Delapan Pusaka : Amarah Harimau
Cerita ini hanya fiktif belaka.
Jika ada kesamaan nama tokoh,
tempat kejadian ataupun cerita,
itu adalah kebetulan semata dan
tidak ada unsur kesengajaan.
Cahaya bulan mulai merayap malu-malu menimpa debur ombak menari-nari dan yang berbuih ditiup angin yang berhembus dari daratan. Udara dingin mengerat tulang berhembus dengan liarnya membuat siapa pun yang terkena olehnya menggigil kedinginan. Namun, dinginnya udara pantai malam itu tidak berarti apa-apa bagi orang-orang di tempat itu.
Mereka rombongan yang terdiri dari empat belas orang, empat diantaranya perempuan, dan sisanya adalah para lelaki. Mereka tetap berjalan lincah di antara pasir dan ombak yang bergulung-gulung. Nafas mereka terlihat memburu, sorot mata mereka penuh dengan kewaspadaan dan langkah-langkah mereka yang makin lama semakin cepat hingga mereka berlari di atas ombak dan pasir. Tujuan mereka adalah obor yang menyala-nyala ujung pantai dimana jaraknya hanya tinggal beberapa ratus meter lagi.
Pemimpin dari mereka adalah seorang perempuan yang terlihat berusia awal dua puluhan. Tubuhnya yang ramping dibalut pakaian lengan panjang hijau muda yang terbuat dari sutra. Tubuh perempuan itu paling mungil, namun gerakannya paling lincah serta paling memiliki kharisma di antara yang lain. Rambutnya panjang sebahu diikat menggunakan sisir dari kayu dengan motif awan. Kulitnya seputih pualam dengan wajah bulat dan mata sedikit sipit berwarna bening kehitaman. Kedua matanya memiliki sorot mata penuh kewaspadaan, sekaligus juga menyimpan kelembutan.
Perempuan itu memiliki bibir tipis berwarna jingga yang dihiasi hidung mungil serta alis melengkung yang indah hingga kecantikannya terlihat sempurna sekalipun pada saat berlari di tengah gelapnya malam. Saat ia mengambil nafas, deretan gigi putih yang tidak rata menghiasi bibir mungilnya.
Sedangkan delapan orang pengikutnya laki-laki dalam rombongan itu mengenakan *kawaca*, baju pelindung terbuat dari baja yang terdiri dari pelindung bahu, pelindung lengan dan juga pelindung dada yang terjalin menjadi satu dengan pelindung punggung. Bahkan beberapa dari mereka juga mengenakan helm berbentuk kerucut. Mereka adalah ksatria*,kaum pendekar bersenjata yang mengabdi kepada junjungan mereka.
Selain itu, seorang orang laki-laki dan tiga orang perempuan mengenakan pakaian serba hitam dan memakai topeng berbentuk kepala binatang anjing, monyet dan burung gagak. Pelindung bahu, pelindung betis serta pelindung lengan mereka terbuat dari plat logam yang dijahit benang tembaga. Mereka adalah wiracaya. Wiracaya adalah sosok di balik bayangan yang bertugas sebagai pelindung atau melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan oleh junjungan mereka.
Berbeda dengan ksatria yang memegang teguh pertempuran dengan cara terhormat, wiracaya adalah pasukan telik sandi khusus yang bergerak diam-diam seperti bayangan dan akan melakukan apapun demi perintah atau imbalan. Dari membunuh musuh saat tidak waspada, menculik orang-orang terdekat musuh untuk dijadikan sandera, hingga menggunakan racun, sihir atau bahkan tipu muslihat.
“Kita sudah sampai.” Seru pimpinan rombongan itu.
Yang lain mengangguk, namun salah satu diantara mereka kemudian menyadari terdapat keganjilan dari rencana mereka .
“Di mana yang lain?” Kata salah satu ksatria laki-laki.
“Harusnya mereka menunggu di tempat ini.” Kata seorang wiracaya dengan topeng berbentuk kepala burung gagak. Suaranya terdengar seperti seorang perempuan muda.
Saat kebingungan melanda rombongan itu, dalam jarak beberapa ratus meter dari mereka, terlihat puluhan suluh tiba-tiba menyala. Rupanya rombongan tersebut telah dikepung oleh sekitar dua ratus prajurit ksatria lengkap dengan zirah rantai baja, tombak dan pedang. Beberapa puluh prajurit berkuda bersenjatakan panah di tempatkan di daerah yang lebih tinggi dari permukaan pantai.
Para prajurit itu mengenakan penanda dengan bendera hitam berlambangkan rusa putih bertanduk emas, sementara ada pula yang membawa bendera berwarna hijau bergambar tujuh koin emas. Mereka dipimpin oleh seorang laki-laki yang mengendarai kuda jantan berwarna kecoklatan. Ia laki-laki jangkung dengan tinggi sekitar seratus delapan puluh lima sentimeter dengan rambut hitam serta kulit kecoklatan terbakar sinar matahari.
“Apakah Anda mencari pengikut yang menunggu di pantai ini?” Tanya laki-laki itu pada perempuan muda pimpinan rombongan.
Perempuan muda tidak menjawab pertanyaan laki-laki itu, Ia jutru menggeram lalu mencabut senjata miliknya berupa keris serta pedang berwarna keemasan. “Yasodana.” Desis perempuan muda itu pada si laki-laki jangkung.
“Gusti Putri jangan menatapku dengan mata menakutkan seperti itu.” Yasodana tertawa. “Saat aku dan anak buahku tiba di sini, anak buah anda sudah tidak ada lagi di tempat ini.”
“Lalu apa tujuanmu kemari?” Tantang perempuan muda itu.
“Demi kedamaian Negera ini, para tetua Sapta Marga Bathara (Tujuh Klan Besar) yang mendukung Kerajaan serta atas nama Raja, saya di sini diperintahkan untuk mengamankan anda Gusti.” Yasodana
menunjuk bendera dengan lambang tujuh koin emas pada salah satu prajurit anak
buahnya.
Lambang tujuh koin emas sendiri merupakan bendera tujuh klan besar yang menguasai seluruh kerajaan. Hanya atas restu dan perintah tujuh klan besar, para pasukan berbendera tujuh koin emas ini bergerak. Pasukan kerajaan
rupanya bekerja sama dengan pasukan dari tujuh klan besar untuk berusaha menangkap perempuan dan yang lain.
“Jadi diriku sebagai perwakilan dari Sapta Marga Bathara yang dengan tulus berbagi beban dengan sang Raja, mengajukan diri untuk melenyapkan duri dalam daging yang ada di tubuh kerajaan kita dengan cara menggagalkan rencana para pengkhianatan.
“Jadi Raja ingin menangkapku?”
“Benar Gusti” Jawab Yasodana.
“Mustahil!?” Seru salah satu wiracaya tertua pengikut perempuan itu tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat mengetahui mereka semua akan melarikan diri melalui jalur laut. “Tidak ada satu pun di luar kelompok kita
yang mengetahui rencana ini.”
Yasodana tersenyum simpul kemudian berkata pada wiracaya tua tersebut. “Rupanya pengaruh usia membuat pikiranmu sungguh menjadi tumpul Camarditya.” Yasodana lalu bersiul panjang.
Dua orang pemuda bertubuh jangkung keluar dari balik bayangan malam ketika mendengar Yasodana bersiul. Pemuda pertama adalah seorang wiracaya yang mengenakan pakaian serba hitam dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan pelindung bahu dan pelindung lengan terbuat dari baja berlapis perak. Wajahnya tersembunyi dari kegelapan malam, karena dirinya mengenakan topeng merah berbentuk wajah dwarapala¸ iraksasa penjaga dengan wajah menyeramkan dan bersenjatakan gada.
Tanpa bersuara sedikit pun, wiracaya bertopeng itu hanya berdiri menunggu perintah selanjutnya dari Yasodana. Kedua tangannya sama sekali tidak terlihat menggenggam senjata, tapi dari balik tubuhnya tersimpan belasan jenis senjata rahasia yang mematikan. Meski wiracaya itu tidak melakukan apapun, hawa membunuh serta nafsu haus darah seakan-akan menggelegak keluar dari balik topengnya.
Perempuan itu serta para pengawalnya itu mengenal orang ini sebagai sosok dimana kesetiaannya berbanding lurus dengan kemampuannya yang menakutkan kawan atau pun lawan. Ia adalah Ranendra Haridra, pemimpin dari keluarga Haridra yang mengabdi pada keluarga Yasodana.
Sedangkan pemuda kedua yang berada disamping wiracaya bertopeng dwarapala adalah sosok yang begitu dikenal oleh perempuan itu dan pengawalnya. Pemuda itu memiliki dua bola mata hijau terang yang menatap perempuan itu dan orang-orang yang melindunginya dengan tatapan setajam pedang. Hidungnya besar mancung dan sedikit bengkok hingga berbentuk paruh burung elang bertengger di wajahnya yang dingin dan keras seperti batu karang di lautan.
Sepasang alis tebal yang tumbuh tidak beraturan semakin menegaskan kesan liar darinya. Kulitnya sepucat mayat serta rambut sebahu kecoklatan dibiarkan terurai. Pakaian pemuda bermata hijau itu berwarna hitam dengan ikat pinggang terbuat dari kulit serigala. Sepasang pelindung terbuat dari baja berlapis perak di mana masing-masing pelat pelindung itu memiliki berat sekitar tiga kilogram tergantung di pundak, lengan serta lututnya. Meski pemuda bermata hijau tersebut tidak banyak bicara, sosoknya menyimpan kebuasan seperti binatang buas yang bersembunyi dan siap menerkam mangsa.
Melihat dua orang itu keluar dari persembunyian setelah diberi tanda, Yasodana lalu menepuk-nepuk pundak pemuda bermata hijau, lalu sambil tersenyum puas Ia berkata.
“Karena jasamu, mulai hari ini dirimu menjadi orang yang baru, dari seorang wiracaya menjadi seorang ksatria yang akan mengabdi pada junjunganmu, Panglima Mahijasatya Yasodana Yudhasira.” Yasodana mengambil keris berwarna hijau yang masih terbungkus nyaman dalam sarungnya lalu memberikannya pada pemuda itu. “Usai menangkap para pelarian ini, kita akan mengadakan upacara pengangkatanmu sebagai ksatria yang membawahi tiga puluh orang prajurit.”
Pemuda bermata hijau itu mengangguk pelan mendengar kata-kata Yasodana lalu melepaskan pelindung bahu, lengan serta lututnya satu persatu dan kemudian menerima keris berwarna hijau tersebut dengan penuh hormat. Pemuda itu kini menjadi seorang ksatria.
Perempuan itu terperangah untuk sesaat saat mengetahui pemuda bermata hijau yang awalnya seorang wiracaya itu diangkat menjadi seorang ksatria. Lalu, ekspresi perempuan itu dan para pengawalnya berubah dan suasana menjadi gaduh ketika mereka menyadari bahwa pemuda itu rupanya adalah orang yang memberitahukan rencana mereka pada Yasodana.
“Kau!” Camaraditya menghunuskan tombaknya dengan disapu perasaan amarah lalu mengacung-acungkan pada pemuda bermata hijau itu. Sumpah serapah kemudian dihamburkan dari mulut Camaraditya serta yang lainnya.
“Pengkhianat!”
“Iblis bermuka
pucat!”
“Terkutuklah semua keluargamu!”
“Anjing saja lebih setia darimu!”
Para pengawal perempuan itu menghamburkan kata-kata kutukan paling mengerikan yang dapat diingat mereka pada ksatria bermata hijau itu. Hanya perempuan itu saja yang tidak bereaksi terlalu keras pada apa yang dilakukan Yasodana dan pemuda bermata hijau tersebut.
Dengan wajah sedih Perempuan itu mencoba beradu mata dengan ksatria bermata hijau tersebut, tetapi ksatria bermata hijau itu bersikap seolah-olah perempuan itu dan pengawalnya tidak ada di sana. Ekspresi wajah ksatria bermata hijau itu memperlihatkan kekosongan, seolah-olah pikirannya berada di tempat lain.
“Mengapa?” Tanya perempuan itu.
Dari nada suara perempuan itu yang bergetar, terdengar kebingungan bercampur kesedihan saat melihat apa yang dilakukan ksatria bermata hijau tersebut.
“Mengapa katamu?” Yasodana balas bertanya dengan nada merendahkan. “Harusnya aku yang bertanya demikian, mengapa orang sehebat dan seberbakat ini hanya menjadi bagian dari bayang-bayang dari kalian.”
“Lalu kau apakan teman kami yang lain!?” Raung salah satu pengawal itu pada Yasodana.
“Entahlah, anak itu berkata akan membereskan semuanya.” Kata Yasodana melirik ksatria bermata hijau. Yasodana lalu mengangkat lengannya ke udara memberi aba-aba kepada pasukannya.
Suara desing yang berasal dari ratusan anak panah yang meluncur merobek udara malam terdengar setelah Yasodana memberikan aba-aba. Namun, pengawal perempuan itu dengan sigap berhasil menghalau panah-panah itu. Hanya satu orang dari pengawal perempuan itu yang terserempet mata panah di bagian pundak. Para pemanah Yasodana gagal membereskan perempuan itu dan para pengawalnya. Melihat para pemanahnya gagal, Yasodana mengangkat lengannya di udara sekali lagi, tetapi dengan tangan terkepal.
“Kepung dan tangkap mereka,” Perintah Yasodana.
Hujan anak panah pun berhenti, para prajurit bersenjatakan tombak dan pedang segera mengepung perempuan itu dan para pengawalnya. Mereka berniat untuk menangkapnya hidup atau pun mati. Pertempuran tidak seimbang
antara tiga belas orang pelarian melawan ratusan prajurit bersenjata lengkap pun terjadi. Tetapi, tiga belas pengawal perempuan itu rupanya bukan orang sembarangan.
Beberapa dari mereka sudah mengangkat senjata serta turut dalam berbagai pertempuran sejak mereka memasuki upacara akil balig. Suara senjata beradu terdengar hingga beberapa kilometer jauhnya dari pantai. Sesekali salah satu wiracaya pengawal perempuan itu melemparkan uap beracun yang membuat musuh berpikir agar menjaga jarak dari mereka. Meski demikian, tiga belas orang tentu tidak sebanding dengan dua ratus orang prajurit. Sebuah tombak menembus lambung kiri ksatria muda, namanya Hripala, usianya baru lima belas tahun.
Perempuan itu kemudian berteriak murka saat tubuh Hripala jatuh bersimbah darah, tertelungkup di atas pasir dan ombak lalu tidak bergerak lagi. Meski diliputi perasaan marah dan sedih, perempuan itu berusaha mengendalikan diri dan tetap bertempur dengan kepala dingin. Sebab menurutnya, dalam situasi yang genting, amarah hanya akan membuat salah langkah dan membawa dirinya serta para pengawalnya pada situasi yang lebih buruk.
Dengan darah bercampur keringat, perempuan itu beserta pengawalnya pun mati-matian menerobos kepungan musuh sambil bergerak menuju tempat yang tidak jauh dari obor yang menjadi petunjuk mereka, yaitu bagian bibir pantai yang telah ditandai dengan beberapa pasak besi yang tersembunyi dengan baik.
Ketika perempuan itu dan pengawalnya telah menginjakkan kaki di tempat yang telah ditandai, salah satu wiracaya yang mengenakan topeng berbentuk wajah monyet mengucapkan menarik sebuah selubung di pinggir pantai. Ia menarik dengan sekuat tenaga sambil membaca mantra dengan penuh konsentrasi serta kekuatan magis, hingga tidak memperhatikan ketika sebuah anak panah melesat menyasar lehernya.
”Kalya!” Jerit wiracaya bertopeng kepala gagak pada saat sebuah anak panah menembus
leher wiracaya yang mengenakan topeng wajah monyet.
Lalu dengan susah payah, tanpa mempedulikan lukanya, Kalya tetap melanjutkan membaca mantra sambil menarik sebuah selubung berbentuk kain hingga selesai. Sebuah kapal terlihat samar-samar usai Kalysa merapal mantranya. Rupanya dengan trik tertentu Kalya membuat sebuah kapal tidak terlihat oleh mata. Usai kapal itu terlihat, Kalya pun tersungkur dan tidak bergerak lagi.
”Gusti Putri, Nira, Widyata naiklah ke kapal lebih dahulu !” Seru Camaraditya kepada perempuan itu dan wiracaya yang bertopeng kepala gagak dan kepala singa.
Perempuan itu kemudian dibantu dua orang wiracaya yang mengenakan topeng kepala gagak dan kepala singa berhasil naik ke atas kapal dengan susah payah. Mengetahui perempuan itu berhasil naik di atas kapal, anak buah Yasodana menjadi semakin kalap.
Mereka makin merangsek maju disertai teriakan yang menggelegar sambil menusukkan tombak serta mengayunkan pedang dengan beringas sambil bereriak-teriak murka. Melihat pasukan musuh semakin mendesak mereka, salah seorang wiracaya yang mengenakan topeng berwajah anjing segera bergerak maju menembus kepungan musuh dan terus melesat hingga menuju tepat di tengah-tengah pasukan Yasodana.
”Demi kejayaan Marga Arkanagari!” Seru seorang wiracaya yang mengenakan topeng berwajah anjing sambil melompat setinggi mungkin. Suaranya wiracaya bertopeng wajah anjing itu terdengar seperti seorang laki-laki muda.
Saat berada di udara, wiracaya bertopeng anjing dengan cekatan menyalakan beberapa sumbu pada dinamit yang telah disembunyikannya di balik baju. Dan ketika mengingak tanah, dengan dipenuhi beberapa dinamit dengan sumbu menyala-nyala, Ia berada di tengah-tengah musuh dimana tebasan pedang dan tusukan tombak segera menyambutnya.
Bunyi daging dan tulang bertemu logam pedang diiringi gemeletuk derak tulang rusuk yang beradu dengan tombak terdengar sangat kencang hingga membuat siapapun yang mendengarnya terasa ngilu. Meski rasa sakit yang luar biasa hebat menghampiri wiracaya bertopeng wajah anjing itu, Ia tetap menahan tombak serta pedang menembus tubuh dengan beberapa dinamit menyala-nyala di pinggang dan perutnya.
”Kalian kalah.” Kata wiracaya bertopeng wajah anjing tertawa parau sambil menyemburkan darah dari mulutnya.
Sebuah ledakan memporak-porandakan tubuh salah satu wiracaya yang mengorbankan diri serta membuat pasukan Yasodana dilanda kepanikan luar biasa. Ledakan itu begitu membuat kerusakan hebat pada pasukan Yasodana, sebab di dalam tubuh wiracaya bertopeng wajah anjing tersebut banyak tersimpan senjata rahasia berukuran kecil dan berjumlah sangat banyak.
Dari paku beracun, jarum, hingga lusinan keris beracun berukuran kecil. Sehingga, saat dinamit itu meledak, serpihan benda-benda itu menembus tubuh anak buah Yasodana. Banyak anak buah Yasodana yang tewas atau pun cidera cukup parah usai ledakan itu, mereka yang selamat pun harus berhenti untuk sementara untuk memulihkan diri. Sebab, selain menimbulkan luka pada tubuh pasukan, ledakan tersebut membuat pendengaran dan penglihatan mereka terganggu.
Ditambah lagi dengan berbagai senjata rahasia miliki wiracaya yang meledakkan diri tersebut dilumuri racun yang sangat mematikan. Tidak sedikit pula pasukan Yasodana yang keracunan parah hingga kejang-kejang dan tidak mampu lagi untuk melanjutkan pertempuran. Yasodana pun berteriak murka saat dua ratus orang pasukannya tercerai berai karena ledakan bom bunuh diri salah satu wiracaya yang nekat meledakkan diri melindungi perempuan itu.
”Dasar kawanan tidak berguna, hanya sebuah ledakan kecil kalian berhenti!?” Raung Yasodana pada anak buahnya yang tercerai-berai. ”Panah mereka, lebih cepat, lebih cepat!” Perintah Yasodana pada para pemanahnya. ”Tidak peduli hidup atau mati, tembak, tembak!”
Hujan anak panah yang ditembakkan orang-orang Yasodana deras menerpa perempuan serta para pengawalnya
yang masih tersisa. Bahkan Yasodana yang murka merebut salah satu panah dari anak buahnya kemudian ikut memanah perempuan itu. Perempuan itu berhasil menghindari bidikan-bidikan panah yang dilepaskan Yasodana dan anak buahnya dengan cara melihat jalur panah yang melesat di udara lalu bergerak ke sampingatau menghalaunya dengan sabetan keris berwarna keemasan miliknya.
Namun, beberapa anak panah yang dilepaskan pasukan pemanah Yasodana berhasil bersarang di beberapa bagian tubuh pengawal perempuan itu. Bahkan tiga ksatria diantaranya harus gugur bersimbah darah, dengan lengan masih menggenggam tombak. Di tengah kekacauan itu, Camaraditya bersama dua orang ksatria yang lain berhasil memotong tali yang menambatkan kapal tersebut. Yasodana sendiri hanya membawa perbekalan seadanya, sehingga tidak butuh waktu lama bagi hujan panah yang ditembakkan orang-orangnya berhenti karena kehabisan anak panah.
Mengetahui keadaan aman dari hujan panah, wiracaya perempuan bertopeng gagak lalu bergerak dengan lincah mengembangkan layar kapal. Setelah layar kapal pun mengembang, Camaraditya dan ksatria rekan-rekannya kemudian mendorong kapal menjauhi pantai. Kapal itu pun bergerak perlahan-lahan menjauhi pantai dengan diikuti Camaraditya serta pengawal lainnya yang masih tersisa.
Hanya empat orang ksatria dan tiga orang wiracaya yang tersisa mengawal perempuan itu. Empat orang ksatria dan seorang wiracaya bernama Camaraditya berada persis di belakang kapal dengan air laut yang mencapai dada mereka. Sementara, perempuan itu dan dua orang wiracaya pengawalnya yang kesemuanya perempuan, sudah berada di atas kapal.
Orang-orang Yasodana yang bersenjatakan pedang dan tombak sudah kembali mengejar kapal mereka. Kali ini mereka dipimpin oleh sang ksatria bermata hijau, Yasodana memerintahkannya mengejar perempuan itu sambil membawa pasukan yang tersisa.
”Ayo Camaraditya.” Kata perempuan itu sambil menjulurkan lengan pada wiracaya itu dan beberapa ksatria yang
lain.
Alih-alih meraih lengan untuk naik ke atas kapal, Camaraditya dan beberapa ksatria yang tersisa hanya saling memandang lalu tersenyum sendu penuh arti. Satu dan dua orang ksatria bahkan tertawa lepas sambil menampakkan gigi mereka.
”Kalian bertiga hiduplah...” Kata Camaraditya sambil mendorong kapal itu sekuat tenaga bersama para ksatria rekan seperjuangannya. Kapal itu pun semakin menjauh dari pantai dan menuju lautan lepas tepat sebelum sebuah anak panah dari busur Yasodana menancap di tubuh renta Camaraditya dan mengenai jantungnya. Empat ksatria yang tersisa kemudian meninggalkan kapal lalu menyambut pasukan musuh yang dipimpin sang ksatria bermata hijau dengan gagah berani.
Kapal itu pun berlayar, mengangkut perempuan itu dan dua orang wiracaya, diiringi kematian beberapa orang ksatria yang bertarung hingga nafas terakhir . Panah, tombak dan sumpah serapah dilemparkan para pengikut Yasodana di udara, mengiringi pelarian mereka bertiga menuju laut lepas. Matahari menyingsing dari arah timur memberikan cahaya keemasannya pada pasir pantai yang memerah karena darah sisa-sisa pertempuran.
Air laut yang semula berwarna kehitaman karena ditelan pekatnya malam perlahan namun pasti menjadi biru dan merah bercampur darah dengan riak-riak yang mengantar kepergian perempuan itu serta dua orang wiracaya pengawalnya. Suara ombak membuncah menerjang kapal itu, menimbulkan riak dan debur yang membungkam tangis perempuan itu. Ia menangis meronta-ronta seakan-akan ingin menyusul Camaraditya. Kedua wiracaya pengawalnya pun berusaha menenangkan perempuan itu, namun apa yang dilakukan mereka tidak bisa berbuat banyak dalam meredakan kesedihannya kehilangan Camaraditya.
Camaraditya pengawal, guru, sekaligus pengasuhnya yang paling bijaksana dan paling mendekati sosok
orang tua bagi perempuan itu. Camaraditya juga salah orang yang merawat perempuan itu sejak kecil hingga dewasa. Segala kenangan tentang Camaraditya pun mulai mengalir dalam benak perempuan itu. Sepanjang ingatannya, Camaraditya selalu ada untuknya. Mengajarkan perempuan membaca dan menulis, mengajarkan seni bela diri, panahan, berkuda hingga sastra.
Sejak kecil Camaraditya juga selalu menemaninya bermain permainan yang seharusnya dilakukan anak laki-laki seperti bermain layang-layang, gasing atau mencari ikan di sungai. Camaraditya-lah yang memberikan nasehat pada saat perempuan itu tumbuh dewasa dan juga selalu setia mendengarkan curahan perasaannya. Bagi perempuan itu, Camaraditya sudah seperti ayah yang mendidik dengan tulus serta menjaganya dengan taruhan nyawanya sendiri. Matahari di awal hari itu menjadi saksi kesedihan perempuan itu kehilangan salah satu orang yang cukup berarti baginya.
Keterangan :
Kawaca : Baju pelindung berbentuk seperti tabung panjang dan terbuat dari tembaga yang dicetak. Menurut
catatan kronik Tiongkok, kebanyakan tempur barisan Majapahit adalah infantri ringan, namun catatan tersebut menyatakan bila barisan tempur Majapahit pun ternyata menggunakan zirah tempur tergantung status
kepangkatan. Mulai dari pelindung dada (ches plate armor) sampai chain mail dan berbagai bentuk zirah lain yang rumit. Untuk para perwira dan kalangan bangsawan maka baju zirah akan semakin rumit sedangkan untuk
prajurit terendah akan bertelanjang dada. Dalam kakawin dan kidung, pakaian perang yang digunakan para prajurit di Jawa pada masa lalu, banyak teks di dalamnya. Pakaian perang tersebut dibedakan dalam 3 jenis. Waju Rante ‘baju yang terdiri atas rantai-rantai besi’, [Kidung: KR (7.31), (7.107)]. Kawaca ‘baju baja’, [Kakawin: Ad (202), BhP (135), RY (3.42), AW (7.6), HW (32.8), BK (3.11), KY (46.4), HWj (42.9), KD (15.7). Kidung: Mal (5.88), Ww
(2.54)]. Dan Karambalangan ‘lapis logam di depan dada’, [Kakawin: HWj (5.64). Kidung: KR (11.97), Mal (6.90)].
Sumber :
https://narasinews.com/zirah-abad-pertengahan-di-jawa/
https://www.wikiwand.com/id/Majapahit
Dwarapala : patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa dan Buddha, berbentuk manusia atau monster. Biasanya dwarapala diletakkan di luar candi, kuil atau bangunan lain untuk melindungi tempat suci atau tempat keramat di dalamnya. Dwarapala biasanya digambarkan sebagai makhluk yang menyeramkan. Bergantung pada kemakmuran suatu kuil, jumlah arca dwarapala dapat hanya sendirian, sepasang, atau berkelompok.
Dwarapala terbesar di Jawa terdapat di Singosari terbuat dari batu andesit utuh setinggi 3,7 meter. Di Pulau Jawa dan Bali arca dwarapala biasanya diukir dari batu andesit, berperawakan gemuk dan digambarkan dalam posisi tubuh setengah berlutut, menggenggam senjata gada. Sedangkan dwarapala di Kamboja dan Thailand memiliki perawakan tubuh lebih langsing dengan posisi tubuh tegak lurus memegang gada di tengah tepat di antara kedua kakinya. Patung dwarapala di Thailand dibuat dari tembikar tanah liat yang dilapisi glazur pucat susu. Patung seperti ini dibuat pada masa Kerajaan Sukhothai dan Ayutthaya (abad ke-14 hingga ke-15) diproduksi oleh beberapa tempat pembakaran tembikar di Thailand utara.
Bangunan suci yang kecil biasanya memiliki hanya satu arca Dwarapala. Sering kali dwarapala diletakkan berpasangan di antara gerbang masuk. beberapa situs bangunan suci yang lebih besar memiliki empat, delapan, bahkan dua belas arca dwarapala yang menjaga empat penjuru mata angin sebagai Lokapala, dewa penjaga empat atau delapan penjuru mata angin. Dalam budaya Jawa, dwarapala dijadikan figur penjaga keraton, misalnya dapat ditemukan di gerbang masuk Keraton Yogyakarta dan gerbang Kamandungan Lor Keraton Surakarta.
Sumber :
https://id.wikipedia.org/wiki/Dwarapala
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 257 Episodes
Comments
VLav
waahh karya yang cakep, episode awal sudah padat dan penjabarannya detail
salam dari keluarga besar arsgaf
2022-12-20
1
Risfa
Hadir ka
2022-12-19
0
Hanum Anindya
wow ceritanya bangus banget kak. aku udah kasih bintang lima, vote, bunga, like, sukses selalu kak. semoga berkah dan bermanfaat.
jarang banget novel mengangkat dari kisah kisah sejarah. lanjutkan kak💪👍😊
2022-12-19
0