompat dan Menjatuhkan Diri
156
155. Beradu Jurus Pukulan Celeng Geni Menghantam Bara Api
157
156. Suku Raksasa Paruh Hitam
158
157. Zirah Sisik dan Pedang Batu
159
158. Si Tapak Kucing
160
159. Taring dan Cakar Suku Raksasa Paruh Hitam
161
160. Tumbal Marga Sokyawiya
162
161. Menghilangnya Cakiya
163
162. Sayap-Sayap Patah
164
163. Simbol Ular Perak
165
164. Anak Panah Misterius
166
165. Martir Pembawa Pesan
167
166. Jaganastra dan Alap-alap Biru
168
167. Cerita Enam Suku
169
168. Si Kembar dan Aji Angsana
170
169. Kematian Aji Angsana
171
170. Salyaraka dan Sedyaraka dari Perguruan Harimau Bulan
172
171. Ajian Kijang Apuran dan Senjata dari Embun Beku.
173
172. Darah Pendekar Haus Darah
174
173. Obrolan Dua Pendekar dari Dua Zaman
175
174. Perubahan Zaman yang Mengejutkan
176
175. Kemampuan Berbahaya Cakiya
177
176. Ajian Dawala Tiwikrama
178
177. Kekuatan Dua Raksasa Putih
179
178. Raksasa Putih Melawan Bocah Rambut Merah
180
179. Taktik Cakiya Melumpuhkan Sedyaraka
181
180. Akhir Pertarungan Melawan Si Kembar
182
181. Langit-langit Kayu
183
182. Ketua Suku Raksasa Sayap Hitam
184
183. Tandu Langit
185
184. Naga Bumi dan Anak Sulung
186
185. Harimau Bertemu Hiu dan Angsa.
187
186. Cerita Sedih Dyaraksa
188
187. Kejanggalan Kasus Dyaraksa
189
188. Surat-Surat
190
189. Harimau Tombak dan Harimau Pedang Kembar
191
190. Dendam Para Jawara pada Mahisa.
192
191.Busur Silang Tersembunyi.
193
192. Panah dan Amarah
194
193. Awan Karana
195
194. Perubahan Liar dan Harimau Matahari
196
195. Naga Bintang Melawan Harimau Matahari
197
196. Taktik Dyaraksa
198
197. Tukang Judi Sabung Ayam Jadi Pejabat
199
198. Mantra dan Bahan Peledak.
200
199. Jurus Rahasia Perguruan Harimau Matahari
201
200. Akhir Pertempuran di Gang Tikus
202
201. Perubahan Liar Senaraksa
203
202. Rumah Seorang Teman.
204
203. Pedagang Rempah-rempah
205
204. Saudara Seperguruan Kyai Langgamsurta
206
205. Tungku Bulus Anawa
207
206. Ayah yang Mencemaskan Anak
208
207. Pedati dan Tong Kayu
209
208. Arak dan Penjaga Gerbang Kota
210
209. Jangkrik Emas
211
210. Makam Raksasa
212
211. Rudra Arutala Sang Serigala
213
212. Aqni Samaja Sang Gajah
214
213. Pertarungan di Ruang Jiwa-Jiwa
215
214. Suara di Dalam Benak
216
215. Api Perak
217
216. Mimpi Buruk Cakiya.
218
217. Kisah Ksatria dan Si Anak Sulung
219
218. Pusaka Singa Kencana Arkananta
220
219. Pangeran dari Marga Simachandra
221
220. Bangsawan yang Pintar
222
221. Recamadya Anala.
223
222. Wanita dengan Mulut Berbisa.
224
223. Penguasa Harimau
225
224. Serangan Kilat Cakiya.
226
225. Harimau dan Tiga Perempuan
227
226. Wujud Sejati Pusaka Tira Cempaka
228
227. Kaum Jelata
229
228. Rusuk yang Tertusuk Ranting.
230
229. Wujud Sejati yang Terurai
231
230. Siasat Terakhir Tira Cempaka
232
Pengumuman
233
231. Busur Cincin Ungu
234
232. Baruna dan Recamadya Anala
235
233. Rahasia dari Recamadya Anala
236
234. Perubahan Liar Recamadya Anala
237
235. Pertarungan Dua Serigala
238
236. Dua Serigala Beradu Taring
239
237. Rahasia Bangsa Cakar Perak
240
238. Dua Serigala Mengamati Ayam Jantan
241
239. Keris Adwikara Simachandra
242
240. Menjejak Setengah Kekalahan
243
Pengumuman
244
241. Bayangan Membara dan Cincin Taring Putih.
245
242. Baruna, Sumber Kegelapan di Hati
246
243. Dua Harimau dan Ayam Berbulu Merah
247
244. Ujian Pewaris Pusaka
248
245. Lebih Seperti Budak dan Majikan
249
246. Menghalau Serangan dengan Satu Lengan
250
247. Ular dan Bangau Mematuk Dua Ekor Harimau
251
248. Telapak Ular Hitam Bersisik Api Perak.
252
249. Jurus Terlarang Harimau Bulan
253
250. Api Beku
254
251. Matinya Pewaris Adwikara Simachandra
255
252. Hembusan Obat dan Rempah
256
253. Kegelisahan dari Orang Asing
257
254. Taring Beku Pusaka Simachandra

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!